Pemilihan Rektor
Oleh : SYAMSUL RIZAL
KOMPAS, 19 November 2019
Rektor
adalah pemimpin di perguruan tinggi. Kebijakannya akan ikut menentukan arah
universitas yang dipimpinnya. Ini membuat pemilihan rektor menjadi hal yang
cukup menarik perhatian.
Para
pemilihnya pun orang- orang yang sangat arif dan bijaksana: para profesor juga,
atau paling tidak doktor yang menguasai dan mengajar pada berbagai bidang ilmu.
Dengan latar belakang seperti ini, rasanya mustahil pemilihan rektor bisa
berlangsung dalam suhu politik yang sangat panas.
Namun, itu
semua ternyata tidak benar. Berbeda dengan pemilihan presiden yang melibatkan
orang yang sangat banyak dan daerah pemilihan yang luas sehingga suhu politik,
meskipun tinggi, terdistribusi merata dalam ruang yang sangat luas. Sementara
pemilihan rektor berlangsung di ruangan yang sempit. Para pemilih terdeteksi
dengan baik arah, kiblat, dan aliran politiknya. Orang yang memilih dan dipilih
adalah para kolega yang saling mengenal dengan akrab karena hampir selalu
bertemu.
Akibatnya,
masa-masa pemilihan rektor—ketika sebelum, sedang, dan setelah pemilihan
rektor—ditandai dengan suhu politik yang sangat panas. Atmosfer akademik sangat
kotor dan beracun. Itu karena tim sukses dari setiap calon rektor bergerilya
tanpa lelah, berusaha keras untuk memenangkan calonnya.
Para pemilik
suara harus ekstra hati-hati dalam menentukan sikap. Itu karena tim sukses
mempunyai daya pendengaran dan penciuman sangat tajam.
Calon
rektor, seperti halnya politikus yang dapat kita pelajari dari buku-buku
sejarah, ada yang hebat dan ingin memajukan bangsa dan negaranya, ada yang
kejam dan tidak segan menghukum lawan politik (beserta pengikut-pengikutnya),
ada yang bodoh tetapi nekat, dan seterusnya.
Demikian
juga di universitas, calon rektor yang ingin mencalonkan dirinya sebagai rektor
bisa beragam juga: dari yang rakus, adil dan arif, hingga yang tidak peduli
terhadap masalah akademik di kampus dan seterusnya.
Terkadang
kita tidak tahu perangai asli seorang rektor. Sebelum terpilih, justru semua
hal-hal baik dan hebat yang terlihat. Ketika terpilih, baru semua terbongkar:
rakus, punya catatan melakukan plagiarisme, dan seterusnya.
Kalau sudah
seperti ini, semua pemangku kepentingan kampus akan terluka dan tentu saja
tersandera. Namun, apakah rektor seperti ini akan gagal? Tidak. Rektor yang
punya rekam jejak yang jelek, menurut akal sehat, akan mudah terpilih dua kali.
Bukan karena prestasinya, melainkan karena keberaniannya dalam menebarkan
ancaman kepada para pemilih.
Insan
akademik yang tidak setuju terhadap kebijakannya dalam bidang akademik lebih
baik diam atau curhat kepada sesama teman-temannya yang seide di lorong-lorong
sunyi dan senyap dengan penuh ketakutan sambil berharap pertolongan Tuhan agar
si rektor cepat turun.
Menteri harus bagaimana?
Saya
berpendapat, sebaiknya rektor di perguruan tinggi negeri ditunjuk saja oleh
menteri. Dengan demikian, menteri, berdasarkan rekam jejak calon rektor, dapat
yakin bahwa rektor yang ditunjuknya akan amanah dan mampu menjalankan semua
instruksi menteri. Kalau memang rektor yang ditunjuk ini tidak amanah atau
tidak mampu menjalankan instruksi, menteri dapat dengan mudah menggantinya.
Namun, kalau
rektor masih tetap dipilih (dengan atau tanpa suara menteri), tetap saja
menteri agak sulit menurunkan atau memberhentikan rektor di tengah masa
jabatan. Rektor beserta semua pendukungnya sudah pasti akan melakukan
perlawanan, baik lewat jalur hukum maupun melalui pengerahan mahasiswa.
Perlawanan
seperti ini tentu sangat melelahkan dan merugikan banyak pihak: pemerintah,
mahasiswa, dosen, dan semua pemangku kepentingan. Sudah saatnya kita tidak
bermain judi dengan pemilihan rektor.
Tatkala kita
salah memilih rektor, universitas harus sabar karena selama empat tahun
tersandera oleh kebijakan rektor yang tidak pro-akademik. Bahkan, masa
tersandera bisa sampai delapan tahun kalau rektor yang tidak memiliki akal
sehat ini terpilih dua kali periode masa jabatan. Sungguh penantian yang cukup
lama. Ini bisa mengakibatkan semua sendi universitas rusak parah, dan butuh
waktu yang lama juga untuk memperbaikinya
Syamsul Rizal ; Profesor di Universitas Syiah Kuala, Banda
Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar