PENEGAKAN HUKUM
Jaksa Agung dan Penuntasan Kasus
Pelanggaran HAM
Oleh : MIMIN DWI HARTONO
KOMPAS, 18 November 2019
Presiden
Joko Widodo telah mengangkat ST Burhanuddin sebagai jaksa agung pada Kabinet
Indonesia Maju. Ada harapan supaya kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat
segera dituntaskan. Namun, dalam sebuah kesempatan, Jaksa Agung Burhanuddin
menyatakan bahwa berkas-berkas penyelidikan pelanggaran HAM yang berat ada
kendala formil dan meteriil (Kompas, 8/11/2019).
Setidaknya
ada sepuluh berkas kasus pelanggaran HAM berat telah dilimpahkan oleh Komnas
HAM ke Kejaksaan Agung, di antaranya adalah Tragedi Kemanusiaan 1965/1966;
Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985; Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998;
Tragedi Trisakti, Semangi I dan II; Kasus Talangsari tahun 1989; Kerusuhan Mei
1998; Kasus Wasior Wamena, Papua Barat, dan tiga kasus semasa Daerah Operasi
Militer Aceh.
Namun,
sejauh ini, belum ada langkah konkret dari Kejaksaan Agung untuk menindaklanjutinya
ke tahap penyidikan dan penuntutan sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 21 jo
Pasal 23 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Di dalam
undang-undang tersebut dinyatakan bahwa penyidikan wajib untuk diselesaikan
dalam jangka waktu 90 hari sejak dinyatakan lengkap oleh penyidik (Pasal 22).
Tugas
Kejaksaan Agung untuk segera melakukan penyidikan dan penuntutan adalah
kewajiban sehingga tidak boleh ada keengganan atas dasar alasan apa pun.
Terabaikannya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat akan menjadi
beban bangsa dan selalu menjadi luka bersama yang akan mewaris dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Terpilihnya
kembali Presiden Joko Widodo memberikan harapan bagi korban dan publik agar
kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat bisa segera menemukan adanya kejelasan
dan penyelesaian. Penuntasan kasus pelanggaran HAM yang berat masuk di dalam
program yang diusung oleh Jokowi, yaitu Program Nawa Cita Nomor 4, tetapi
sampai dengan periode kedua pemerintahannya belum ada langkah konkret dan
memenuhi harapan korban.
Jaksa agung
yang baru harus sejalan dan mampu melaksanakan komitmen Presiden Joko Widodo
untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang berat, yang sejauh ini masih
tertunda, dengan menjabarkannya melalui langkah dan tindak penyidikan dan
penuntutan secara konkret dan terjadwal, mengingat kasus-kasus tersebut ada
yang sudah terbengkalai selama puluhan tahun.
Sebagai
kepala negara dan kepala pemerintahan, kita yakin bahwa Presiden Joko Widodo
pasti lebih mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan kelompok.
Justru dengan adanya pengadilan HAM, kepastian hukum bagi terduga pelaku dan
korban akan menjadi lebih jelas sehingga tidak ada tuduhan dan kampanye hitam
(black campaign) di luar proses peradilan.
Musim semi
pertama bagi Presiden Joko Widodo di saat masyarakat menumpukan harapan dan
kepercayaan besar pada pemerintahannya telah berlalu tanpa hasil yang sesuai
harapan publik. Semoga jaksa agung baru pilihan Presiden Joko Widodo mempunyai
kapabilitas secara hukum dan kemauan politik yang mumpuni supaya harapan
masyarakat dan korban atas penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat,
yang telah ditunggu sejak beberapa kali pergantian presiden, segera terpenuhi.
Jaksa agung
baru harus mampu dan mau menjalin komunikasi dengan mitra kerjanya, seperti
Komnas HAM, untuk segera melakukan langkah penyidikan dan penuntutan serta
bekerja sama melengkapi berkas perkara jika ada yang masih kurang sempurna atau
memerlukan pendalaman.
Proses
penegakan hukum yang terpadu atas kasus pelanggaran HAM yang berat harus
dimulai dan dikembangkan agar tidak lagi terjadi saling lempar tanggung jawab
dan saling lempar berkas yang akan merugikan hak korban dan keluarganya atas
kepastian hukum yang berkeadilan.
Jaksa Agung
dan Komnas HAM perlu menyusun prosedur operasi standar penyelidikan dan
penyidikan pelanggaran HAM yang berat agar fungsi dan kewenangan kedua lembaga
lebih sinergis dan optimal. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan yang
terpisah pada masing-masing lembaga jangan menjadi hambatan.
Namun,
menjadi media agar kedua lembaga saling berkoordinasi dan melakukan kontrol
yang sehat agar proses penegakan hukum atas pelanggaran HAM yang berat menjadi
lebih berbobot, akuntabel, dan mampu memulihkan hak-hak korban atas keadilan.
Dengan
demikian, ketidakjelasan atas penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat
yang merupakan bentuk pengingkaran negara atas keadilan (justice delayed is
justice denied) dapat segera diakhiri. Hal ini demi tegaknya hak dan martabat
kemanusiaan di negara yang beradab.
(MIMIN DWI HARTONO, Staf Senior
Komnas HAM, pendapat pribadi)
Terimakasih informasinya,.
BalasHapus