EKONOMI PERIKANAN
Terobosan Ekonomi Perikanan
Oleh : M RIZA DAMANIK
KOMPAS, 14 November 2019
Di tengah
melambatnya pertumbuhan ekonomi global, Indonesia harus mulai menggerakkan
sumber-sumber ekonomi potensial baru untuk melaju. Syarat utamanya, relevan
dengan perkembangan pasar global (market oriented), potensi sumber daya
tersedia dalam jumlah besar di Tanah Air (comparative advantage principle) dan
pasokan bahan baku tak tergantung impor (minimizing exchange rate and supplied
side shocks). Maka, sektor perikanan dapat menjadi alternatif.
Kita
beruntung, karena di sejumlah kepulauan di Indonesia masih ditemukan ragam
pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab. Sebut saja mane’e di Sulawesi
Utara, bapongka di Sulawesi Tengah, awig-awig di Nusa Tenggara, atau panglima
laot di Aceh. Kesemuanya hendak menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi,
sosial dan lingkungan hidup. Caranya dengan mengatur jenis, jumlah dan ukuran
ikan yang boleh ditangkap; hingga pilihan alat, lokasi dan periodisasi
penangkapan.
Ikan menjadi
produk makanan paling banyak diperdagangkan di dunia saat ini. Bahkan pada
2030, harganya diperkirakan meningkat 25 persen. Konsumen juga kian peduli
dengan produk perikanan ramah lingkungan dan sosial.
Bahkan, ada
pula tradisi menyisihkan sebagian tangkapan nelayan ke fakir miskin, anak yatim
(piatu) dan janda. Celakanya, berbagai kearifan lokal yang sangat baik itu
belum dielaborasi dalam strategi dagang produk ikan asal Indonesia.
Optimalisasi
Di dalam
negeri, Produk Domestik Bruto (PDB) dari sub sektor perikanan telah menempati
posisi terbesar kedua dalam lingkup ekonomi maritim. Namun, kontribusinya masih
terbilang kecil: rata-rata hanya 2,25 persen per tahun. Kondisi minimalis ini
masih dapat ditingkatkan sejalan optimalisasi potensi sumber daya di Tanah Air.
Pertama,
perikanan tangkap. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 50/2017 tentang
Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan
Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia,
telah mengoreksi besaran potensi ikan di perairan Indonesia. Jika sebelumnya
hanya satu digit, kini dua digit menjadi 12,5 juta ton.
Penaikan
jumlah potensi ini sewajarnya mengubah profil pemanfaatan ikan di perairan
Indonesia: dari sebelumnya berstatus tangkap-lebih (over exploitation) menjadi
tangkap-rendah (under exploitation). Tantangan ini sekaligus peluang untuk
meningkatkan produksi ikan nasional di tengah kondisi terus menurunnya produksi
perikanan tangkap dunia satu dekade terakhir. Menurut FAO, pada 2015-2016, 16
dari 25 negara produsen utama perikanan tangkap mengalami penurunan produksi
3,7 persen, setara 2,4 juta ton.
Peluang
selanjutnya ada di perikanan budidaya. Faktanya, hampir semua negara eksportir
ikan papan atas dunia juga pemain utama perikanan budidaya. Norwegia, eksportir
ikan terbesar kedua dunia, mengandalkan budidaya ikan salmon sebagai komoditas
ekspornya. Vietnam dan Thailand, eksportir ketiga dan keempat terbesar, juga
pemain utama udang budidaya.
Sebagai
negara kepulauan-tropis terbesar di dunia, Indonesia memiliki lebih dari 17
juta hektar lahan potensial untuk budidaya perikanan—baik air tawar, payau
maupun asin. Celakanya, baru sekitar 6 persen termanfaatkan. Itu pun, hampir
separuh belum dikelola optimal, bahkan terlantar. Ini peluang besar yang harus
digarap: merevitalisasi kolam-kolam tambak yang rusak, sekaligus mengoptimalkan
potensi lahan yang belum tergarap untuk dikelola rakyat secara berkelanjutan.
Terobosan
Secara garis
besar ada tiga hal perlu dilakukan lima tahun ke depan. Pertama, membenahi
sistem perizinan, khususnya dalam rangka meramaikan kapal-kapal Indonesia
menangkap ikan tuna di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan perairan
internasional. Menurut Asosiasi Pengolahan Ikan Indonesia (APIKI) kapasitas
terpasang industri pengalengan ikan nasional berbahan baku tuna/cakalang adalah
365.000 ton per tahun, sementara utilitasnya baru sekitar 25 persen; atau
tertinggal sekitar 65 persen di bawah target Kementerian Perindustrian.
Persoalan utamanya adalah kekurangan bahan baku.
Presiden
Jokowi, saat berdialog dengan sekitar 400 pemilik kapal ikan di Istana Negara
(30/1/2019), telah meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan menyiapkan cara
baru dan cepat (baca: 2 jam) dalam pengurusan izin kapal ikan. Tak boleh (lagi)
ditunda, arahan Presiden ini harus dieksekusi di awal periode kedua
pemerintahan. Kemudahan perizinan juga harus dilengkapi dengan skema pengawasan
dan penindakan yang lebih ketat agar usaha perikanan nasional tidak kembali ke
masa-masa suram dulu: illegal, unreported, unregulated fishing.
Kedua,
perluasan akses lahan hutan pantai kepada pembudidaya ikan. Lima tahun ke
depan, Indonesia belum perlu buka lahan hutan pantai baru. Fokuslah
merevitalisasi 300.000 dari total 400.000 hektar lahan tambak yang selama ini
rusak dan tersebar di 17 provinsi. Skemanya bisa memakai program Perhutanan
Sosial (PS): tiap pembudidaya ikan diberi akses 2 hektar lahan atau lebih. Masa
pengelolaannya 35 tahun dan dapat diperpanjang. Lalu, separuh luasan lahan
boleh dialokasikan untuk budidaya perikanan ramah lingkungan dan sisanya untuk
restorasi hutan pantai.
Program yang
sudah berjalan dua tahun terakhir dapat diperkuat dengan skema pengajuan oleh
masyarakat menjadi lebih sederhana, pendampingan usaha oleh balai perikanan
milik pemerintah dan swasta menjadi lebih kuat, serta kolaborasi lintas
kementerian dan lembaga menjadi lebih paripurna. Bila perlu,
bisa dibentuk unit kerja khusus di tingkat pemerintahan dengan tugas utama
“menjemput bola” dan memendekkan jalur birokrasi dalam hal pendaftaran,
kemitraan dan pengelolaan lahan PS. Pemerintah juga dapat menetapkan udang
sebagai komoditas unggulan perikanan budidaya ala PS. Sebab saat ini sekitar
30-40 persen total nilai ekspor perikanan kita berasal dari udang. Laporan FAO
(2018) juga menunjukkan posisi ekonomi komoditas udang kian strategis, mencapai
16 persen dari total nilai perdagangan ikan di pasar global.
Terakhir,
sebagaimana amanah Pasal 50 dan 51 UU No 7/ 2016 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, pemerintah pusat dan
daerah berkewajiban memfasilitasi kemitraan usaha perikanan, termasuk antara
usaha kecil, menengah dan besar. Ikhtiar ini untuk memastikan agar pelaku usaha
perikanan skala kecil kian membaik kualitas produk dan kesejahteraan
keluarganya, sejalan dengan kian majunya industri perikanan di Tanah Air.
Maka,
program afirmasi yang diberikan pemerintah ke nelayan kecil dan tradisional
lima tahun terakhir, seperti Asuransi Nelayan dan Bank Mikro Nelayan, harus
dilanjutkan dan diluaskan penerima manfaatnya. Jika ketiga
terobosan dijalankan secara simultan, maka tidak kurang dari 2,5 juta tenaga
kerja terampil, baik kualifikasi SMK, diploma, S1, S2, dan S3 berpotensi
terserap. Indonesia pun berpeluang menjadi negara industri perikanan terbesar
ketiga di dunia pada tahun 2024.
(M Riza Damanik ; Ketua Umum Kesatuan
Nelayan Tradisional Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar