KOALISI PEMERINTAHAN
Negarawan dan Demokrasi
Oleh : MOCH NURHASIM
KOMPAS, 13 November 2019
Secara
teoretik, kombinasi sistem presidensial dengan multipartai ekstrem sulit
menghasilkan kekuatan politik yang terkonsolidasi di parlemen.
Presiden
terpilih biasanya kesulitan dalam membangun koalisi yang solid, sehingga di
parlemen jarang memperoleh dukungan politik mayoritas. Hal demikian tidak terjadi
pada kasus Indonesia, khususnya setelah Pemilu 2019 akibat bangunan
pemerintahan yang merangkul semuanya.
Politik “over jumbo”
Komposisi
kabinet hasil Pemilu 2019 menunjukkan wajah kabinet kompromi politik, dibandingkan
dengan kabinet kerja yang profesional (zakken cabinet). Kursi kabinet sebanyak
50 yang terdiri atas 38 menteri dan 12 wakil menteri dari kelompok profesional,
partai pendukung, tim sukses dan orang-orang dekat Presiden. Komposisinya
memang tidak bisa ideal, masih besar dari kalangan non-profesional sekitar 62
persen sedangkan yang berasal dari kalangan profesional hanya 38 persen. Hal
itu kian mengukuhkan bahwa kabinet yang terbentuk adalah kabinet kompromi.
Koalisi
“plus-plus” juga terjadi di parlemen, di mana dengan masuknya Gerindra, partai
pengusung Jokowi-Ma’ruf menguasai hampir semua alat strategis yang penting di
DPR, MPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dikuasainya empat pimpinan DPR, dan
empat ketua Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dan 14 wakil ketua AKD, pimpinan MPR
dan DPD menunjukkan pola politik sapu bersih ala Jokowi dalam rangka
mengukuhkan politiknya selama lima tahun. Ini menunjukkan bahwa hasil Pemilu
2019 mendorong terjadinya koalisi kartel yang tidak memiliki dasar, kecuali
kepentingan politik.
Koalisi
kartel dengan penguasaan 74,98 persen kursi di parlemen dan hanya menyisakan
25,74 persen partai di luar pemerintahan bisa mendorong timbulnya tirani
mayoritas. Salah satu kasus dari dampak tirani mayoritas dalam demokrasi dapat
kita lihat dari kasus pengesahan Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menjadi undang-undang (UU). Hampir semua kekuatan politik berkata
sama dan sepakat, baik di parlemen maupun pemerintahan. Padahal suara rakyat
sebagai pemilik kedaulatan—vox populi, vox dei—menolak RUU KPK ini. Namun dalam
praktik politik tak dihiraukan oleh parlemen dan pemerintah.
Koalisi
kartel sebenarnya sah-sah saja dalam berdemokrasi. Namun demikian, ada
bahayanya apabila koalisi kartel berubah menjadi perselingkuhan politik. Hal
itu mungkin saja terjadi manakala pemerintah dan DPR memiliki kesepakatan
politik yang bertentangan dengan “kehendak” masyarakat luas dan dianggap
mencederai kepentingan bersama. Dalam konteks demokrasi, apa yang akan
dihasilkan oleh pemerintah dan DPR sah menurut peraturan perundang-undangan,
akan tetapi belum tentu legitimate atau dipercaya oleh pemilik kedaulatan.
Pengalaman beberapa negara lain juga menunjukkan bahwa politik tanpa oposisi,
bisa menimbulkan gejala demokrasi yang tersandera, karena institusi-institusi
demokrasi dikooptasi oleh pemerintah dan tidak ada kekuatan lain yang menjadi
penyeimbang untuk menyuarakan suara yang berbeda. Demokrasi demikian berkembang
mirip dengan demokrasi gotong royong, demokrasi yang tanpa kritik dan tanpa
pengawasan, karena semua kelompok harus menjadi bagian dari pemerintahan.
Pemaknaan
demokrasi seperti itu bisa bermata dua, di satu sisi memang akan menjadikan
presidensialisme-multipartai efektif dan efisien dalam membuat kebijakan.
Namun, bisa jadi kebijakan yang dihasilkan dapat bertentangan dengan kehendak
bersama atau menimbulkan kekecewaan publik secara luas.
Harus
diakui, masuknya Gerindra pada KIM 2019-2004, oposisi seperti “kehilangan
induk”. Tiga partai yang tersisa, PKS, PAN dan Demokrat secara politik tak
memiliki kekuatan yang memadai, apalagi tak ditunjang oleh kader-kader yang
piawai dan kritis dalam merespons sejumlah kebijakan yang akan dihasilkan oleh pemerintah.
Lemahnya oposisi dapat saja menimbulkan efek kejut bagi demokrasi, karena
secara otomatis akan melemahkan pengawasan parlemen terhadap pemerintah. Efek
kejutnya bisa saja menimbulkan apa yang oleh Larry Diamond diistilahkan sebagai
“facing up to the democratic recession” atau menghadapi resesi demokratik.
Di sisi
lain, koalisi turah bisa saja akan menimbulkan gejala politik “saling
menyandera” antara Presiden dan partai pendukung. Mengapa demikian? Karena kedua-duanya
ingin merasa aman dan nyaman hingga periode akhir pemerintahan terwujud. Hal
demikian bisa saja akan memengaruhi pola hubungan politik antara
Presiden-parlemen, parlemen-partai dan problem reposisi parlemen-kabinet. Dalam
wacana demokrasi, situasi demikian bisa menimbulkan tidak bekerjanya mekanisme
checks and balances yang merupakan inti sari demokrasi presidensial kita. Tanpa
checks and balances, demokrasi kita akan berubah jadi kompromi tanpa
pengawasan.
Butuh negarawan
Dalam
suasana kepincangan politik antara oposisi dengan pemerintah, serta keberadaan
pemerintahan yang kuat, demokrasi Indonesia membutuhkan negarawan bukan
politisi. Apa maksudnya? Pertama, negarawan akan berpikir menurut pertimbangan
keutuhan dan masa depan bangsa. Mereka akan menakar mana yang baik bagi
demokrasi dan mana yang bisa merusak demokrasi.
Kedua,
negarawan berbeda dengan otokrat, karena otokrat lebih dicirikan oleh sikap
politik yang “arogan” dan tidak mendengar kepentingan rakyat. Suara rakyat yang
memiliki kedaulatan sejati bisa saja diterjang oleh seorang otokrat yang
memimpin dalam sistem demokrasi. Dalam banyak peristiwa, para otokrat inilah
yang mencoba memundurkan demokrasi melalui kooptasi terhadap
institusi-institusi demokrasi.
Seorang
negarawan lebih berpikir kohesifitas masyarakat dan politik dan tidak mencoba
menjadikan institusi demokrasi yang dikuasainya sebagai senjata politik untuk
mengendalikan demokrasi menurut seleranya.
Ketiga,
dalam suasana riuh polarisasi politik pasca-Pemilu 2019, para politisi dan
pejabat negara di legislatif dan pemerintahan diharapkan dapat memosisikan
dirinya sebagai pelayan masyarakat, bukan sebagai penguasa. Republik ini
perjalanannya masih panjang, karena itu dibutuhkan keteladanan politik. Politik
tauladan adalah politik negarawan, yang menurut Jusuf Kalla disebut politik
yang memikirkan bangsa dan negara di atas kepentingan politik dan golongan
serta pemimpin yang bekerja di atas landasan demokrasi yang sudah kita
sepakatai sebagai mekanisme bersama dalam berbangsa dan bernegara.
(Moch Nurhasim ; Peneliti Pusat
Penelitian Politik LIPI)
·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar