Revolusi Pendidikan
Nadiem
Oleh : DONI KOESOEMA A
KOMPAS, 5 November
2019
Terlepas dari pro-kontra pemilihan Nadiem Makarim sebagai
menteri pendidikan dan kebudayaan (mendikbud), saya melihat ada optimisme dan
harapan akan perubahan di dunia pendidikan. Nadiem akan melakukan akselerasi,
percepatan, dan mungkin revolusi pendidikan yang selama ini tak pernah kita
bayangkan.
Seorang visioner muda seperti Nadiem, ia akan mendekatkan
masa depan ke masa sekarang. Dari berbagai macam gagasan dan pemikiran yang
pernah disampaikan Nadiem ke publik sebelum menjadi mendikbud, saya tak pernah
khawatir tentang reduksi teknologi dalam pendidikan, atau pengerdilan tujuan
pendidikan pada kesiapan kerja.
Nadiem selalu mengatakan banyaknya data di dunia digital
mewajibkan kita memiliki sikap kritis dalam menggali data. “Di dunia digital
hanya data-data yang bicara. Orang harus berpikir kritis. Kalau tidak, ia akan
dikibulin,” ujarnya. Bertemu orang-orang yang tak kritis adalah perjumpaan
pertama yang langsung ia hadapi, terutama mereka yang mengkritik dan meragukan
kemampuannya sebagai mendikbud dengan alasan tak berlatar belajar pendidikan.
Bagi saya, kritik seperti ini aneh, tak masuk akal dan tak
logis. Apakah karena latar belakang seseorang yang tak banyak berkecimpung di
dunia pendidikan secara otomatis dapat membenarkan kesimpulan kita tentang
inkompetensi Nadiem sebagai mendikbud?
Saya rasa, mereka yang menyangsikan harus belajar lagi
bentuk-bentuk kekeliruan berpikir (logical fallacies), terutama kekeliruan
berpikir asal-usul (genetic fallacy) yang menyatakan bahwa kualitas seorang
individu dinilai dari latar belakangnya.
Padahal kita tahu dalam berargumentasi latar belakang
seseorang tak memiliki relevansi untuk mendukung sebuah premis yang
dipergunakan sebagai dasar untuk menarik sebuah kesimpulan. Ini terjadi karena
masyarakat kita tidak kritis. Merevolusi cara berpikir keliru seperti ini
adalah tugas pertama Nadiem sebagai mendikbud.
Pada satu kesempatan, Nadiem mengatakan, isi materi
pelajaran menjadi sangat relatif dan mungkin tak penting lagi, karena di dunia
digital semua isi materi pelajaran dapat ditemukan. Isi pengetahuan yang selama
ini jadi dasar bagi proses pembelajaran menjadi relatif, tergantung kebutuhan
peserta didik.
Namun, yang paling penting adalah kemampuan menggali data di
internet. Individu perlu memiliki kemampuan untuk mencari, menggali, mengolah
data secara kritis demi tujuan hidupnya. Literasi digital jadi hal fundamental
dalam proses pendidikan dan kemampuan berpikir kritis adalah kuncinya.
Sejak awal Nadiem menyadari tantangan pendidikan di
Indonesia ini sangat khas karena ukuran skalanya yang besar, baik dari sisi
luas area geografis, jumlah guru, jumlah sekolah, dan disparitas antardaerah
dalam hal akses dan kualitas pendidikan.
Skala ini tak dapat diperbandingkan dengan negara
berpendidikan maju seperti Finlandia, Singapura, Jepang, dan Korsel. Keunikan
ini butuh intervensi tersendiri yang tidak bisa menduplikasi begitu saja
kebijakan pendidikan dari negara lain meskipun mereka terbukti telah maju.
Skala yang besar hanya bisa diatasi dengan kecanggihan teknologi. Ini keahlian
Nadiem.
Revisi regulasi
Sudah ada banyak keluhan bahwa kurikulum kita padat isi
materi pelajaran, sehingga dimensi pembentukan karakter terlewatkan. Sementara
guru-guru kita masih bingung bagaimana mengeksekusi kurikulum sesuai regulasi
dan peraturan. Bisa jadi, jenis mata pelajaran kita terlalu banyak dan
tumpang-tindih. Namun, mengubah jumlah mata pelajaran tak semudah membalik
tangan.
Masalahnya, berbagai mata pelajaran itu amanat UU Sisdiknas.
Di lapangan lebih ironis lagi faktanya. Bila guru mengikuti regulasi dan
peraturan, fokus mengajar akan hilang dan guru akan sibuk dengan urusan laporan
administrasi. Menjadi sederhana, seperti harapan Jokowi, adalah barang sangat
mewah di dunia pendidikan kita.
Kompleksitas pendidikan kita terjadi karena ada UU,
peraturan pemerintah (PP), dan permendikbud yang jadi turunannya memang cenderung
membuat hal-hal sederhana jadi rumit dan kompleks.
Sebagai contoh, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)
ingin mengurangi rezim gelojoh tes yang mendera kultur pendidikan kita terutama
untuk mengurangi hiruk-pikuk ujian di akhir tahun di kelas akhir. Pemandangan
yang terjadi saat ini: peserta didik dan guru pada kelas akhir selalu
disibukkan dengan tiga jenis ujian berturut-turut, Ujian Akhir Semester, Ujian
Akhir Sekolah dan Ujian Nasional (UN).
Dalam semester terakhir, siswa harus melakukan ujian
sebanyak tiga kali untuk mata pelajaran yang sama, kecuali mata pelajaran yang
tak di UN-kan. BSNP ingin menghilangkan rezim testing ini, namun tak bisa,
selama regulasi tak berubah. Sebagai
negara hukum, regulasi dan peraturan adalah landasan bertindak setiap orang
yang diberi kepercayaan sebagai pengambil kebijakan.
Maka, revolusi pertama yang perlu dilakukan Nadiem adalah
harmonisasi regulasi dan peraturan. UU Sisdiknas 2003 saat ini sudah tak
adekuat lagi. Sementara, PP turunannya, terutama PP No 19/ 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP) telah tiga kali “dioperasi” demi kepentingan politik
tertentu.
Bila kita ingin sistem pendidikan nasional kita lincah,
dinamis, visioner, dan maju, konstruk itu perlu diperkuat lewat revisi UU
Sisdiknas, yang akan secara otomatis mewajibkan revisi seluruh PP dan
permendikbud turunannya.
Komunikasi dengan pemangku kepentingan untuk memperbaiki
tatanan peraturan terkait pendidikan, terutama dengan Presiden, dan wakil
rakyat, kiranya mendesak segera dilakukan agar infrastruktur pendidikan jadi
dinamis, lincah, dan maju. Tanpa langkah ini, usaha apapun untuk
mentransformasi pendidikan kita akan sia-sia.
Revisi peraturan perundang-undangan tentang pendidikan
mungkin tak bisa dilakukan dalam waktu dekat. Namun, perubahan PP sebenarnya
bisa lebih cepat dilakukan. Saat ini, kementerian sedang mengkaji dan merevisi
PP tentang SNP. Transformasi pendidikan bisa didasarkan pada perubahan PP ini.
PP SNP sebaiknya dirombak total dan dibuat baru untuk mentransformasi
pendidikan kita secara total, sehingga tak sekadar tambal sulam.
Bila perubahan PP dirasa belum memungkinkan karena butuh
proses lama, hal yang ada di kewenangan Mendikbud untuk memperbaiki sistem
evaluasi dan penilaian yang bisa dilakukan segera untuk mengurangi rezim
testing adalah memperbaiki dan mengharmonisasikan permendikbud tentang sistem
evaluasi dan penilaian yaitu merevisi Permendikbud No 53/2015 tentang Penilaian
Hasil Belajar oleh Pendidik dan Satuan Pendidikan pada Pendidikan Dasar dan
Pendidikan Menengah dan Permendikbud No 4/2018 tentang Penilaian Hasil Belajar
oleh Satuan Pendidikan dan oleh Pemerintah.
Pada dua permendikbud ini terdapat berbagai macam persoalan
evaluasi dan penilaian yang selama ini tak mampu menumbuhkan semangat belajar
otentik dalam diri peserta didik. Untuk fokus ini, Nadiem bisa langsung
melakukannya.
Belantara pendidikan yang dihadapi Nadiem memang rumit,
kompleks, dan akar persoalan sudah menjulur ke mana-mana. Ini bisa diperbaiki
dengan memperbaiki akarnya, yaitu regulasi. Regulasi yang baik, akan melahirkan
budaya pendidikan yang baik. Budaya pendidikan yang baik akan menghasilkan
layanan pendidikan berkualitas. Revolusi pendidikan itu dimulai dari regulasi.
(Doni Koesoema A ; Anggota
Badan Standar Nasional Pendidikan Periode 2019-2023)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar