PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN
Problem Budaya Seni Kita
Oleh : MIKKE SUSANTO
KOMPAS, 26 November 2019
Kebudayaan,
khususnya seni, masih dianggap belum cukup penting bagi negeri ini. Ibarat bicara
kecantikan, wacana kita masih pada upaya merias wajah agar terlihat beda. Masih
ingin cantik berarti belum tampil cantik. Apalagi berdaya guna bagi dunia.
Kenyataannya
memang kita punya sejumlah masalah. Kaitannya lebih pada persoalan internal
daripada eksternal. Masalah-masalah tersebut dapat dikaji dalam 3 kelompok
besar.
Masalah
pertama adalah “politik” seni. Di ranah ini kebinnekaan masih menjadi persoalan
utama. Banyak penduduk Indonesia yang belum paham, atau tidak ingin paham, atau
sekadar untuk mengerti saja tentang kebinekaan, susah.
Kini banyak
kejadian intoleransi, hilangnya nilai kearifan lokal dan sensitif terhadap
diskusi tentang perbedaan. Produk budaya seni yang mendidik ke arah kedewasaan
bernegara, berbinneka, masih jauh dari titik menyenangkan. Apalagi menjadi
modal sebagai negara besar.
Di ranah ini
pula “cetak biru” atau visi kebudayaan Indonesia di masa depan belum
disepakati. Kebudayaan masih dibiarkan jalan sendiri. Seniman bekerja sendiri,
tanpa haluan. Jangankan itu, hasil kerja pemerintah berupa produk UU Pemajuan
Kebudayaan belum sampai pada titik hilir di seluruh Nusantara. Perlu strategi
dan kecepatan dalam sosialisasi. Berikut perlu juknis agar semua paham dalam
mengentaskan berbagai kekurangan dan “kemiskinan” dalam bidang kebudayaan.
Jika dirasa
penting, maka kebudayaan harus dianggap sebagai panglima dan poros
keindonesiaan. Untuk mencapai ini harus ada upaya nasionalisasi hingga
internasionalisasi kebudayaan. Buat sistem kerjasama antar lembaga/kementerian,
misalnya melalui kedutaan besar dan pendirian pusat-pusat studi budaya
Indonesia di luar negeri, hingga antar-negara/lembaga terkemuka dunia. Sehingga
persoalan gempuran budaya asing, misalnya, dapat dinetralisasi tanpa merusak
budaya lokal. Bahkan budaya Indonesia akan mampu menjadi penopang budaya dunia.
Seni sebagai media
Jika
Kemendikbud punya target untuk melakukan pembentukan karakter bangsa, tidak
mungkin meninggalkan seni dan senimannya. Seni sebagai media pembentukan
karakter menjadi keniscayaan. Melalui kurikulum pendidikan formal serta
terobosan pendidikan nonformal yang cerdas, seni akan memberikan sumbangan
berarti di banyak hal. Nilai kebangsaan dan kebanggaan, dan citra bangsa bisa
ditingkatkan, serta SDM yang berkualitas tidak lari ke luar negeri.
Sayangnya,
perguruan tinggi seni tidak lebih dari hitungan jari. Sekolah menengah seni
jauh lebih sedikit lagi. Pelajaran seni dikalahkan secara telak. Padahal masa
belia harus diisi dengan budaya seni sebagai pondasi karakter berbangsa dan
bertanah air. Ki Hadjar Dewantara memberi contoh lewat Taman Siswa. Hasilnya
adalah pemimpin yang taat pada agama dan masyarakat, jujur, bermartabat,
nasionalis, dan berjiwa seni.
Belum lagi
Indonesia sering mengalami persoalan, mulai dari persoalan agama, politik,
sosial, alam, dalam skala lokal hingga internasional. Karena itu seni
diharapkan berdaya setiap saat. Dalam konteks ini pemerintah belum mampu
memanfaatkan seni sebagai media peredam persoalan maupun sebagai input
kebangsaan. Untuk itu perlu disiapkan tim penanggulangan konflik maupun korban
bencana, radikalisasi, melalui budaya-seni.
Pada titik
lain, perlu mengeksistensikan Indonesia dalam kancah internasional. Kesenian
Indonesia nyaris tidak banyak dikenal, baik dalam ranah seni rupa maupun
pertunjukan. Ribuan seniman di Indonesia belum dimaksimalkan oleh pemerintah.
Perbandingan mereka yang eksis secara internasional sangat kurang. Dalam
hitungan pasar seni internasional, hanya puluhan seniman yang dikenal.
Pergelaran
budaya Indonesia di luar negeri terhitung masih minim dibanding dengan jenis
kesenian itu sendiri. Galeri nasional kita kalah jauh dengan Singapura dari
segi pengunjung. Museum Nasional Indonesia tak banyak melakukan kontestasi
internasional. Apalagi keberadaan museum lokal.
Karena itu
pemerintah perlu memiliki cara untuk membumikan budaya-seni lokal ke ranah
internasional. Buku-buku, pameran dan pertunjukan seni, film, atau platform
seni perlu segera dilaikkan secara masif. Tentu dengan selera estetika,
standar, dan rasa internasional.
Seni sebagai aset
Jika kita
percaya bahwa Indonesia memiliki banyak produk budaya seni, maka pemerintah
tidak boleh hanya bekerja secara linier. Perlu mengidentifikasi semua masalah,
lalu lakukan kerja simultan untuk meraih banyak tujuan. Pertama adalah
pemenuhan SDM pengelola budaya. Selama ini pengelola budaya tidak sebanding
dengan kekayaan budaya-seni dan seniman. Perguruan dan lembaga pendidikan
pengelola seni sangat kurang.
Sumber daya
seni kita juga masih bergerak sendiri-sendiri. Para maestro, empu, atau ahli
seni bergerak perlahan dengan berbagai keterbatasan, nyaris tanpa teman dalam
menggelar seni dan pewarisan keahlian. Pemerintah perlu membiayai gelarnya para
maestro. Biarkan mereka menginspirasi, tanpa direcoki dana dan birokrasi.
Pemberdayaan
infrastruktur seni di seluruh Indonesia juga perlu dilakukan. Gelaran penting
dalam misi pembentukan karakter berbinneka perlu dilakukan di setiap provinsi.
Saling silang dan tukar menukar produk budaya. Sejumlah 400an museum di
Indonesia secara kreatif perlu berkolaborasi dengan para budayawan-seni.
Galeri seni
di setiap provinsi dapat dibentuk dengan sistem link&match antar lembaga
non-seni. Perangkat promosi dan pemasaran budaya seperti media massa (sosial
maupun konvensional) dicukupi. Dengan begini, devisa di bidang budaya-seni pun
dapat didatangkan.
Komite warisan budaya
Tidak lupa
perlu dibentuk badan/komite warisan budaya untuk menggulirkan orkestrasi budaya
Indonesia. Komite yang mampu bekerja antar-kementerian. Kita punya jutaan aset
seni yang penting bagi masyarakat dunia. Kemenlu memiliki koleksi lukisan yang
disimpan di seluruh kedutaan. Istana presiden punya 16.000 item koleksi seni.
Kemendikbud pun punya jutaan benda budaya. Sayang bila dibiarkan tanpa
konektivitas.
Kita hanya
pandai mengonsumsi, tetapi tidak cukup kreatif, bahkan tidak mampu melindungi.
Dalam beberapa kasus, justru pegiat budaya asing lebih pandai memanfatkan aset
kita. Sejumlah kurator negara lain malah mampu menyajikan koleksi negeri kita.
Citra negara kita kalah dengan mereka.
Akhirnya
diperlukan kurasi, penyatukan visi, agar kita mampu merasakan keindahan serta
membentuk karakter bangsa. Yang diperlukan bukan lagi mengontrol sumber daya,
namun membangun ekosistem besar yang memungkinkan pelaku seni bergerak.
Nusantara yang luas ini perlu sentuhan revolusi 4.0 secara sistematis.
Perlunya
memanfaatkan media populer sebagai
sarana pemberdayaan budaya sebagai bagian dari kreativitas. Anak muda seluruh
Indonesia perlu segera mengenal kekuatan budaya sehingga mereka tahu benar
bahwa kita kaya raya.
Berita dan
info tentang radikalisasi jauh lebih masif, daripada info seni dan kearifan
lokal kita. Pemerintah nyaris lumpuh pula dalam memberi keyakinan pada
anak-anak muda bahwa seni kita lebih menarik daripada milik negara lain. Untuk
itulah Mendikbud perlu menjadi pemimpin orkestrasi budaya Nusantara.
(Mikke Susanto ; Staf Pengajar
ISI Yogyakarta, Kurator Senin, Anggota Tim Akuisisi Koleksi Galeri Nasional
Singapura)
admin numpang promo ya.. :)
BalasHapuscuma di sini tempat judi online yang aman dan terpecaya di indoneisa WA : +85587781483