ARTIKEL
OPINI
Antara Demokrasi dan Makar
Oleh : INDRIYANTO SENO ADJI
KOMPAS, 18 Mei 2019
Penerbitan
Surat Keputusan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Nomor 38 Tahun
2019 tentang Tim Asistensi Hukum memiliki makna dan tujuan bagi penguatan
penegakan hukum dalam operasionalisasi aparatur penegak hukum. Persepsi yang
terkandung pada niat pemerintah adalah memberikan rasa kenyamanan kepada
masyarakat, arah ketertiban umum yang layak. Kesemuanya itu tetap berlandaskan
pada sendi dan basis sebagai negara hukum, tetap memberikan atensi pada due
process of law sebagai pendekatan hukum (legal approach).
Tampak ada
suatu perbedaan paradigma terkait kodifikasi dalam penggunaan aturan positif
berupa (antara lain) ketentuan tentang ”makar”, yang dalam literatur
perundang-undangan aslinya disebut aanslag. Ada dua hal menarik untuk
disinggung dalam tulisan ini: (1) pengertian ”makar” dengan legislasi
normatifnya dan implementasinya dalam kehidupan yudisialnya, serta (2) stigma
adanya politisasi hukum terhadap masalah makar, hasut, dan hoaks.
Ada wacana
ataupun kondisi yang menjadikan suatu perkara hukum dipenuhi dengan bungkus
polemik politik. Pertama, pendekatan obyektif dan hukum menjadi basis kehadiran
negara dalam masalah ini. Obyek dari istilah ”makar” itu sendiri diatur dalam
Bab I Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Kejahatan terhadap
Keamanan Negara, yaitu yang ditujukan terhadap kepala negara/wakil kepala
negara (Pasal 104), dilakukan dengan maksud supaya wilayah negara jatuh di
tangan musuh (Pasal 106), dan dilakukan dengan maksud menggulingkan
pemerintahan (Pasal 107).
KUHP sendiri
belum memiliki artikulasi yang tegas tentang ”makar”, selain ketentuan klausul
tersebut. Terkait delik serupa, Belanda menempatkan rumusan pada Bab I Bab II
tentang Serious Offences against the Security of The State, khususnya Artikel
95 tentang delik terhadap Council of Government—bahkan lebih tegas dan jelas,
yaitu dengan adanya tambahan unsur act of violence (kekerasan) dan threat of
violence (ancaman kekerasan)—sebagai syarat adanya ”permulaan pelaksanaan”.
Penafsiran
otentik terhadap Pasal 87 KUHP hanyalah meletakkan persyaratan suatu perbuatan
bisa dikatakan ”makar”, yaitu adanya suatu ”niat” yang diwujudkan dalam suatu
bentuk ”permulaan pelaksanaan” sebagaimana halnya dengan bentuk ”permulaan
pelaksanaan” yang diatur pada Pasal 53 KUHP tentang percobaan.
”Niat” itu
merupakan kehendak seseorang yang sifatnya abstraktif, luas, bahkan jarang
diketahui dengan kasatmata biasa, yang disampaikan orang itu (subyektif).
Adapun niat juga dari yang diketahui dan terlihat oleh orang lain sebagai
perbuatan yang ditujukan dari niat itu sendiri (obyektif). Begitu pula
”permulaan pelaksanaan”, dari sisi subyektif sebagai niat dengan kepastian
untuk melakukan tindak pidana tersebut. Sementara dari pemahaman obyektif, permulaan
pelaksanaan dapat diukur dari perbuatan yang mendekati potensi terjadinya
tindak pidana.
Untuk
membuktikan adanya suatu makar, pendekatan subyektif, menurut Prof Dr Eddy OS
Hiariej, memang sudah tak dapat digunakan atas dasar kondisi yang demokratis
sekarang ini. Oleh karena itu, adanya ”niat” dan ”permulaan pelaksanaan” harus
diukur dengan pendekatan obyektif, yaitu niat itu terwujud dari perbuatan yang
harus mengandung tindak pidana yang dituju dan diniati tersebut.
Penegakan hukum dan kebebasan berekspresi
Pasca-Pilpres
2019 muncul ajakan dari kelompok tertentu untuk melakukan people power,
melakukan delegitimasi terhadap lembaga negara formal, seperti Komisi Pemilihan
Umum (KPU), mengepung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), menguasai Istana Negara,
melakukan revolusi, atau perbuatan- perbuatan lain dengan cara-cara
inkonstitusional. Bahkan, seruan-seruan terviral dengan kata ucapan yang
subyektif, tidak konstruktif, tidak zakelijk, tidak sopan/kasar termakna suatu
actual malice, dapatlah dikatakan sebagai definitif makar dalam pemahaman hukum
dan Pasal 107 KUHP.
Dalam hal
ini, negara wajib hadir untuk menegakkan hukum terhadap siapa pun tanpa kecuali
dan tanpa terpengaruh atau terkait dengan masalah politik ketatanegaraan.
Kedua,
negara perlu menghindari terjadinya politisasi hukum dalam penegakan hukum
terkait masalah politik ketatanegaraan, dalam hal ini pemilu serentak,
khususnya pilpres. Tegasnya, negara tetap dan harus menjamin adanya suatu equal
treatment antara pilar penegakan hukum dan pilar jaminan konstitusional
kebebasan berekspresi di alam demokrasi. Harus pula dihindari pendekatan hukum
yang memunculkan multi-interpretasi.
Dari
pengamatan sejauh ini, negara tetap menunjukkan sikap demokratis, yaitu tak ada
larangan secara hukum terhadap setiap sikap, ekspresi, serta opini yang sering
obyektif, tegas, dan ilmiah sehingga tak bisa jadi obyek pemidanaan, sebagai
perangkap kekuasaan.
Karena itu,
pendekatan obyektif dan hukum ini tidak akan pernah menjadi hammer (palu)
penguasa untuk membatasi kebebasan seseorang atau kelompok guna berekspresi dan
berpendapat berkaitan dengan masalah politik dan ketatanegaraan. Segala sikap,
ekspresi, opini, bahkan konsep yang dilakukan secara obyektif—meski keras dan
divergen dengan pandangan penguasa—tak selalu dapat dianggap sebagai wujud
pelanggaran hukum, bahkan dijamin sifat konstitusionalitasnya.
Dalam delik
hukum yang terkait dengan politik ketatanegaraan, tak jarang pendekatan hukum
yang obyektif menemui benturan dengan sikap yang dianggap tak populer dan
represif. Karena itu, kehadiran negara dalam penegakan hukum adalah aksesibel
dan imperatif sifatnya. Semua ini demi keutuhan bangsa dan negara RI.
Indriyanto Seno Adji ; Guru Besar
Hukum Pidana; Pengajar Program Pascasarjana Bidang Studi Ilmu Hukum FHUI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar