JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
Peluang Emas JKN
Oleh : YOS E SUSANTO
KOMPAS, 15 November 2019
Melalui
Peraturan Presiden tanggal 24 Oktober 2019,
iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akhirnya resmi dinaikkan.
Namun apakah dengan menaikkan iuran, masalah defisit BPJS Kesehatan bisa selesai? Jangka
pendek, mungkin bisa. Satu atau dua tahun, kemungkinan besar defisit akan
muncul lagi.
Selain
defisit, ada tiga gejala utama lainnya.
Pertama, masih banyak rakyat Indonesia
belum mendapat akses ke pelayanan kesehatan yang memadai. Sekitar 45 juta
masyarakat belum menjadi peserta BPJS
Kesehatan. Dan 16 juta peserta menjadi non aktif,
karena menunggak. Yang sudah
menjadi peserta pun sebagian masih sulit mempunyai akses ke fasilitas kesehatan.
Menurut
survei Riset Kesehatan Dasar (Rikerdas)
2018, masih ada 26 persen masyarakat yang akses ke rumah sakit sangat
sulit. Kalau memakai angka tersebut, artinya ada sekitar 55 juta peserta BPJS
yang bermasalah dengan akses. Kalau
ditotal semua, ada 126 juta penduduk
Indonesia yang kesulitan mendapat akses pelayanan kesehatan.
Kedua,
selama ini yang miskin menyubsidi yang lebih mampu. Data di tahun 2018 menunjukkan bahwa iuran
JKN orang miskin dipakai untuk
menyubsidi peserta JKN yang lebih mampu.
Prinsip gotong-royongnya terbalik.
Padahal prinsip dasar dari
jaminan sosial adalah yang mampu membantu yang miskin.
Ketiga,
masih banyak keluhan akan pelayanan BPJS. Baik dari pihak peserta, dokter,
maupun fasilitas kesehatan. Peserta mengeluh pelayanan yang lama, berbelit-belit, bertele-tele. Menunggu
berjam-jam. Bolak balik, dipingpong
kesana-kemari.
Rumah sakit
menjerit tagihan tak dibayar-bayar. Dalam banyak kasus, penggantian dari BPJS
Kesehatan dinilai tak cukup. Dokter mengeluh banyak pembatasan-pembatasan.
Honor yang diberikan tidak menghargai profesi.
Akar permasalahan
Defisit,
kesulitan akses, yang miskin menyubsidi yang lebih mampu, dan banyak keluhan di pelayanan, semuanya itu
saling berkaitan. Jika ingin tuntas, tidak cukup hanya dengan menaikkan iuran.
Apakah akar permasalahan dari keempat gejala tersebut?
Defisit,
kesulitan akses, yang miskin menyubsidi yang lebih mampu, dan banyak keluhan di pelayanan, semuanya itu
saling berkaitan.
Akar
permasalahan pertama, adalah batasan
manfaat yang belum jelas. Padahal, dana selalu terbatas. Negara adidaya seperti
Amerika Serikat (AS) pun, tak mampu
menjamin seluruh jenis pelayanan kesehatan. Terapi pelayanan kesehatan
banyak yang sangat mahal. Ini yang harus
disadari oleh semua pihak. Terapi yang bisa dijamin bukanlah terapi yang
maksimal, tetapi yang optimal, disesuaikan dengan dana yang tersedia.
Memang
membuat keputusan tentang batasan manfaat, sering kali dihadapkan pada pilihan
yang sulit, dan juga tak populer.
Seberapa banyak dana yang harus dialokasikan ke program pencegahan
seperti promosi hidup sehat, seberapa banyak yang dialokasikan untuk
kasus-kasus berat seperti penyakit jantung dan kanker?
Namun,
seperti dikemukakan oleh Glassman dkk dalam buku What’s In, What’s Out:
Designing Benefits for Universal Health Coverage (2017), penjabaran mengenai
apa yang dijamin dan apa yang tidak dijamin secara eksplisit, adalah kunci
pokok untuk keberlanjutan JKN.
Akar
permasalahan kedua adalah, sistem
kepesertaan masih tergantung pada peran aktif individu. Biar pun sanksi
diterapkan, akan masih banyak orang,
yang tak akan mendaftarkan diri
menjadi peserta. Ini terutama akan terjadi pada orang-orang yang kondisi
sosial ekonominya pas-pasan. Bisa
pekerja informal, pedagang kecil, petani, nelayan, atau pensiunan. Mereka yang
tak bisa dikategorikan miskin, tapi juga sebenarnya belum mampu.
Di Amerika,
meski sudah ada program Obama Care,
sampai sekarang masih ada sekitar
28 juta orang yang tak mempunyai asuransi kesehatan. Padahal seperti tercantum
dalam Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 2004 tentang Jaminan Sosial, progam JKN
adalah untuk seluruh rakyat Indonesia. Maka sebaiknya, kepesertaannya adalah
otomatis, seluruh rakyat Indonesia otomatis menjadi peserta JKN.
Akar
permasalahan ketiga, masalah kolektibilitas. Ada 46,3 persen peserta Bukan Penerima Upah (BPU) yang menunggak iuran. Maka sistem pembayaran
iuran harus diubah. Sebaiknya, cara pembayaran iuran dikaitkan dengan pajak
penghasilan. Perhitungan iuran yang harus dibayar, disamakan dengan yang harus
dibayar peserta Pekerja Penerima Upah (PPU).
Dengan semua
rakyat Indonesia otomatis jadi anggota dan iuran dikaitkan dengan pajak
penghasilan, administrasi menjadi lebih sederhana. Iuran tak perlu naik tiap
tahun, karena sudah menyesuaikan dengan pajak penghasilan. Tak perlu lagi tiap
tahun ribut masalah iuran. Untuk mereka yang tak punya pajak penghasilan, sudah
sepantasnya jika iuran mereka dibayar oleh pemerintah.
Akar
permasalahan keempat, BPJS Kesehatan
belum fokus terhadap program pencegahan.
Bukannya menurun, data Rikerdas menunjukkan,
prevalensi merokok pada remaja justru meningkat dari 7,2 persen di tahun 2013 menjadi 9,1 persen
di tahun 2018. Persentase anak usia
12-23 bulan yang tak mendapat imunisasi dasar lengkap, juga naik dari
40,7 persen di tahun 2013, menjadi
42,1 persen di tahun 2018.
Angka-angka
di atas menunjukkan bahwa program pencegahan BPJS Kesehatan selama ini, belum
efektif. Padahal kita semua tahu bahwa pencegahan itu bisa menghemat biaya.
Hasil riset Ozawa dkk (2016) menunjukkan bahwa satu rupiah uang yang
dibelanjakan untuk program imunisasi pada anak-anak, akan menghemat pengeluaran
untuk terapi sebanyak 16 rupiah. Dan yang lebih penting, program pencegahan
menyelamatkan nyawa.
Akar
permasalahan kelima adalah tanggung jawab peserta atas kesehatannya. Jika
pesertanya mampu, maka wajar jika
diminta untuk ikut memikul biaya. Selama ini, banyak orang-orang yang
mampu, jika tahu bahwa akan mengeluarkan biaya yang besar untuk
pengobatan, akan segera menjadi peserta
BPJS Kesehatan.
Tentu dari
kacamata ekonomi peserta, ini hal yang
menguntungkan. Biasanya tiap bulan, harus mengeluarkan biaya Rp 8 juta untuk
cuci ginjal, tentu lebih senang kalau hanya mengeluarka Rp
80.000 per bulan sebagai peserta BPJS.
Demikian juga untuk kasus-kasus lain, seperti penyakit jantung atau
penyakit berat lainnya, yang biayanya bisa puluhan sampai ratusan juta rupiah.
Padahal pesertanya mampu. Maka, untuk peserta yang mampu, sebaiknya ada iur
biaya dan ada limit yang dijamin.
Perlu terobosan
Memperbaiki
kelima akar masalah JKN memang butuh keberanian, butuh terobosan.
Tulisan kolega saya,
Prof Hasbullah Thabrany yang mengingatkan bahwa ongkos politik JKN itu
mahal (Kompas, 25/10/2019) memang tepat. Amerika butuh perjuangan puluhan tahun untuk dapat memperbaiki sistem
JKN melalui Affordable Care Act atau yang lebih dikenal sebagai Obama Care. Itu
pun masih menyisakan masalah besar.
Sekarang
adalah waktu yang tepat untuk memperbaiki sistem JKN. Selagi kabinet baru sedang bersemangat untuk melakukan
gebrakan-gebrakan. Selagi mayoritas
anggota DPR mendukung pemerintah. Selagi
BPJS Kesehatan mendapat perhatian khusus dari Presiden. Ibarat penyakit,
stadiumnya belum terlanjur lanjut, masih bisa diobati. Maka, peluang emas untuk
memperbaiki JKN ini, jangan sampai
lepas. Sekali lepas, entah kapan akan ada lagi.
Sekarang
adalah waktu yang tepat untuk memperbaiki sistem JKN. Selagi kabinet baru sedang bersemangat untuk melakukan
gebrakan-gebrakan.
Yos E Susanto ; Dewan Pembina
Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia (Permapkin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar