PEMBANGUNAN SDM
Nadiem dalam Platform Pendidikan
Jokowi-Ma’ruf
Oleh : MOHAMMAD ABDUHZEN
KOMPAS, 25 November 2019
Pemerintahan
Jokowi-Ma’ruf Amin menjadikan pembangunan sumber daya manusia (SDM) prioritas
utama.
Peningkatan
kualitas manusia Indonesia” yang dalam Nawacita I sebagai misi kelima,
kini, dalam (sebut saja) Nawacita II,
menjadi platform pertama.
Masalah SDM
yang kita hadapi, tak terletak pada jumlahnya yang besar, melainkan kualitasnya
yang rendah sehingga selain jadi beban negara/bangsa, juga jadi faktor
destruktif dan sumber berbagai masalah. Terlebih bagi mereka yang memiliki
akses terhadap kekuasaan yang seyogianya jadi solusi dan motor pembangunan,
justru seperti berlomba ambil bagian merongrong kehidupan berbangsa dan
bernegara. Secara sederhana, ada dua
pokok persoalan SDM kita.
Pertama,
terkait integritas, yaitu persoalan mentalitas-budaya seperti pola pikir dan
nalar, kepatuhan pada nilai-nilai moral, serta masalah komitmen kebangsaan.
Kedua,
persoalan produktivitas, yaitu kemampuan SDM dalam menghasilkan sesuatu yang
bermanfaat bagi kehidupan dirinya dan orang lain. Amartya Sen, penerima Nobel
ilmu ekonomi 1998 (Development as
Freedom, 1998) menandai SDM yang tidak mendukung kemajuan di antaranya adalah
yang memiliki kemampuan produksi rendah berkelindan dengan pertambahan penduduk
yang tinggi sehingga tingkat
pengangguran dan setengah pengangguran tinggi.
Bagaimana
upaya membangun SDM dan mengatasi dua masalah ini tergambar di antaranya dari
cara pemerintah mendesain, mengelola, dan menyelenggarakan sistem pendidikan
nasional.
Pendidikan,
Nawacita, dan RPJPM
Dalam
Nawacita II, pendidikan merupakan program aksi ketiga dan keempat dari misi
pertama: peningkatan kualitas manusia Indonesia. Pertama, pemerintah akan
mereformasi sistem pendidikan dengan memperluas akses masyarakat terhadap
pendidikan. Di antaranya mempercepat wajib belajar 12 tahun, membangun
infrastruktur pendukung, dan memberikan beasiswa. Selebihnya akan mempercepat
pemerataan kualitas pendidikan melalui peningkatan standar pendidikan,
peningkatan kesejahteraan dosen dan guru serta meningkatkan pendidikan mental,
karakter, dan peningkatan literasi.
Kedua,
pemerintah akan merevitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi untuk menyiapkan
SDM terampil disesuaikan dengan kebutuhan dunia industri dan perkembangan teknologi.
Selain itu akan memperluas akses buruh dan santri mendapatkan pendidikan dan
pelatihan keterampilan/kewirausahaan.
Berbeda
dengan Nawacita, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2020-2024,
peningkatan SDM berkualitas dan berdaya saing bukan yang utama, tetapi program
ketiga dari tujuh agenda pembangunan.
Dalam arah
kebijakan pembangunan SDM terkait pendidikan, fokus kegiatan pada meningkatkan
pemerataan layanan pendidikan berkualitas melalui peningkatan kualitas
pengajaran dan pembelajaran;
peningkatan pemerataan akses layanan pendidikan dengan percepatan Wajib
Belajar 12 Tahun; peningkatan profesionalisme, kualitas, pengelolaan, dan
penempatan pendidik/tenaga kependidikan yang merata; penguatan penjaminan mutu
pendidikan untuk meningkatkan pemerataan kualitas layanan antar-satuan
pendidikan dan antar-wilayah; peningkatan tata kelola pendidikan, strategi
pembiayaan, peningkatan efektivitas pemanfaatan anggaran.
Dari kedua
dasar platform pembangunan SDM ini, selain tak tampak adanya sensitivitas yang
sama soal pentingnya pengembangan SDM, keduanya tak menunjukkan arus utama yang
akan dilakukan pemerintah dalam dunia pendidikan. Dengan ide revolusi mental
dan pembangunan SDM sebagai prioritas, seharusnya tergambar jelas poros perubahan
operasi pendidikan, seperti jelasnya fokus membangun jalan tol pada pembangunan
infrastruktur periode lalu. Mencermati tema RPJM IV 2020- 2024, ”Indonesia
Berpenghasilan Menengah-Tinggi yang Sejahtera, Adil, dan Berkesinambungan”,
juga dari berbagai pidato Jokowi—di antaranya dalam penjelasan RAPBN 2020 di
rapat paripurna DPR—yang senantiasa
mengaitkan pembangunan SDM dengan peningkatan daya saing dalam konteks
perekonomian, sepertinya ide utama dalam benak pemerintah adalah pembangunan
ekonomi, bukan pembangunan SDM.
Sayangnya,
model berpikir ekonomis seperti itu telah mendasari pembangunan SDM semasa Orde
Baru, alhasil paradigma dan pola pikir belum tersentuh pembangunan seperti
tersebut di atas.
Faktor Nadiem Makarim
Meski
platform pendidikan pemerintah tampak biasa saja, penunjukan Nadiem sebagai
Mendikbud menjadikan kebijakan Jokowi terasa tak biasa. Pengangkatan
Nadiem merupakan sebuah ”disrupsi”, dan
tampaknya Presiden mengharapkan Nadiem juga melakukan ”disrupsi” dalam dunia
pendidikan kita yang stagnan. Berulang kali Presiden mengatakan, pendidikan
kita begitu-begitu saja, tanpa kemajuan berarti. Sementara dunia berubah sangat
cepat. Nadiem sepertinya dijadikan ”faktor” pengubah dan akselerator dalam
platform pendidikan Jokowi Ma’ruf.
Pesan
Presiden kepada Mendikbud baru itu, buatlah pendidikan kita fleksibel, simpel,
dan tidak as usual. Presiden meminta Nadiem mengaplikasikan teknologi pada
sistem pendidikan kita agar terjadi ”lompatan dalam kualitas SDM kita”. Nadiem,
dengan kapabilitas dan spirit milenialnya tampak percaya diri dan siap
mengelola sekitar 300.000-an sekolah, 50 jutaan murid, dan sekitar 3,5 jutaan
guru. Namun, seperti dikatakannya, urusan memajukan pendidikan bukan sebatas
mendigitalisasi dan mengaplikasikan teknologi ke dalam sistem yang ada. Terdapat problem konstitusional dan
fundamental terkait realitas budaya dan realitas alamiah yang harus disusun
menjadi obyektif dan arah operasional pendidikan nasional. Maka, Nadiem pun
siap mendengar dan belajar.
Kita
berharap, Nadiem mengembangkan perspektif baru yang lebih ”pragmatis” sehingga
pendidikan memberikan kegunaan nyata, relevan, dan signifikan bagi kehidupan
individu, bangsa, dan kemanusiaan.
Jelasnya, pendidikan kita menghasilkan pekerja yang baik (good worker),
warga negara dan insan yang baik (good citizen, good man).
Beberapa agenda
Beberapa
agenda mendasar yang patut dikaji dan dilakukan Mendikbud, pertama, mereformasi
pendidikan karakter. Pendidikan karakter hendaknya tak dijadikan suatu program
atau beban (beberapa) mata pelajaran sehingga terjadi dikotomi di antara mata
pelajaran. Dalam UU Sisdiknas No 20/2003 Pasal 3, ”membentuk watak” (tak ada
kata ”karakter” di UU ini) merupakan fungsi pendidikan. Artinya, terbentuknya
”karakter” adalah efek kumulatif seluruh proses pendidikan. Nadiem kiranya tak perlu direpotkan oleh
gagasan pendidikan karakter sebagai program tersendiri seperti selama ini.
Rancang saja sistem operasional pendidikan yang komprehensif, efektif, dan
fungsional.
Kedua,
mengubah pendekatan dan metode pemelajaran agar lebih dialogis sebagaimana
diamanatkan UU Sisdiknas Pasal (1) dan Pasal 40 Ayat (2a). Pemelajaran dialogis
sangat penting bagi pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher
order thinking skills/HOTS) sebagai basis pembentukan karakter. Dengan suasana
dialogis para murid diwongke, diberikan ruang mengartikulasikan pikiran dan perasaannya
melalui kata-kata sehingga menumbuhkan harga serta kepercayaan diri yang
diperlukan dalam berkomunikasi.
Menurut
beberapa teori klasik (Plato dan Aristoteles) dan modern (JB Watson dan Ludwig
Wittgenstein) antara berpikir dan berbahasa memiliki keterkaitan yang saling
menguatkan. Berdialog dan menata ungkapan dalam bahasa dapat berarti menajamkan
dan mengonstruksi pikiran. ”Bahasa didirikan berdasarkan pikiran,” kata
Wittgenstein.
Ketiga, atur
kembali Ujian Nasional (UN). Proyek UN kolosal dan mahal yang berlangsung
selama ini bukan saja tak terbukti meningkatkan mutu, malah merusak mentalitas
murid karena pada praktiknya menyisipkan nilai-nilai koruptif. Kembalikan saja
UN sesuai UU Sisdiknas Pasal 57 dan 58. Evaluasi hasil belajar dilakukan guru,
sementara untuk pengendalian mutu dilakukan lembaga independen yang
penyelenggaraannya tak perlu setiap tahun dan bahkan dapat tanpa melibatkan
seluruh murid.
Keempat,
sederhanakan kurikulum (jumlah mata pelajaran). Untuk tingkat sekolah dasar
(SD) gunakan pengantar bahasa ibu (bahasa daerah). Pada kelas I hingga kelas
III cukup satu atau dua mata pelajaran saja, yaitu pelajaran Bahasa dan
Matematika. Pelajaran Agama, Pancasila, Sains, Bahasa Inggris, dan Seni
diintegrasikan sebagai konten. Pada
kelas berikutnya beberapa mata pelajaran seperti Agama dan Pancasila dijadikan
tersendiri. Di tingkat SMP dan SMA murid cukup
belajar empat atau lima mata
pelajaran dengan penekanan pada matematika terapan dan sains. Perlu ada
reorientasi pada pendidikan agama dan kebangsaan agar keberagamaan dan
kebangsaan menjadi kekuatan konstruktif.
Kelima,
pengarusutamaan pendidikan vokasional dengan melakukan: 1) Restrukturisasi
persekolahan, yaitu SMA cukup dua tahun. Tahun ketiga murid sudah dipilah ke
jalur akademi dan vokasi. 2) Sekolah kejuruan (SMK) disatu-jalurkan dengan
akademi komunitas, dan Politeknik. Perlu spesifikasi dan diversifikasi
penjurusan dan masa pendidikan/pelatihan.
Misalnya cukup enam bulan untuk jurusan tukang cukur dan tukang las,
satu tahun untuk pengasuh jompo. 3) Revitalisasi jalur vokasi juga dilakukan
dengan mengoptimalkan fungsi Balai Latihan Kerja (BLK), terutama bagi mereka
yang putus sekolah (DO) dan tidak melanjutkan di tingkat SD – SMP.
Kompleksitas
masalah pendidikan kita telah melampaui kapasitas departemental/kementerian
sehingga untuk memajukannya selain memerlukan curahan perhatian dan komitmen
penuh Presiden, juga perlu dukungan masyarakat.
(Mohammad Abduhzen, Advisor Paramadina Institute for Education
Reform, Universitas Paramadina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar