Jumat, 09 April 2021

 

Bom Bunuh Diri dan Bahaya Laten Terorisme

 Zuly Qodir ; Ketua Program Doktor Politik Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

                                                         KOMPAS, 07 April 2021

 

 

                                                           

Peledakan bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar hari Minggu (28/3/2021) mengagetkan banyak pihak. Pasangan suami-istri yang baru menikah melakukan peledakan bom bunuh diri. Mereka berdua diduga anggota Jamaah Ansharut Daulah.

 

Pasalnya, pada saat bangsa ini secara bersama-sama tengah berjuang keluar dari lubang jarum wabah pandemik Covid-19, masih ada saja sekelompok orang mengail di air keruh dan membuat kegaduhan.

 

Pseudo martir

 

Sekelompok orang penganut teologi maut dan enggan berhadapan dengan realitas empirik masih terus bekerja secara tersembunyi, senyap, tiba-tiba meledak. Sekelompok orang ini tentu saja tidak tiba-tiba menjadi seorang martir sehingga rela mati di ujung bom atau molotov. Mereka tentu ada proses dan pengalaman yang melatar belakanginya.

 

Salah satu analisis yang dapat dikemukakan bahwa orang yang rela mati diujung molotov, senapan, ataupun bom karena memahami bahwa itulah jalan terpilih yang telah ditentukan Tuhan sebagai jihad, jalan perjuangan, sebagai pahlawan pembela Tuhan. Seseorang rela mati menjadi martir untuk menebus dosa atas apa yang dilihat dan diperjuangkan.

 

Sungguh mengerikan jika ada banyak orang berpikiran bahwa mati di ujung bom atau senapan dipahami sebagai jalan kematian yang diperuntukkan kepada Tuhan. Tentu akan semakin banyak orang berkeinginan mati seperti itu. Hal ini tentu saja perlu dicarikan penjelasan yang memadai sehingga tidak serta-merta memahami realitas yang tidak sesuai dengan kehendak pikirannya dianggap sebagai kesesatan, kejahatan, bahkan jalan kematian menuju surga Ilahi.

 

Kehadiran kelompok manusia penganut teologi maut mesti menjadi perhatian kita semua. Kita sebagai bangsa tidak bisa tinggal diam dan abai atas kejadian  yang berusaha mengarahkan pikiran dan perhatian kita pada terjadi disharmoni sosial dan kemungkinan kecurigaan sosial atas keragaman umat beragama. Kita mesti berpikir cerdas dan awas dengan adanya kelompok yang dapat memprovokasi situasi yang sedang kondusif untuk keluar dari wabah Covid-19.

 

Para tokoh agama, siapa pun mereka, sudah saatnya ambil bagian di garis terdepan Bersama masyarakat sipil, aparat keamanan, dan mereka yang memiliki perhatian agar bangsa ini benar-benar menjadi bangsa yang santun dalam beragama. Wasathiyah dalam bersikap dan ramah dalam bergaul dengan sesama warga negara yang beragam.

 

Perayaan Paskah dan puasa

 

Peledakan bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar dapat kita baca sebagai bahaya laten kaum penganut teologi maut yang berusaha memancing perhatian, terutama umat Islam dan Kristiani. Kita tahu pada Jumat 2 April minggu ini merupakan hari wafat Isa al Masih. Inilah Jumat Agung. Kemudian Sabtu kelabu dan Minggu Paskah, sebagai Kebangkitan Yesus, merupakan rangkaian hari besar umat Kristiani untuk beribadah kepada Tuhan.

 

Sementara itu, minggu depannya tanggal 13 April adalah awal mula Ramadhan tiba. Di mana umat Islam hendak secara khusyuk menjalankan ibadah puasa Ramadhan dengan berbagai rangkaian ibadah, hingga Idul Fitri tiba. Dua hari raya yang sangat dimuliakan oleh dua umat beragama menjadi testing in the water apakah dua komunitas umat Tuhan terpengaruh ataukah tidak dengan peristiwa peledakan bom.

 

Jika diperhatikan, selalu demikian kejadiannya. Saat jelang perayaan Paskah, Natal, Idul Fitri, atau Tahun Baru akan menjadi hari-hari di mana kaum penganut teologi maut menjalankan aksi terornya untuk memengaruhi psikologi penganut dua agama terbesar di Indonesia.

 

Kita berharap umat Islam dan Kristen sebagai mayoritas tidak mudah terpengaruh dan terprovokasi atas kejadian di Makassar. Kita harus memiliki kepekaan dini yang kuat sehingga kejadian-kejadian serupa tidak muncul kembali.

 

Oleh karena itu, aktivitas keagamaan yang ada mesti memperhatikan kondisi eksternal dan melibatkan pihak keamanan serta umat agama lain untuk turut serta membantu melakukan koordinasi dan penjagaan keamanan. Jangan sampai di antara umat beragama saling membenci, mencurigai, bahkan menghasut atas aktivitas keagamaan yang hendak dilakukan. Kita tidak bisa lagi menyatakan bahwa melibatkan umat beragama lain dalam aktivitas sosial keagamaan, bukan ritual, sebagai bagian dari pengaburan keyakinan dan keimanan.

 

Para penganut teologi maut sejatinya dapat dikatakan sebagai sekelompok orang yang putus asa dalam realitas obyektif kehidupan dunia. Tidak mampu melakukan perubahan diri sendiri, kelompok, dan masyarakat, apalagi negara sehingga menimpakan semua kesalahan kepada pihak lain dengan menjadikan agama sebagai ”basis legitimasi” pencapaian kemuliaan semu.

 

Memperhatikan sering berulangnya kejadian bom bunuh diri atau peledakan tempat ibadah menjelang perayaan hari besar keagamaan, maka ada hal lain yang perlu dipikirkan oleh pemerintah dan aparat keamanan, termasuk intelijen, agar benar-benar bekerja keras melakukan penyelidikan dan pengamatan atas gerak-gerik mereka yg diduga penganut teologi maut.

 

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan kepolisian perlu terlibat menjelang hari besar umat Katolik-Kristen dan Islam dalam dua bulan ke depan. Kita tidak boleh kalah dengan kelompok penganut teologi maut yang laten bergerak di sepanjang tahun. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar