Menentang Patriarki
Oleh : JEAN COUTEAU
KOMPAS, 17 November 2019
Biasanya,
ketika diajak menghadiri acara seni kontemporer bernada konseptual, saya
kecewa: kehebohan sering lebih besar ketimbang hasil yang dicapai. Pesannya
kerap tidak sampai atau justru terlalu gamblang. Inilah gambaran umum yang
sering saya saksikan.
Pemrakarsa
pameran ini adalah Arahmaiani, seorang seniwati ’performance’ Indonesia
terkemuka. Karya I GAK Murniasih (almarhumah) dan Mary Lou Pavlovic, perupa
Australia, turut dipamerkan dalam acara ini.
Karya
ketiganya dirangkai sedemikian rupa agar seluruh pajangan mengungkap ’kutukan
tubuh’ yang menghinggapi setiap perempuan. Hakikat ’masalah’ perempuan diungkap
oleh Murniasih. Lukisannya menampilkan alat kelamin perempuan dari belakang:
jadi kita dengan gamblang diberi tahu bahwa masalah pokok perempuan terletak
pada tubuhnya dan cara tubuh itu ditanggapi.
Karya
Pavlovic menggambarkan foto seorang perempuan yang wajahnya memar, jelas karena
dipukul. Namun, dituliskan di atasnya kata ’liar’ yang menggandung dua arti.
’Liar’ di dalam bahasa Inggris berarti ’pembohong’. Perempuan yang dipukul
ataupun diperkosa cenderung ditolak pengaduannya: dia dianggap bertanggung
jawab, kalau tidak ’liar’, di dalam artian bahasa Indonesia.
Adapun karya
Arahmaiani terdiri dari foto tampak depan dari dirinya sendiri, bertopi dokter
dengan tanda palang merah. Ia memegang IUD di satu tangan dan gunting operasi
di tangan lain.
Tersirat di
sini bahwa kaum perempuan pun mempunyai andil di dalam segala tindakan yang
mengintervensi dan merusak tubuhnya, dan secara tidak langsung, kaumnya.
Apa fungsi
pameran seperti ini? Mengungkap secara gamblang problematik pokok kaum
perempuan: perempuan terjebak oleh tubuhnya; baik pria maupun perempuan
pertama-tama melihat perempuan sebagai tubuh.
Mengapa?
Tubuh adalah
tanda kehadiran kita utama sebagai insan manusia. Tubuh bersifat rangkap. Ada
tubuh biologis–sarana untuk memenuhi kebutuhan fisik agar bertahan hidup dan
bereproduksi. Ada juga tubuh kultural, yaitu tubuh biologis sebagaimana ditempa
oleh budaya dalam cara kita bergerak, berekspresi muka dan mata, menyapa, dan
bahkan berpakaian.
Semuanya ini
semula diinternalisasi tanpa disadari (Marcel Mauss). Proses ini tidak netral.
Sedari kecil, tubuh kultural kita diadabkan sedemikian rupa agar mencerminkan
’hubungan kekuasaan’ (Foucault), lebih-lebih di dalam hal jender.
Lalu, ketika
kita tumbuh dewasa, hubungan kekuasaan ini, yaitu patriarki, diimbuhi wacana
moralis-religius yang menampilkannya sebagai kebenaran sosial tunggal.
Patriarki itulah yang kemudian menentukan syarat akses pada tubuh biologis
perempuan—menuju seks dan reproduksi—sembari mengonstruksi seluruh hierarki
sosial.
Jadi, begitu
perempuan lahir, budaya sudah menjeratnya dalam patriarki, mengesahkan modus
dominasi atas tubuh biologisnya oleh kaum pria, dan menempa perilakunya.
Kalau
perempuan menolak kondisi ’tradisionalnya’ dan menuntut otonomi atau kebebasan,
nasibnya memburuk. Dia tidak lagi ’dilindungi’ oleh adab budaya patriarki,
tetapi dikucilkan, termasuk oleh kaumnya sendiri, dan sering dikerasi pria:
tubuhnya hanya dilihat sebagai tubuh yang tinggal diambil begitu saja.
Singkatnya, perempuan terperangkap, baik secara alamiah maupun secara kultural.
Lingkaran
setan patriarki di atas ini menjadi kenyataan sosial selama berabad-abad
lamanya dengan aneka varian kultural. Hanya dapat dilampaui dalam situasi
modernitas kapitalistis kontemporer. Dalam alam modern ini, kendati perempuan
tak ayal tercerabut dari lingkungan ’protektif’ tradisionalnya, dia bisa
mendapat otonomi ekonomi melalui pekerjaan dan otonomi pemikiran melalui
pendidikan.
Mempertanyakan
kondisinya, perempuan mampu melahirkan konsep emansipasi dan kemudian meminta
agar hal ihwal tubuh dibersihkan dari segala bias patriarkis. Namun, perjuangan
itu sulit dan kemajuan yang dicapai lamban.
Termasuk di
Indonesia. Bisa jadi sistem hukum kian netral dan diskriminasi ekonomi kian
kecil dalam kaitan jender. Akan tetapi, patriarki tetap bercokol di dalam hukum
agama dan lebih-lebih dalam kuasa atas tubuh perempuan sebagaimana dijelaskan
di atas.
Melihat
situasi ini, amat diharapkan bahwa para politikus kian menyadari betapa
patriarki meresapi perilaku kultural kita, dan tidak menggunakan RUU untuk
menjebloskan kaum perempuan dalam kondisi yang dikutuk secara mengharukan oleh
ketiga seniwati dalam pameran ini. Semoga. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar