Muhammadiyah Perekat Bangsa
Oleh : FAJAR RIZA UL HAQ
KOMPAS, 25 November 2019
Muhammadiyah
menginjak usia ke-107 tahun pada 18 November 2019.
Ketangguhan
eksistensinya hingga hari ini menjadikan Muhammadiyah organisasi Islam modernis
tertua di Indonesia. Cerdas membaca pancaroba zaman, adaptif terhadap
perubahan, dan teguh pada prinsip adalah kuncinya.
Komitmen
kebangsaan Muhammadiyah sudah teruji dan terbukti. Minggu lalu, Presiden Jokowi
menetapkan enam tokoh bangsa sebagai pahlawan nasional. Satu di antaranya
almarhum Prof Abdul Kahar Mudzakkir, mantan anggota Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dari perwakilan
Muhammadiyah. Ia tokoh Muhammadiyah ke-14 yang mendapat gelar pahlawan nasional
dari pemerintah. Penganugerahan ini menjadi kado istimewa di saat Muhammadiyah
merayakan momen kelahirannya November ini.
Adapun 13
putra dan putri Muhammadiyah yang lebih dulu mendapat pengakuan sebagai
pahlawan nasional adalah Ahmad Dahlan, Siti Walidah, Fatmawati, Soekarno,
Sudirman, Juanda, Fakhruddin, Hamka, Gatot Mangkupraja, Mas Mansur, Ki Bagus
Hadikusumo, Kasman Singodimejo, dan Nani Wartabone. Di luar mereka, masih
banyak kader Muhammadiyah yang sangat layak dipertimbangkan dan diperjuangkan
menjadi pahlawan nasional.
Namun,
sangat penting digarisbawahi, pengabdian dan karya nyata Muhammadiyah untuk
Indonesia jauh melampaui hasrat mengejar pengakuan pahlawan bangsa. Ruh gerakan
Muhammadiyah menebarkan kebajikan Islam rahmatan lil ’alamin, mencegah
kemungkaran dan ketakadilan serta membumikan nilai-nilai Pancasila dalam tata
kehidupan berbangsa.
Proklamasi
Muhammadiyah bahwa Negara Pancasila adalah Darul Ahdi wa Syahadah (negara
kesepakatan dan pembuktian) mencerminkan ruh gerakan itu. Orientasi amal
Muhammadiyah adalah mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai tema milad
Muhammadiyah 2019. Tak ada gerakan pembaruan tanpa pencerahan akal budi dan
hati suci, memakai bahasa Ahmad Dahlan.
Amal
kebangsaan Muhammadiyah tak semata menjangkau seluruh pelosok negeri, tetapi
juga berkontribusi merekatkan identitas keindonesiaan, memanusiawikan warga
negara, dan membangun fondasi ekonomi masyarakat kelas bawah. Persyarikatan ini
turut merawat bahkan menyambungkan napas kebinekaan di daerah-daerah minoritas
Muslim, seperti Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Papua Barat. Para pengurus dan
kadernya tak sungkan menerobos daerah terpencil dan terluar yang mungkin kurang
dapat perhatian negara. Tercatat, ada 98 amal usaha Muhammadiyah (lembaga pendidikan
dan panti asuhan) dan empat perguruan tinggi Muhammadiyah di tanah Papua dan
Papua Barat.
Kiprah
Muhammadiyah itu membawa faedah yang kemanfaatannya diakui banyak pihak.
Seperti diungkapkan pemimpin Muhammadiyah Haedar Nashir, semangat Muhammadiyah
adalah semangat integrasi nasional, semangat integrasi sosial, semangat
pluralitas yang produktif. Seluruh kekuatan bangsa dalam keberagaman harus
hidup damai saling toleransi dan saling memajukan.
Menjawab tantangan
Dalam
konstruksi sipil Islam Robert Hefner (2000), Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama
(NU) merupakan dua pilar dalam proses konsolidasi demokrasi pasca-jatuhnya Orde
Baru. Kedua ormas ini dinilai berjasa dalam memahami dan menyemaikan
nilai-nilai Islam yang selaras dengan prinsip-prinsip demokrasi, seperti
toleransi, kesetaraan, keterbukaan, dan keadilan. Namun, beberapa studi
belakangan mempertanyakan tesis Hefner tersebut.
Misalnya,
Jeremy Menchik (2019) yang berpandangan bahwa di samping mengampanyekan
nilai-nilai yang sejalan dengan napas demokrasi, pada situasi tertentu kedua
ormas itu juga mempraktikkan nilai-nilai yang antidemokrasi. Ia menyandarkan
argumentasinya pada tingginya intoleransi kedua ormas ketika dihadapkan pada
isu-isu krusial seperti penistaan agama dan memilih pejabat publik dari
non-Muslim.
Survei SMRC
menemukan adanya tren penurunan sejumlah indikator kebebasan sipil dalam
sepuluh tahun terakhir. Warga yang takut bicara mengenai politik meningkat 43
persen dibanding 2014 yang hanya 17 persen. Ketakutan warga untuk berorganisasi
pun naik dari 10 persen menjadi 21 persen. Grafik ketidakbebasan beragama juga
merangkak naik dari 7 persen menjadi 13 persen.
Perkembangan
ini mengingatkan bahwa fondasi demokrasi kita memerlukan penguatan segera.
Mengabaikan persoalan ini akan berdampak pada masa demokrasi Indonesia. Kabar
baiknya terjadi tren penguatan identitas nasional sebagai warga Indonesia dalam
tiga tahun terakhir, seiring pelemahan identitas keagamaan dan kesukuan.
Peningkatan tren positif juga terjadi pada keyakinan bahwa Pancasila dan UUD
1945 landasan berbangsa dan bernegara paling baik.
Bagaimana
Muhammadiyah berperan merespons tantangan semacam ini? ”Hidup bernegara dan
berbangsa jangan merasa benar sendiri dan merasa paling Indonesia, semuanya
memiliki kelebihan dan kekurangan, karena itu harus mau berbagi dan bersinergi
satu sama lain,” ungkap Haedar.
Pandangan
ini mencerminkan etika berbangsa Muhammadiyah. Haedar menekankan agar semua
anak bangsa menjauhi sikap saling menegasikan, menganggap diri paling bersih,
dan merendahkan orang lain. Pemerintah tak boleh meminggirkan peran kritis
organisasi-organisasi masyarakat. Negara harus membuka diri terhadap kritik
agar tidak terjerumus pada langkah keliru. Pada saat yang sama, kritik
masyarakat juga perlu obyektif, jangan merasa benar sendiri dan apriori.
Masa depan
demokrasi Indonesia akan ditentukan, sebagian jalannya, oleh sejauh mana
keberhasilan atau bahkan kegagalan Muhammadiyah merelevansikan identitas dan
cita-cita hidup Muhammadiyah di tengah mengerasnya polarisasi sosial dan
meningkatnya perilaku-perilaku warga yang jauh dari keadaban.
Munculnya
sejumlah kritik terhadap gerakan ini mencerminkan masih adanya ketimpangan yang
semestinya dijawab secara tepat dan tangkas. Sebagai organisasi pembaru,
Muhammadiyah harus senantiasa belajar dan membuka diri atas realitas di luar
dirinya. Muhammadiyah adalah perwujudan perubahan itu sendiri dengan tetap
berporos pada jati dirinya.
Gerakan
Muhammadiyah hendaknya konsisten menjadi poros persemaian nilai keislaman dan
kebangsaan yang selaras dengan budaya kewargaan dan kemanusiaan sehingga
kesadaran membela kesetaraan, keadilan, dan integrasi bangsa menjadi napas dari
gerakan pencerdasan kehidupan bangsa. Organisasi ini telah berpengalaman
mengembangkan kemampuan dalam menyuarakan aspirasi yang tak selalu sejalan
dengan kepentingan pengelola negara.
Modal sosial
ini harus dirawat dan dikembangkan guna memastikan masa depan demokrasi di
negeri ini. Dengan begitu, Muhammadiyah menjadi pilar bangsa yang merekatkan
dan memerdekakan semua warga negara.
Fajar Riza Ul Haq ; Pengurus Majelis
Hukum dan HAM PP Muhammadiyah
menang berapapun di bayar
BalasHapusayo segera bergabung bersama kami di bandar365*com
WA : +85587781483