MAKNA KEPAHLAWANAN
Yang Hilang d(ar)i Hari Pahlawan
Oleh : A. WINDARTO
KOMPAS, 16 November 2019
Menarik
bahwa belum lama ini seekor anjing pelacak dari Amerika Serikat dicap sebagai
pahlawan. Pasalnya, karena anjing itulah yang telah mengejar pemimpin ISIS Abu
Bakr al-Baghdadi sebelum meledakkan bom bunuh diri di sebuah terowongan. Anjing
itu sendiri selamat meski mengalami luka-luka (Sindonews, 29/10/2019)..
Dalam
bukunya yang berjudul Pahlawan-pahlawan Belia. Keluarga Indonesia dalam Politik
(KPG, 2001), Saya Sasaki Shiraisi menunjukkan bahwa pahlawan adalah bahasa yang
secara politis diciptakan dalam sebuah keluarga. Yang dimaksud dengan keluarga
bukan sekadar sosok-sosok yang dikenal berperan sebagai bapak, ibu atau anak.
Tetapi, hal itu merupakan suatu sistem dari hubungan relasional antara
orang-orang yang berperan dalam keluarga.
Sistem yang
dibentuk dari sana dinamai dengan kekeluargaan atau “famili-isme”. Dalam sistem
inilah, bapak diposisikan sebagai kepala yang bertanggungjawab terhadap para
anggota keluarga. Sementara, ibu dan anak adalah mereka yang dituntut untuk
selalu taat dan patuh pada segala aturan dan/atau ajaran yang dibuat bapak.
Di sanalah
batas-batas antara yang tertib dan gaduh, antara yang jinak dan liar,
dihadirkan demi keamanan dan kenyamanan hidup dalam keluarga. Itulah mengapa
bapak yang dianggap tahu segalanya tidak pernah dipandang bersalah, meski telah
melakukan korupsi misalnya. Sebaliknya justru bapak dipandang sebagai dermawan,
meski ketahuan “mencuri” atau berbuat “skandal” sekalipun.
Dalam hal
ini, bapak dapat bertindak toleran dan sewenang-wenang, tetapi dapat pula
menjadi kenangan akan ketakutan. Itu artinya, bapak selalu menjadi pahlawan
yang ditegakkan melalui bahasa yang tidak boleh ditentang oleh siapapun. Maka
apapun yang diperbuat oleh bapak adalah sah dan resmi sehingga harus dijaga dan
diselamatkan. Sementara, bagi yang menentang bapak, akan dipandang sebagai
suatu kegaduhan yang perlu ditertibkan.
Penertiban
lewat bahasa seperti pahlawan adalah salah satu cara untuk menunjukkan bahwa
tidak ada yang melanggar, apalagi menantang, hukum dan peraturan jika sosok
bapak begitu dihormati, dihargai dan disegani oleh para anak buahnya setara
dengan seorang pahlawan.
Namun, di
sinilah sesungguhnya bahasa yang tanpa makna alias bahasa kosong itu berada.
Bahasa yang dibuat untuk menutupi kenyataan itu justru digunakan untuk
menegakkan kebohongan, bahkan kejahatan, yang mengerikan dan berdarah.
Salah satu
contohnya adalah Orde Baru yang dibangun hanya lewat sebuah surat sakti bernama
Supersemar. Sebab berkat surat itu ratusan ribu nyawa melayang dalam sekejap
tanpa dapat ditelusur lagi jejak langkahnya.
Belum lagi
yang hingga kini masih menyimpan ingatan yang tidak mudah untuk dilupakan
mengenai pembantaian orang-orang yang dicap “komunis”. Cap yang sampai saat ini
selalu dijadikan “hantu” untuk membungkam siapapun yang melawan heroisme dari
para penjagal komunisme.
Bukan
kebetulan bahwa salah seorang penjagal “komunis” di Medan, Sumatera Utara,
belum lama ini tutup usia. Namanya Anwar Congo yang sempat menjadi tokoh utama
dalam sebuah film dokumenter berjudul “Jagal” (The Act of Killing) garapan
Joshua Oppenheimer (2012).
Bagi para
penjagal, seperti Anwar Congo, pembantaian terhadap orang-orang komunis adalah
sebuah aksi heroik. Sebab apa yang mereka perbuat adalah demi menyelamatkan
rejim yang telah memberi kekayaan meski dengan cara dan gaya kriminal
sekalipun. Kendati “kepahlawanan” mereka tidak pernah diakui oleh negara, namun
kenangan akan aksi heroik itu adalah kebanggaan atas kekebalan mereka dari
peraturan dan hukum apapun.
Jadi,
kepahlawanan yang kerap dibanggakan sebagai bahasa pengorbanan tanpa pamrih
(nasionalisme) sesungguhnya perlu selalu diwaspadai dengan jeli. Kewaspadaan
itu diperlukan agar tidak kehilangan saat dan tempat yang tepat untuk memaknai
kepahlawanan secara lebih kritis dan tajam. Hal ini sekaligus merupakan
perlawanan terhadap fosilisasi bahasa tentang kepahlawanan.
Dengan kata
lain, kepahlawanan bukan sekadar ditunjukkan oleh adanya bintang jasa, taman
makam pahlawan, atau monumen bersejarah tertentu. Melainkan, lebih dari itu adalah
sumbangsih apa yang dapat dijadikan peringatan akan hilangnya semangat rela
berkorban tanpa perlu mengorbankan orang lain.
Syair-syair
dari puisi Wiji Thukul misalnya, dapat dijadikan contoh nyata betapa sumbangan
kata-kata puitisnya masih dapat menjadi sumber kekuatan untuk menyuarakan
kepentingan dari para korban. Salah satunya kata-kata yang berbunyi “Ini tanah
airmu, di sini kita bukan turis.”
Dalam aksi
demonstrasi terhadap RUU KPK, RUU KUHP, dll., kata-kata itu sempat viral
lantaran tertera pada sebuah kaos yang dipakai oleh salah seorang peserta aksi.
Meskipun bukan pahlawan, namun kata-kata yang diciptakan oleh salah seorang
penyair dari Solo di era 1990-an itu toh lebih bermakna dan berdaya ketimbang
kisah kepahlawanan dari anjing pelacak di atas. Bukankah demikian? ***
(A. Windarto ; Peneliti di Lembaga Studi
Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar