Bersyukur
Oleh : SAMUEL MULIA
KOMPAS, 24 November 2019
Di dalam
kereta api yang membawa saya dari Bandung ke Jakarta, saya membaca sebuah
kalimat di akun media sosial seseorang. Singkatnya, kalimat itu mengandung
pesan agar sebagai manusia kita harus bersyukur dalam keadaan baik, dan harus
memiliki iman kuat dalam keadaan buruk.
”Mengapa
saya tidak dianjurkan bersyukur ketika keadaan buruk terjadi?”
Buruk
Kemudian
saya melayangkan ingatan saya kepada begitu banyak peristiwa buruk yang telah
terjadi sejak masa kecil sampai tulisan ini dibuat. Dari soal pelecehan
intelektual yang saya terima, sampai penyakit yang tak henti-hentinya datang
tanpa melupakan kondisi keuangan dan usaha yang seperti ayunan.
Seingat
saya, saat semua kejadian buruk itu terjadi, saya tak bersyukur. Tepatnya, saya
tak bisa bersyukur. Anda pasti bisa memaklumi kalau saya tak dapat bersyukur.
Karena bagaimana bersyukur untuk hal-hal buruk itu, bukan?
Saya tak
bisa membayangkan harus bersyukur untuk penyakit yang mematikan, misalnya. Atau
untuk sebuah usaha yang bangkrut, atau kehilangan orang yang dicintai, atau
dalam kasus yang lebih buruk dari apa yang saya tuliskan itu.
Saya mencoba
berpikir, mengapa otak saya sempat mengajukan pertanyaan di atas, bahwa
unggahan yang saya baca itu tidak menyarankan saya berterima kasih dalam
keadaan buruk. Dengan kecerdasan otak saya yang gitu deh itu, saya mulai
berpikir.
Apa
sesungguhnya kondisi buruk itu? Apakah kebangkrutannya, apakah kehilangan orang
yang dicintai, apakah penyakit yang mematikan, apakah pelecehan yang telah
diterima? Mengapa saya mengatakan itu buruk? Tiba-tiba terlintas dalam pikiran
saya, kalau kondisi itu disebut buruk jika saya hanya melihat sebuah kejadian
hanya dari sisi buruknya saja. Pertanyaannya kemudian, apakah ada sisi baiknya
dari sebuah kejadian buruk?
Apakah kalau
sudah buruk, ya, buruk saja. Mau dilihat dari sudut mana saja, ya, tetap buruk.
Saya menjalani kehidupan setelah keburukan itu terjadi dengan rasa lara yang
sangat, karena merasa kehidupan benar-benar tak adil.
Selama
perjalanan kereta yang membosankan itu, saya mencoba melihat kembali kepada
kejadian buruk yang telah terjadi. Kalau dilihat dari sisi buruk saja, penyakit
yang saya derita ini membuat saya harus operasi, mengeluarkan dana, tak bisa
punya aktivitas seperti dulu lagi.
Menciptakan keadilan
Operasi
berarti harus menjalani beberapa minggu hidup di atas ranjang tak bisa ke
mana-mana. Belum lagi kalau operasinya berhasil. Bagaimana kalau tidak? Kalau
saya bangkrut, keburukan itu adalah saya tak punya usaha lagi, saya malu kepada
teman-teman saya yang berhasil, saya merasa gagal, saya merasa tak mampu
memberi kehidupan kepada orang lain.
Kalau saya
dilecehkan secara intelektual, sampai saya memercayai kebenaran dari pelecehan
itu, saya tumbuh sebagai manusia yang percaya diri. Percaya kalau dirinya
bodoh, maksudnya.
Nah, saya
mencoba untuk melihat tiga kejadian itu dari sisi yang tidak buruk. Saya memang
harus operasi, saya memang harus berbaring berhari-hari, bisa saja operasi itu
berhasil atau tidak berhasil. Tetapi, kalau saya operasi, artinya saya memberi
kesempatan pada dua kemungkinan: berhasil atau tidak.
Kalau saya
berkeluh kesah terus dan tak mau operasi, saya hanya punya satu kemungkinan.
Tidak ke mana-mana. Kalau saya mati, misalnya. Bukankah kematian saya melegakan
karena saya sudah memberi kesempatan kepada diri saya daripada hanya berkeluh
kesah dengan mulut yang menyuarakan hidup ini tak adil.
Bukankah
kesempatan yang saya berikan kepada diri saya itu adalah sebuah keadilan yang
saya ciptakan untuk saya? Bukankah saya akan sejahtera mati dalam hidup yang
adil itu? Kalau saya bangkrut. Saya yakin saya malu sekali, apalagi kalau
melihat pengusaha yang berhasil bahkan sampai usahanya dikategorikan unicorn,
dan saya hanya berakhir sebagai pengusaha Capricorn karena memang lahir di
bawah rasi bintang itu.
Tetapi jika,
setelah merasa malu, saya mau memberi kesempatan kepada diri saya, maka saya
akan mengevaluasi mengapa kebangkrutan itu terjadi. Kebangkrutan membuat saya
punya waktu untuk berpikir usaha apa lagi yang dapat saya lakukan dengan lebih
berhati-hati. Kebangkrutan membuat saya beristirahat sejenak dari ambisi saya
yang mungkin berlebihan dibandingkan kemampuan.
Kalau saya
merasa bodoh dibandingkan orang yang superpandai, maka saya harus menciptakan
kesempatan untuk berpikir bahwa saya bodoh matematika, tetapi saya mampu
menjadi penulis yang baik. Saya menciptakan keadilan untuk diri saya, bukan
untuk menyaingi kepandaian orang dengan tingkat intelektual yang telah
dilecehkan itu. Saya menciptakan keadilan untuk diri saya agar saya bisa
berpikir bahwa pandai itu tidak selalu harus diartikan dengan pandai berhitung.
Saya
memutuskan untuk menciptakan keadilan untuk diri saya. Keadilan yang membuat
saya mampu menghadapi hal terburuk dengan sudut pandang yang tidak buruk.
Mungkin dengan demikian, saya mampu bersyukur dalam segala hal dan tidak
berkeluh kesah tentang segala hal. Termasuk perjalanan panjang yang membosankan
di dalam kereta yang berisik itu. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar