Pendidikan Tinggi Tersembunyi
Oleh : SULISTYOWATI IRIANTO
KOMPAS, 23 November 2019
Dalam
kabinet baru nomenklatur ”Pendidikan Tinggi” hilang dari Kementerian Riset dan
Teknologi, tetapi juga tidak tersurat dalam Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Kita juga
tak memiliki desain nasional yang jelas dan berjangka panjang tentang riset
sains-teknologi dan humaniora. Riset seperti apa yang dibutuhkan untuk masa
depan Indonesia? Inikah yang menyebabkan pendidikan tinggi kita seperti
tersembunyi? Presiden Jokowi dalam pidatonya mempertanyakan mengapa universitas
sukar berubah. Padahal pemenang persaingan masa kini adalah yang mereka
tercepat dalam inovasi, termasuk universitas.
Memang,
disrupsi tidak hanya menerjang perusahaan raksasa, juga universitas yang tak
mau berubah dan lambat merespons kebutuhan masyarakat dan industri. Sementara
itu, ilmu pengetahuan dan informasi melimpah di dunia maya, termasuk kuliah
dari para profesor ternama dunia. Industri digital raksasa saat ini pun
merekrut orang berdasarkan jejak kreativitas dan inovasi, bukan ijazah formal.
Namun,
menyelenggarakan pendidikan tinggi memerlukan perhatian. Fungsi universitas
bersifat khusus, yaitu memproduksi ilmu pengetahuan, tidak sekadar menerapkan
(menghafal) ilmu seperti pendidikan dasar dan menengah. Tujuan esensialnya
tidak hanya melahirkan sarjana terampil tetapi juga berpengetahuan dan
berintegritas. Menjadikan mereka berketerampilan digital, melek big data,
waspada akan datangnya era kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan
robot sangat penting.
Namun,
menjadikan mereka sebagai pemikir dan menghasilkan riset sosial-humaniora
bersifat frontier, mampu meramalkan kebudayaan masyarakat era teknologi dengan
berbagai masalahnya di masa depan juga penting. Membongkar sejarah kekejaman
perang masa lalu agar manusia tidak mengulangi juga penting (Limpach, 2015).
Pengetahuan dan riset semacam ini tidak bisa dikuantifikasi. Kedua ranah
sains-tekno dan humaniora seharusnya diberi perhatian sama, bahkan dibukakan
kolaborasi interdisiplin.
Masalah struktural
Membangun
pendidikan tinggi harus diawali dengan mengidentifikasi masalah struktural dan
membuat solusi tepat. Beban regulasi yang inkoheren-tumpang tindih dan prosedur
administratif berbelit berdampak besar bagi lambatnya pengembangan ilmu,
kreativitas dosen, dan tata kelola universitas.
Pertama,
standardisasi capaian dan akreditasi universitas, fakultas, program studi
(prodi), laboratorium, pusat riset diukur dengan parameter administratif yang
tidak memberdayakan. Misalnya setiap unit harus punya staf sendiri (prodi),
atau alat sendiri (laboratorium). Prodi di satu universitas pun sulit
mendapatkan keahlian atau menggunakan laboratorium prodi atau fakultas lain.
Lembaga
riset beserta laboratorium berskala nasional pun tidak dimungkinkan untuk
digunakan secara kolaboratif karena sudah menjadi ”milik” periset suatu lembaga
di mana unit itu berada. Padahal, membuat laboratorium dan membeli peralatan
sendiri amat mahal dan dengan cepat ketinggalan zaman. Pengadaan alat oleh
peneliti sendiri tidak dibolehkan berdasarkan peraturan keuangan negara
sehingga peneliti tidak bisa bergerak cepat.
Pemeringkatan
universitas didasarkan pada ukuran administratif juga rapuh karena bukan
berbasis pada terbangunnya budaya akademik. Di Jerman, misalnya, pemeringkatan
atau penghargaan kepada universitas didasarkan pada kompetisi proyek penelitian
sains, teknologi dan humaniora, yang konsep dan visinya jauh ke depan
(frontier) dan bermanfaat bagi kemanusiaan. Riset itu diintegrasikan dengan
pengajaran (research based teaching) sehingga mahasiswa mendapat materi baru.
Proyek
penelitian diajukan suatu universitas (atau kolaborasi beberapa fakultas dan
universitas). Gengsi universitas otomatis didapat universitas pemenang, tanpa
pemerintah harus merankingnya. Prestasi akademik para ilmuwan berkelindan dalam
budaya akademik, bukan karena perintah administratif yang memaksa.
Kedua,
perubahan paradigma tidak sejalan dengan regulasi dan akreditasi yang kuno. Di
negara lain sudah banyak muncul pembidangan baru lintas disiplin di antara
sains-keteknikan, kesehatan, dan sosial humaniora, tanpa beban birokrasi.
Sementara cara berpikir mono-disiplin, linear sudah memfosil karena dipelihara
oleh sistem. Ilmuwan sukar ke luar dari zona nyamannya.
Mereka
khawatir kehilangan identitas paradigmatik keilmuannya, atau takut tidak naik
pangkat bila ilmu tidak linear. Metode pengajaran satu arah, ”dosen tidak
pernah salah”, masih berlangsung. Sudah saatnya metode konvensional ini
ditinggalkan, dan mengajak mahasiswa untuk off class, bertemu masyarakat dan
realitas secara digital maupun empirik.
Universitas dan industri tidak
terhubung
Ketiga,
ketiadaan hubungan antara universitas dan industri juga karena industri kita
tidak ada yang benar-benar memproduksi sendiri, kecuali assembling saja.
Sebabnya, industri besar sudah memiliki pusat risetnya di head quarter negara
masing-masing. Celakanya, kalaupun ada korporasi atau industri di Indonesia
yang membutuhkan keahlian, mereka bukan membangun sinergi dengan universitas,
malah membuat universitas sendiri. Amat sedikit CSR (corporate social
responsibility) dari industri atau korporasi kepada universitas. Jarang ada
kerja sama universitas dan industri yang menghilirkan temuan sains dan
teknologi menjadi barang jadi yang bisa dinikmati masyarakat.
Keempat,
pembiaran terhadap pendidikan pascasarjana. Bagian penting dari universitas
yang memiliki potensi dan kapasitas untuk menghasilkan karya bermutu adalah
pendidikan pascasarjana. Universitas ternama di negara maju justru lebih
berkonsentrasi membesarkan pascasarjananya. Para profesor dan mahasiswa
doktoral memiliki kesempatan seluas-luasnya untuk menghasilkan riset bermutu.
Produksi
pengetahuan (jurnal bereputasi dan hak paten) lahir dari sivitas pascasarjana.
Pendanaan penelitian pascasarjana berasal dari negara maupun industri, yang
berkepentingan mendapatkan temuan terbaik dari universitas. Di sini terjadi
pembiaran terhadap pascasarjana, ”nir-subsidi”, menyebabkan pendidikan
pascasarjana harus membiayai hidupnya sendiri. Akibatnya, universitas ”terpaksa”
menjadikan pendidikan pascasarjana komoditas bagi mahasiswa yang mampu
membayar.
Kelima,
karena ketiadaan desain nasional, maka dana riset penelitian (dan pengabdian
masyarakat) diberikan amat menyebar untuk riset kecil-kecil, sporadis, dan
tidak terkoneksi satu sama lain. Evaluasi terhadap kinerja penelitian lebih
bersifat administratif daripada keunggulan akademiknya. Tuntutan publikasi
hasil riset di jurnal bereputasi bukan tanpa masalah, termasuk potensi
kecurangan ”efek kobra” (mengutip tulisan sendiri).
Keenam,
konsekuensi otonomi akademik—khususnya bagi PTN-BH (perguruan tinggi negeri
badan hukum)—adalah tata kelola universitas yang transparan dan akuntabel.
Namun, regulasi keuangan negara menyamakan universitas dengan kantor jawatan
pemerintah. Pengadaan dan pemeliharaan peralatan laboratorium, perpustakaan,
bahkan penyelenggaraan konferensi ilmiah dan disamakan dengan pengadaan barang.
Akibatnya, transparan dan akuntabel disamakan sekadar ”ada kuitansinya”.
Berbagai
problem di atas dapat menjelaskan pengembangan keilmuan yang berjalan lamban.
Kita ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain dalam memandirikan
perguruan tinggi. Meskipun Indonesia memiliki banyak orang pintar, prestasi
ilmuwannya termasuk rendah di dunia.
Jangan
sampai fenomena brain drain, larinya orang Indonesia pintar ke luar negeri
terus berlanjut; karena tidak tersedianya sistem dukungan laboratorium,
fasilitas, aksesibilitas, dan insentif yang memadai. Sementara masa depan
negeri kita amat membutuhkan para ilmuwan muda untuk membangun center of
excellence. Selamat bekerja para menteri baru terkait pendidikan tinggi.
Sulistyowati Irianto , Guru Besar
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar