Di Indonesia tak terbilang banyak sekolah unggulan. Yang disebut sekolah unggulan ternyata sekolah berfasilitas unggul: kelas bermesin pendingin, komputer, lab lengkap, sarana olahraga, perpustakaan. Yang begitu sebenarnya bukan sekolah unggulan, melainkan sekolah dengan fasilitas fisik unggul.
Istri saya pensiunan guru SMA negeri. Konon sekolah tempatnya mengajar mendapat predikat sekolah unggulan. Sekolah itu hanya menerima anak-anak unggul dengan Nilai Ujian Nasional yang juga unggul. Saya pernah menyeletuk, “Itu, sih, bukan sekolah unggulan, tetapi sekolah dengan para murid ber-NUN unggul.” Istri saya marah. Dia bilang kalau ada anak ketahuan pakai narkoba di sekolahnya pasti keluar. Dan hampir semua sekolah seperti itu. Yang ketahuan pakai narkoba atau berbuat kriminal pasti dikeluarkan. Tanyaan saya, lalu di mana dia harus dididik? Di Lembaga Pemasyarakatan?
Tersebutlah beberapa tahun silam seorang siswa sebuah SMA di Merauke, Papua membunuh orang. Dia ditangkap polisi, diadili, dan dipenjara. Sekolah segera mengeluarkannya. Untunglah SMAN Plus Satu Atap 1 Merauke di Jl Trans Papua Km 21, Wasur mendatanginya di penjara. Anak pelaku kriminal itu ditanya, masihkah mau sekolah? Ia merasa kembali diperlakukan sebagai manusia, tapi sekaligus heran; “Kan saya masih dipenjara, Pak?”
SMAN Plus Satu Atap lalu mengirim guru ke penjara. Anak itu bisa ikut Ujian Nasional dan lulus. Selepas dari penjara, ia buka bengkel dan bantu SMAN Plus Satu Atap menangani “anak-anak bandel”. Tugas pendidikan bukan membuat seorang anak menjadi manusia hebat, melainkan mendidik anak menjadi orang baik. Kalau hanya hebat, Hitler, Polpot, dan Slobodan Milosevic juga sangat hebat. Merekalah pemegang rekor dunia sebagai pembunuh rakyat Jerman, Kamboja, dan Bosnia dengan jumlah terbanyak. Orang baik itu mereka yang bisa mandiri, tak jadi beban orang lain; syukur malah bisa bermanfaat bagi sesama manusia di sekitarnya. Prajurit yang baik tetap lebih baik dibandingkan dengan seorang jenderal korup. Seorang ketua RT yang baik lebih mulia di mata warganya dibandingkan dengan walikota atau bupati rakus yang berurusan dengan KPK.
Mendikbud kita hebat?
Melihat biografi Nadiem Makarim, menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Indonesia Maju, istri saya berkomentar. “Mendikbud kita ini jebul masih muda ya? Kelahiran 1984. Sama Uum (anak bungsu kami), tuaan Uum. Hebat dia, ya?” Takut salah ngomong, saya berkomentar netral-netral saja, “Ya iyalah. Orang tahunya Nadiem ya Gojek. Padahal ia MBA dari Harvard Business School. Ia juga ‘darah biru’ karena Hamid Algadri, ayah Atika, ibu Nadiem seorang tokoh perintis kemerdekaan. Atika banyak menulis berita kegiatan budaya di Majalah Sastra Horison sebelum menikah dengan Nono Makarim, seorang pengacara kondang dan aktivis ’66. Maher Algadri adik Atika seorang pengusaha sukses. Zacky Anwar, adik Nono Makarim, seorang perwira tinggi TNI yang pernah menjabat Kepala Badan Intelijen ABRI.”
Kemudian keterusanlah saya ngoceh di depan istri. Tetapi (dugaan saya), Nadiem Makarim dipilih Presiden Joko Widodo jadi menteri Pendidikan bukan karena dia hebat, melainkan karena presiden yakin dia mampu membongkar kebusukan dunia pendidikan di Indonesia. Sama dengan dunia kesehatan yang menjadi “budak” industri farmasi dan alat kesehatan, dunia pendidikan Indonesia adalah “budak” industri buku dan alat peraga. Kemendikbud sudah lama menyediakan buku pelajaran dalam bentuk soft copy yang bisa diunduh gratis sekolah atau siswa di seluruh Indonesia. Tapi, ya tetap saja penerbit buku melenggang ke sekolah, menawarkan sepeda motor, AC, bahkan mobil untuk kepala sekolah dan guru. Alasan yang disampaikan para guru, mengunduh buku gratis dari kementerian lalu mencetaknya lebih mahal dibanding dengan membeli buku. Ya, iyalah. Mestinya cukup diprin, dijilid pakai stapler, dan dilakban. Kalau dicetak, ya, jelas lebih mahal.
Jadi, buku yang ditulis di Jakarta, dicetak di Jakarta, terus dikirim ke daerah mulai Aceh sampai Papua dengan biaya kirim amat tinggi. Dampaknya, buku itu jadi sesuatu yang asing bagi anak-anak Aceh dan Papua sebab yang dimuat di dalamnya pikiran orang Jakarta yang lain sekali dengan dunia konkret anak-anak Aceh dan Papua.
Nasionalisme memang penting, tapi bukan dengan menghilangkan kedaerahan melalui penyeragaman. Orang Negro, Irlandia, dan Jepang di Amerika Serikat tetap bilang “Saya Negro Amerika, saya Irlandia Amerika, saya Jepang Amerika.” Negro, Irlandia, dan Jepangnya tak pernah hilang meski mereka sudah jadi bangsa Amerika. Rasa senasib sepenanggungan di negeri oranglah yang mempersatukan berbagai bangsa itu di sebuah negara baru bernama Amerika Serikat.
RRT lebih beruntung. Penduduk mereka sama-sama ras Mongoloid, tapi mereka lain-lain etnisitas dengan enam bahasa: Mandarin, Tionghoa, Hokkien, Kanton, Hakka, dan Tiochiu. Yang mempersatukan mereka tulisan. Indonesia itu rumit. Janji Sumpah Pemuda, Berbangsa Satu, Bertanahair Satu, dan Berbahasa Satu; sebenarnya dua yang pertama hanya niat. Yang benar-benar realitas hanya yang ketiga: Berbahasa Satu Bahasa Indonesia. Melalui bahasalah bangsa ini bisa terus bertahan menjadi Indonesia, atau cerai berai. Tetapi, menyeragamkan pendidikan dari Sabang sampai Merauke melalui Ujian Nasional merupakan sesuatu yang absurd. Dan sampai sekarang, upaya menghapus Ujian Nasional tak pernah bisa membuahkan hasil.
(F Rahardi ; Pengamat Pendidikan)