PENDIDIKAN SDM UNGGUL
Pilihan Strategi Pendidikan untuk
Indonesia Emas 2045
Oleh : SUYANTO
KOMPAS, 11 November 2019
Presiden
Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin telah dilantik untuk masa
jabatan 2019-2014. Tentu pesan jelas akan lahir terkait dengan peningkatan
kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Mengapa demikian? Karena
pembangunan SDM telah dipilih untuk menjadi prioritas pada masa jabatan
Presiden Jokowi yang kedua ini.
Tahun 2045
menjadi tonggak waktu penting karena bertepatan dengan 100 tahun Indonesia
merdeka. Selain itu sebelum tahun 2045, kita akan melewati terjadinya bonus
demografi atau demographic dividend pada
tahun 2035, di mana struktur kependudukan kita akan didominasi oleh mayoritas
penduduk berusia produktif.
Kondisi ini
akan sangat menguntungkan bagi perekonomian kita manakala kita mampu
mempersiapkan 45 juta siswa saat ini menjadi SDM yang berkualitas, berdaya
saing dan berkarakter mulia dan unggul. Jika hal ini bisa kita lakukan, maka
tahun 2045 nanti, sebagaimana dikatakan Presiden Jokowi dalam pidato
pelantikannya 20 Oktober lalu, Indonesia akan berada pada lima terbesar
kekuatan ekonomi dunia dengan Produk Domestik Bruto 7 triliun dollar AS.
Sebaliknya,
jika kita gagal membekali mereka dengan berbagai keunggulan fundamental,
harapan kita memiliki generasi emas bisa berbalik menjadi generasi cemas.
Bahkan bonus demografi tidak menjadi berkah, tetapi akan berubah menjadi
musibah.
Pusat unggulan
Untuk
mempersiapkan SDM yang unggul, memiliki daya saing yang tinggi dan berkarakter
mulia, ke depan perlu dibangun pusat unggulan pendidikan di berbagai provinsi
dan atau kabupaten/kota. Kita perlu memiliki sekolah-sekolah yang unggul dalam
bidang akademik, budaya, dan karakter di setiap provinsi dan/atau kabupaten
kota. Sekolah ini dibangun agar menjadi penghela bagi gerbong kemajuan
pendidikan dalam jangka panjang. Konsekuensinya, program pemerataan kualitas
tidak perlu dilakukan untuk jangka waktu 10 sampai 20 tahun mendatang.
Pemerataan
kualitas saat ini memang penting tetapi tidak genting untuk segera dilakukan.
Mengapa begitu? Karena sebenarnya barang yang diberi label kualitas itu belum
ada di sektor pendidikan kita. Parameter kualitas belum terpenuhi secara
memadai dalam konteks makro, sehingga tidak bisa diratakan secara nasional.
Pendidikan
kita memiliki beban yang sangat masif dilihat dari beberapa parameter kualitas
seperti jumlah guru, siswa, dan juga jumlah sekolah itu sendiri.
Bayangkan
dengan jumlah guru saat ini kurang lebih 3 juta, siswa 46 juta, dan jumlah
sekolah 216.000, bagaimana kita bisa membuat program pemerataan kualitas
melalui parameter yang sangat besar unitnya secara kuantitatif?
Guru kita
sebagian besar kualitasnya belum baik, juga prestasi siswa kita jika diukur
dengan PISA skornya masih rendah. Capaian skor PISA siswa kita masuk kelompok
negara dengan nilai di bawah 450 dan berada pada peringkat 62 dari 70 negara peserta.
Oleh karena
itu, pilihan strategi yang tepat ialah membangun pusat unggulan pendidikan di
tempat-tempat tertentu yang bisa memberikan imbas paling luas kepada
sekolah-sekolah di sekitarnya.
Pilihan ini
memiliki justifikasi bahwa sebenarnya tidak semua rakyat kita harus masuk
sekolah yang berkualitas baik. Biar saja sebagian besar rakyat memiliki
pendidikan pada sekolah-sekolah berstandar nasional. Standar nasional merupakan
kriteria minimal dari delapan standar pendidikan yang terdiri dari isi,
pendidik dan tenaga kependidikan, proses, pembiayaan, penyelenggaraan,
sarana-prasarana, penilaian, dan kompetensi lulusan.
Terhadap
delapan standar itupun tak semua sekolah kita bisa memenuhinya. Dengan kata lain, pemerintah dan pemerintah
daerah sebenarnya belum bisa melakukan pemenuhan terhadap kriteria minimal
kebutuhan sekolah agar sekolah itu dapat beroperasi layak.
Dengan kata
lain, sekolah kita sebagian besar berjalan dengan apa adanya, belum sesuai
dengan kriteria minimal standar untuk meraih sebuah kualitas pendidikan. Dalam
kondisi seperti ini pilihan strategi yang mengutamakan pemerataan kualitas
sungguh tidak masuk akal. Oleh karena itu pilihan strategi yang tepat untuk
mengantarkan para generasi muda kita menjadi generasi emas adalah membangun
sekolah unggulan di daerah daerah tertentu yang terpilih dan terbatas.
Kita tak
perlu mendidik seluruh rakyat menjadi wirausahawan (entrepreneur) semuanya.
Kalau semua rakyat dididik menjadi entrepreneur, lalu siapa yang menjadi
pekerja, buruh, teknisi, supervisor, manajer dan direktur? Kita tidak perlu
mempersiapkan semua rakyat menjadi pemimpin. Kalau semua jadi pemimpin, lalu
siapa yang akan dipimpin? Realita kehidupan dalam masyarakat memiliki struktur
yang berbentuk piramida. Peran-peran yang semakin penting, semakin ke atas,
semakin sedikit diperlukan.
Jadi untuk
kurun waktu 10 – 20 tahun belum perlu kita memiliki pilihan strategi yang
bertujuan memeratakan kualitas. Pemerataan kualitas kedengarannya memang
egaliter dan populis, tetapi tak berdampak pada pembentukan SDM unggul untuk
Generasi Emas 2045.
Jadi,
pemerataan yang perlu dilakukan adalah pada aspek akses dan sarana-prasarana
saja bukan pada aspek kualitas. Membangun kualitas memerlukan man, money,
material, structure dan culture yang memadai, dan kenyataannya hal itu tidak
bisa ditemui pada semua sekolah dan penyelenggara pendidikan secara nasional.
Kita tak
perlu mendidik seluruh rakyat menjadi wirausahawan (entrepreneur) semuanya.
Kalau semua rakyat dididik menjadi entrepreneur, lalu siapa yang menjadi
pekerja, buruh, teknisi, supervisor, manajer dan direktur?
Suyanto ; Guru Besar Universitas
Negeri Yogyakarta; Dirjen Mandikdasmen Kemdiknas 2005 – 2013; Anggota Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP) 2019 -2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar