Bocah
yang Bercita-Cita Menjadi Kucing Erin Cipta ; Ibu dua anak, Pembuat ramuan dari madu dan
rempah, Tinggal di Cilacap |
DETIKNEWS, 31 Juli 2021
Suatu hari saat anak
saya masih duduk di bangku TK, pernah ia pulang sekolah dengan wajah gusar.
Saya yang menyambutnya dengan pelukan tak membuat wajahnya berubah. Tapi
seekor kucing yang sedang tidur santai di atas keset justru berhasil
menerbitkan senyuman lebar di wajah mungilnya. Padahal kucing itu tidak
peduli padanya. Mumpung anaknya sudah
senyum, saya pun segera menyapanya. Sesuai dengan panduan parenting Elly
Risman Musa, psikolog spesialis pengasuhan anak yang juga menjabat sebagai
Direktur Pelaksana di Yayasan Kita dan Buah Hati, maka hal pertama yang saya
tanyakan pada anak ketika pulang sekolah, "Bagaimana di sekolah tadi,
Nak? Menyenangkan, bukan?" Nahas, justru
pertanyaan itu yang malah membuatnya gusar kembali. "Ada apa, De?"
Saya menanyainya dengan suara lembut, masih sesuai panduan parenting Elly
Risman. "Kata ibu
guru, Ade nggak boleh punya cita-cita," sungutnya. "Masak sih?
Bukannya anak sekolah itu selalu diajari untuk punya cita-cita?" "Iya. Tapi hanya
boleh jadi polisi, dokter, insinyur, pilot...yang gitu-gitu deh." "Memangnya Ade bercita-cita
jadi apa?" "Cita-cita Ade mau
jadi kucing!" Tegas sekali anak saya
mengatakan cita-citanya. Mendengar itu, saya ingin sekali tertawa. Tapi
sayang anak saya benar-benar sedang serius. Sedangkan menurut panduan
parenting, orangtua dilarang menertawakan pendapat anak. Saya harus menahan
diri. Saat itu saya rasa
benar-benar harus introspeksi diri tentang bagaimana cara saya mengasuh anak.
Bagaimana bisa anak saya nyeleneh begitu rupa. Padahal segala tulisan dan
buku parenting sudah saya lahap banyak-banyak. Lambat laun anak saya
paham dengan konsep cita-cita. Tiap kali ditanya, ia tak lagi dengan tegas
menjawab "jadi kucing". Bahkan sesungguhnya ia tak pernah sekali
pun menjawab pertanyaan tentang cita-cita dengan jawaban yang tegas. Anak
saya selalu ragu ingin menjadi apa ia kelak saat dewasa. Sayangnya saya belum
menemukan panduan parenting dari Elly Risman yang benar-benar mengajari
tentang bagaimana caranya meyakinkan anak dengan sebuah cita-cita. Pada tiap
catatan, saya hanya membaca bahwa anak sebaiknya dibebaskan dalam memilihnya. Makin bingunglah saya
dengan metode parenting saya sendiri. Saya tidak bisa memaksa, dan anak tidak
bisa meyakini pilihannya sendiri. Maka kami putuskan untuk tidak terlalu
ambil pusing dengan cita-cita. Pokoknya anak saya sekolah dengan gembira, dan
saya berusaha mengakomodasi kebutuhan pendidikannya sebaik mungkin. Sampai akhirnya
kehidupan kami jungkir balik sejak pandemi Covid-19 datang. Hampir semuanya
berubah. Hanya sedikit yang masih berjalan seperti sebelum-sebelumnya. Satu
dari yang sedikit itu adalah kehidupan kucing-kucing kami. Kucing-kucing di rumah
ini seolah tidak terpengaruh dengan perubahan aktivitas kami yang jadi lebih
banyak di rumah, atau dapur kami yang lebih sering berantakan. Mereka tetap
saja bermain dan tidur sepanjang hari setelah kenyang makan. Sungguh terlihat
bahagia sekali. Stabilnya kondisi
kucing-kucing itu membuat saya mengamati perkara-perkara yang berkaitan
dengan kucing. Sejak pandemi datang, di kota saya muncul beberapa pet shop baru.
Toko yang menurut deskripsinya adalah menyediakan kebutuhan hewan piaraan—apa
pun itu, nyatanya didominasi oleh barang-barang kebutuhan kucing. Artinya,
makin banyak orang yang memelihara kucing di rumah. Dari dulu saya rutin
memeriksakan kucing-kucing ke dokter hewan. Dulu praktik dokter hewan sepi,
tapi sekarang, tiap kali saya berkunjung ke sana, selalu saja ada antrean
yang lumayan banyak. Mereka yang antre itu didominasi oleh para pemelihara
kucing. Dokter hewan langganan yang sebenarnya juga mengurusi kawin suntik
sapi dan ternak lain di Puskeswan, di klinik praktik pribadinya laris manis
diantre oleh pasien kucing. Gerakan street
feeding kucing-kucing pasar dan jalanan yang sudah sejak dulu
dilakukan oleh cat lover, sekarang saya lihat makin banyak
dikakukan oleh siapa saja. Donatur untuk gerakan itu juga tidak main-main.
Kucing liar tidak lagi hanya dilempari sisa-sisa tulang ikan, tapi juga
disediakan dry food dan wet food yang lebih
bernutrisi. Belum lagi gerakan TNR (Trap, Neuter, and Release) dari
aktivis pro-steril yang bikin kucing-kucing liar itu sehat dan sejahtera. Tengoklah kanal Kucing
Om Wepe milik seorang cat lover bernama Willy
Priyoko. Video perdananya tentang kucing diunggah dua tahun lalu.
Konten-kontennya seputar tips perawatan kucing piaraan. Empat kucingnya,
yaitu Pito, Molo, Leon, dan Cimoy menjadi bintang utama di setiap video.
Belakangan bertambah satu kucing domestik yang ia rescue bernama
Rumi. Makanan, mainan, tempat tinggal, dan perawatan kesehatan mereka
benar-benar dilakukan dengan sangat baik. Untuk rekomendasi
kanal kucing dari luar negeri, saya wakilkan pada DontStopMeowing. Kanal
baru setahunan yang langsung meroket karena isinya kucing melulu. Silakan
lihat sendiri betapa kucing-kucing yang membintangi setiap video itu adalah
sebenar-benarnya penguasa. Sehat, sejahtera, dan cenderung menjajah
pemiliknya. Melihat fenomena ini,
lama-lama saya berpikir, jangan-jangan anak saya dulu sudah benar dengan
cita-citanya. Ia ingin kelak hidup sejahtera. Kerjaannya makan, tidur, dan
bermain saja. Biarpun menyebalkan, tapi tetap disayang. Dan nalar bocah yang
dimilikinya hanya sampai pada kehidupan kucing-kucing yang tiap hari
dilihatnya di rumah kami. Jawaban "menjadi kucing" itulah yang
langsung terpikir untuk ia berikan saat gurunya bertanya. Saat pandemi seperti
sekarang, sebuah profesi sangat keren yang dulu menjadi cita-cita banyak
anak, yaitu menjadi pilot, bahkan bisa terjungkal. Begitu banyak profesi yang
sekarang sulit sejahtera. Jadi ketika kelak ada anak lain yang juga punya
cita-cita menjadi kucing, tentu tidak ada salahnya, bukan? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar