REFORMASI
BIROKRASI
Orkestrasi Reformasi Birokrasi
Oleh : EKO PRASOJO
KOMPAS, 28 November 2019
Presiden
Jokowi telah menyampaikan lima prioritas pembangunan nasional untuk periode
pemerintahan 2019- 2024 dalam pidato kenegaraan beberapa waktu lalu. Lima
prioritas itu pembangunan infrastruktur, pembangunan SDM, reformasi birokrasi,
mempermudah perizinan untuk investasi dan memperbaiki manajemen APBN yang fokus
dan tepat sasaran.
Tugas utama
dari setiap pemerintahan terpilih adalah memastikan bahwa kebijakan dan
pelayanan publik dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
Karena itu, agenda reformasi administrasi publik (atau lebih dikenal reformasi
birokrasi), seperti disampaikan Presiden Jokowi, harus menjadi prioritas
strategis pemerintah untuk memperbaiki kepercayaan masyarakat, sekaligus
memperkuat daya saing bangsa. Kualitas birokrasi juga akan meningkatkan
beberapa indikator pembangunan sosial ekonomi.
Indikator
Tata Kelola Pemerintahan Global (Global Governance Index) Indonesia sejak tahun
2006 hingga kini sejatinya tidak mengalami perubahan yang signifikan. Semua
Indikator masih berada di bawah nilai 60. Efektivitas pemerintahan dan kontrol
terhadap korupsi mengalami perbaikan, meskipun sangat lambat. Saat ini indeks
efektivitas pemerintahan Indonesia adalah 59,13 dibandingkan 2006 sebesar
42,44. Demikian pula indeks kontrol terhadap korupsi saat ini adalah 46,15
dibandingkan tahun 2006 sebesar 20,49.
Indeks Daya
Saing Global Indonesia, meskipun rankingnya naik tetapi tidak secara signifkan,
tidak stabil dan masih berada di bawah negara-negara ASEAN. Tahun lalu indeks
daya saing Indonesia berada di rangking 45, tahun ini turun di ranking 50.
Kenaikan signifikan terjadi dalam indikator kemudahan berusaha (ease of doing
bussines), dari ranking 115 pada 2006, menjadi ranking 72 pada 2018. Data-data
itu mengindikasikan kualitas birokrasi di Indonesia masih jauh dari kondisi
kecukupan dan perlu segera mendapatkan komitmen serius.
Empat agenda utama
Ada empat
agenda besar reformasi birokrasi yang harus dilakukan oleh pemerintahan
Presiden Jokowi. Pertama, reformasi regulasi (regulatory reform) yang berfokus
pada penataan berbagai peraturan perundang-undangan baik di tingkat nasional,
provinsi maupun kabupaten/kota. Problem dasar peningkatan daya saing Indonesia
adalah banyaknya peraturan yang tumpang tindih, disharmoni dan terlalu banyak
(over regulated). Setiap sektor memiliki peraturan menteri baik yang
dimandatkan oleh undang-undang, peraturan pemerintah maupun yang berupa
pelaksanaan tugas pokok menteri, yang menimbulkan kerumitan, birokratisasi,
berbelit-belit, kelambanan serta ego sektoral antar-kementerian.
Pada sisi
lainnya, secara vertikal banyak sekali peraturan daerah dan peraturan kepala
daerah yang dibuat setelah proses desentralisasi tahun 1999. Catatan
Kementerian Dalam Negeri saat ini ada sekitar 30.000 perda, dan 25 persen di
antaranya bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Bagaimana
melakukan reformasi regulasi atas berbagai peraturan perundang-undangan
tersebut? Rencana pemerintah membentuk Badan Regulasi Nasional perlu didukung.
Lembaga ini merupakan penggabungan berbagai lembaga yang saat ini berfungsi
dalam penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Deputi
Peraturan Perundang-undangan Kementerian Sekretariat Negara dan Badan Pembinaan
Hukum Nasional.
Lembaga ini
harus diberikan wewenang untuk mengharmonisasikan proses penyusunan peraturan
perundang-undangan; lalu berdasarkan kajian melakukan revisi dan pembatalan
pasal dalam peraturan menteri; serta mengusulkan perubahan peraturan
pemerintah. Untuk membuat peraturan yang terintegrasi dalam satu sasaran
strategis pembangunan, misalnya peningkatan lapangan kerja dan penguatan daya
saing, maka Omnibus Law dapat diberlakukan. Dalam proses review, lembaga ini
dapat melibatkan perguruan tinggi, pebisnis, media dan kelompok masyarakat.
Kedua,
reformasi struktural (structural reform) yang berkaitan dengan perubahan desain
struktur organisasi dan proses bisnis pemerintahan. Desain struktur organisasi
birokrasi Indonesia saat ini mengalami dua gangguan besar: (1) tidak berkaitan
dengan pencapaian kinerja pemerintahan, (2) sangat hierarkis, gemuk dan
sentralistis. Reformasi struktur organisasi setidaknya harus menyelesaikan dua
persoalan dasar ini. Desain struktur
organisasi kementerian/lembaga dan pemerintahan daerah harus berdasarkan
indikator dan target kinerja yang dibebankan kepada masing-masing unit. Dengan
cara ini banyak unit organisasi yang mungkin tak memiliki peran dalam
pencapaian kinerja organisasi dan dapat segera dibubarkan. Selain tercapainya kinerja,
organisasi seperti ini juga bisa mengefisiensikan anggaran yang tak diperlukan.
Ketiga,
reformasi budaya (cultural reform) yang berkaitan dengan perubahan nilai dasar,
cetak pikir dan perilaku Aparatur Sipil Negara (ASN). Belajar dari Korea, Jepang,
China dan Singapura, perubahan budaya menjadi fondasi terpenting dalam
birokrasi. Perlu dikembangkan nilai dasar utama birokrasi seperti antikorupsi,
tanggung jawab dan kerja sama. Nilai ini tentu saja harus diinternalisasikan
mulai dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Dalam sistem birokrasi formal,
nilai ini sudah harus dimulai dari Diklat Prajabatan dan dilaksanakan melalui
role model birokrasi.
Setiap
pimpinan harus dapat memberikan teladan kepada bawahan, dibentuk agen-agen
perubahan dan agen integritas, pelaksanaan kode etik dan kode perilaku,
pelaksanaan whistle blower system, serta penegakan sistem reward dan punishment
yang jelas. Perubahan budaya memang tidak bisa berlangsung cepat dan sekali
jadi, tetapi pemerintah dan seluruh ASN harus sudah memulainya saat ini juga.
Keempat,
transformasi digital (digital transformation) yang berkaitan dengan pemanfaatan
teknologi informasi (IT), komunikasi dan teknologi robotik (artificial
intelligent). Integrasi berbagai reformasi birokrasi akan diikat dengan
kemajuan IT, komunikasi dan pemakaian intelijensia buatan. Teknologi akan
mengintegrasikan secara vertikal dan horizontal hubungan struktural dan
fungsional serta memangkas proses bisnis secara horizontal. Teknologi juga akan
memaksa perubahan interaksi perilaku interaksi antar-unit dan antar orang di
organisasi pemerintah, maupun antara pemerintah dengan masyarakat.
Untuk
keperluan transformasi digital, Presiden Jokowi harus menetapkan beberapa
program prioritas (flagships) pemerintahan berbasis elektronik. Mengantisipasi
perubahan generasi Y dan Z yang lebih senang bekerja di rumah dan berbasis
output, pemerintah sudah harus menyediakan fasilitas dan infrastruktur kerja
jarak jauh, waktu kerja yang fleksibel, dan ukuran kinerja yang lebih jelas
kepada setiap pegawai. Dalam 5-10 tahun yang akan datang, para pegawai ASN akan
lebih banyak bekerja di rumah, rapat-rapat dilakukan dengan video conference,
dan para pegawai pelaksana pelayanan publik akan digantikan dengan robot
(robotic agents).
Kepemimpinan perubahan
Untuk
menjamin keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi diperlukan kepemimpinan
dan komitmen kolektif. Wakil Presiden sebagai Ketua Pengarah Reformasi
Birokrasi Nasional (KPRBN) memimpin dan memutuskan kebijakan strategis dan
program RB seperti deregulasi, debirokratisasi, transformasi budaya dan
transformasi digital. Menteri PANRB mengkoordinasikan dan melaksanakan program
RB di kementerian dan lembaga. Setiap menteri harus memahami esensi dan
substansi RB, memerintahkan dan mengawal secara langsung berbagai program
perubahan di setiap kementerian. Menteri Dalam Negeri bekerja sama dengan
MenPANRB mengkoordinasikan pelaksanaan RB di provinsi dan kabupaten/kota.
Setiap gubernur/bupati dan walikota harus memahami dan memimpin secara langsung
berbagai perubahan fundamental di birokrasi.
Berbagai
kemajuan dan hambatan dalam pelaksanaan program RB harus dibahas bersama dengan
wapres secara periodik dan segera mendapatkan keputusan untuk ditindaklanjuti
oleh para menteri, pimpinan lembaga, gubernur, bupati dan walikota. Sekretariat
Wapres untuk KPRBN harus mengawal berbagai pelaksanaan keputusan yang sudah
disepakati serta melaporkan kemajuannya dalam sidang berikutnya. Selain itu,
indikator capaian program RB juga harus dapat diukur dalam kurun waktu
tertentu, misalnya tingkat efisiensi anggaran dan efektivitas pemerintahan,
kemudahan izin memulai usaha, kontrol terhadap korupsi, tingkat daya saing,
serta kualitas pelayanan publik. Berbagai indikator ini harus terus-menerus
diukur dan dievaluasi serta dicarikan berbagai solusinya secara cepat.
Berbagai
perubahan itu harus dilakukan secara komprehensif dan bersungguh-sungguh dengan
desain yang jelas serta batas waktu yang terukur. Pemerintah harus melakukan
sekarang, karena jika tidak dimulai pada periode ini, maka tidak akan selesai
pada periode berikutnya. Semoga.
(Eko Prasojo, Guru Besar dan Dekan
Fakultas Ilmu Administrasi UI)
Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
BalasHapusKaos Dakwah Terbaru
Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
Mungkin Kau Sering Lupa Kebaikan Istrimu