AKSI TERORISME
Bom Medan, Rencana Aksi Teror Bali,
dan Jaringan Perempuan
Oleh : DETE ALIAH
KOMPAS, 21 November 2019
Indonesia
kembali diguncang oleh aksi bom bunuh diri yang dilakukan di Markas Polrestabes Medan pada Selasa, 12
November 2019.
Kejadian bom
bunuh diri kali ini merupakan aksi yang cukup berani karena dilakukan justru di
tempat yang seharusnya aman karena banyak aparat keamanan (polisi) yang sedang
berjaga, yang seharusnya bisa memberikan rasa aman kepada masyarakat sipil yang
berada di kantor tersebut.
Perubahan
target sasaran ini mulai terasa ketika penangkapan terhadap kelompok pelaku
kekerasan ekstrem oleh Densus 88 dirasakan mencederai kemanusiaan dan
keberadaan kelompok kekerasan tersebut.
Perubahan
target ini tidak hanya berlaku bagi kelompok pelaku kekerasan ekstrem yang muncul
pada masa awal pasca-Reformasi, yaitu Jamaah Islamiyah dan kelompok
sempalannya, tetapi juga oleh Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut
Khilafah (JAK) dan kelompok sempalannya, yang kesemuanya berafiliasi ke Negara
Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS).
Sekalipun
kedua kelompok ini selalu berseberangan dalam hal ideologi, mereka memiliki
”musuh bersama” (common enemy) yang sama, yaitu polisi. Walhasil, serangan bom
bunuh diri yang dilakukan oleh banyak anggota kelompok radikal seperti yang
dilakukan kelompok JAD atau JAK ditargetkan kepada polisi.
Kasus
serangan bom bunuh diri yang dilakukan di Markas Polrestabes Surabaya dan bom
Kampung Melayu tahun lalu, misalnya, ditargetkan kepada kantor polisi dan
anggota polisi yang sedang bertugas saat itu.
”Ojol” dan strategi kelompok teroris
Tidak
berbeda dengan kasus serangan di Polsek Cirebon, targetnya pun sama. Dan kini,
kasus bom bunuh diri di Medan juga lagi-lagi menyasar kantor polisi. Ini
memberikan sinyal bahwa polisi harus lebih berhati-hati dan lebih teliti dalam
memeriksa siapa pun yang masuk ke dalam kantor mereka, karena kantor polisi
adalah target dari serangan kelompok kekerasan ekstrem.
Penggunaan
detektor metal mungkin bisa diterapkan mengingat pemeriksaan manual terhadap
pelaku bom Medan membuktikan bahwa pemeriksaan seperti ini tidaklah cukup dan
oleh karena itu peralatan canggih yang bisa mendeteksi bahan peledak sangat
diperlukan.
Driver
Legend Indonesia, yaitu kelompok pegiat profesi ojek online (ojol) Indonesia,
yang merupakan gabungan dari Go-Jek dan Grab, langsung menyikapi aksi bom bunuh
diri di Medan ini dengan mengeluarkan pernyataan sikap dan mengecam aksi
kekerasan ini pada 14 November 2019. Pernyataan sikap ini untuk mengklarifikasi
dan menegaskan bahwa tidak ada dan tidak akan pernah ada korelasi antara
pengemudi ojol Indonesia dan segala bentuk aksi terorisme.
Para
pengemudi ojol ini menyatakan bahwa mereka masyarakat yang mencintai Tanah Air.
Mereka juga menolak keras berbagai bentuk kekerasan, radikalisme, terorisme,
dan vandalisme yang mengganggu keamanan serta stabilitas nasional, terlebih
lagi yang membawa-bawa pengemudi ojol sebagai subyek yang tidak sebagaimana mestinya.
Aksi ini
dikhawatirkan berdampak pada munculnya ketakutan pelanggan pada sopir ojol
karena aksi bom Medan mencitrakan bahwa sopir ojol adalah teroris dan
berafiliasi ke kelompok teroris.
Penggunaan
atribut ojek untuk menutupi rencana aksi kelompok ekstrem merupakan metode
baru. Kelompok kekerasan ekstrem menggunakan berbagai metode dalam menjalankan
aksinya, baik dalam hal pelaku kekerasan, metode aksi, maupun atribut yang
digunakan saat aksi tersebut. Sebut saja kasus bom Thamrin, aksi yang dilakukan
secara terbuka oleh pelaku kekerasan ekstrem ini tidak menggunakan
simbol-simbol identitas agama.
Pelaku malah
menggunakan pakaian kasual, yaitu celana jeans, kaus, dan topi. Masyarakat
terenyak dengan ”penampilan teroris” itu.
Sunakin
alias Afif, salah seorang pelaku bom Thamrin yang tewas, dalam aksinya sendiri
tersebut justru mematahkan persepsi masyarakat bahwa teroris identik dengan
simbol-simbol identitas agama tertentu. Begitu pun kasus bom Medan, yang
menggunakan atribut ojek, membuat masyarakat terenyak.
Bukan saja
atribut yang digunakan adalah atribut ojek, moda transportasi yang menjadi
favorit masyarakat saat ini, tetapi juga menunjukkan bahwa pelaku kekerasan
ekstrem atau teroris tidak melulu bercirikan simbol-simbol identitas agama
tertentu.
Saya jadi
ingat kalimat yang diucapkan seorang bekas narapidana teroris: ”Kalau mereka
masih menggunakan pakaian yang menunjukkan identitas agama, kalian enggak perlu
takut. Justru yang harus dikhawatirkan adalah ketika mereka sudah berganti
pakaian, menggunakan pakaian biasa layaknya masyarakat umum, itu tandanya
mereka akan beraksi.”
Penggunaan
atribut ojek dalam kasus bom bunuh diri Medan adalah salah satu strategi yang
digunakan kelompok teroris untuk mengelabui pihak aparat. Ojek yang menjadi
moda transportasi favorit masyarakat, khususnya masyarakat urban, tidak akan
membuat aparat curiga, sama dengan ketidakcurigaan aparat ketika bom bunuh diri
dibawa oleh perempuan atau anak-anak (remaja).
Penggunaan
atribut ini merupakan bagian dari strategi menutupi identitas pelaku dan
strategi mengacaukan perhatian aparat. Dan terbukti, sekalipun aparat
sesungguhnya mencurigai pelaku yang menggunakan atribut ojek tersebut, pelaku
masih bisa masuk dan melakukan rencana aksinya.
Hampir semua
aksi kekerasan bom bunuh diri yang dilakukan para lelaki, baik dewasa maupun
remaja, sulit diidentifikasi karena mereka menggunakan pakaian yang tidak
berbeda dari masyarakat lain sehingga tidak mudah untuk dikenal.
Jaringan perempuan dalam aksi
kekerasan ekstrem
Hal yang
menarik dari aksi bom bunuh diri Medan ini adalah keterlibatan istri pelaku dan
rencana aksi yang akan dilakukan sang istri. Tidak tanggung-tanggung, Bali
menjadi sasaran target aksi kekerasan yang akan dilakukannya.
Melihat
keberanian sang istri, muncul banyak hal yang pantas untuk dipertanyakan.
Pertama, apakah si istri akan melakukan aksinya ini sendirian (lone wolf)?
Kedua, siapa yang memotivasi sang istri untuk berani melakukan aksi ini?
Ketiga, jika
aksi ini menggunakan bom bunuh diri, apakah sang istri memiliki kemampuan dalam
merakit bom, siapa yang mengajarinya, dari mana bahan-bahan untuk pembuatan bom
ini dia dapatkan, dan siapa yang mendanai pembuatan bom ini?
Keempat,
apakah sang istri berencana untuk melakukan aksi teror di Bali karena murni
keinginannya sendiri atau sang istri adalah korban cuci otak pihak lain, dalam
hal ini guru atau teman online-nya?
Dari berita
yang diterbitkan oleh sebuah portal berita pada 14 November 2019, dituliskan
bahwa sang istri terpapar lebih dulu dari suaminya sebagai pelaku bom Medan.
Hal ini berarti sang istri sudah mengalami proses radikalisasi, baik lewat
media sosial maupun komunikasi personal dengan seseorang dari kelompok jaringan
radikal.
Berita itu
menuliskan bahwa sang istri menjalin komunikasi dengan salah satu narapidana
teroris (napiter) perempuan yang saat ini masih berada di Lapas Kelas 2 Wanita
di Medan. Sang istri sering mengunjungi sang napiter wanita ini di lapasnya dan
kemungkinan rencana aksi itu digagas bersama si napiter wanita itu dari balik
jeruji besi saat beberapa kali dia melakukan kunjungan.
Ada
pelajaran penting yang bisa ditarik dari fenomena ini. Bagaimana seseorang yang
berada di balik jeruji besi bisa berkoordinasi untuk melakukan aksi kekerasan
ekstrem.
Apakah sang
napiter wanita ini yang memberikan kanal-kanal kepada si istri untuk
berjaringan dengan kelompok radikal yang dikenal oleh sang napiter perempuan?
Apakah sang napiter perempuan ini yang membantu rencana aksi si istri. Jika
sang napiter wanita menjadi ”mentor” bagi si istri, kita tidak lagi bisa
memandang para pelaku kekerasan ekstrem perempuan ini dengan sebelah mata.
Fenomena ini
menunjukan bahwa perempuan pun mampu melakukan peran yang juga militan dan
sebagai perancang aksi kekerasan. Selama ini, peran perempuan hanya sebatas
sebagai pelaku, belum sebagai penggagas atau perencana aksi kekerasan itu
sendiri.
Jika sang
napiter perempuan yang masih menjalani hukumannya di lapas menjadi ”otak” untuk
rencana aksi teror di Bali, peran perempuan kini sudah sejajar dengan kaum
lelaki. Mereka tidak hanya berperan sebagai pelaku, tetapi bisa juga menjadi
master mind bagi aksi kekerasan ekstrem.
Meningkatnya
peran perempuan ini merupakan fenomena yang menarik untuk dipelajari. Sebab,
sekalipun mungkin mereka belum masuk dalam struktur organisasi kelompok
kekerasan ekstrem, kemampuan mereka tidak bisa lagi dianggap remeh. Ini jadi
tantangan baru bagi semua pihak, baik bagi pemerintah maupun masyarakat sipil
yang terlibat dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan ekstrem
(terorisme).
Fenomena ini
juga memberikan pelajaran berharga bagi upaya deradikalisasi di dalam lapas
karena pemerintah dan masyarakat sipil sepertinya harus melakukan perubahan
pendekatan dalam program deradikalisasi di lapas.
Pemerintah
dan masyarakat sipil harus mencari pola pendekatan lain agar pendekatan
deradikalisasi dalam lapas tidak hanya memutus (dis-engage) pelaku teror dari
kekerasan ekstrem, tetapi juga mengubah pola pikir mereka untuk berhenti
melakukan aksi kekerasan itu, apa pun alasan pembenarannya.
Fenomena ini
juga memberikan pelajaran berharga bagi upaya deradikalisasi di dalam lapas
karena pemerintah dan masyarakat sipil sepertinya harus melakukan perubahan
pendekatan dalam program deradikalisasi di lapas.
Ini
merupakan tantangan bagi pemerintah dan juga masyarakat sipil yang terlibat
dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan ekstrem karena aksi terorisme
adalah extra judicial crime, karena itu negara dan masyarakat harus
bahu-membahu untuk menghentikan aksi ini. Jika aksi-aksi kekerasan ini tidak
ditangani segera, akan banyak lagi masyarakat dan aparat yang menjadi korban.
(Dete Aliah, Pengamat Terorisme)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar