Jokowi
dan Politik Demografi
Oleh
: ALI RIF’AN
KOMPAS,
4 November 2019
Jika pada periode pertama orientasi pembangunan Presiden
Jokowi lebih menitikberatkan pada aspek geografi, dengan pembangunan tak lagi
Jawa sentris, tetapi Indonesia sentris, pada periode kedua aspek demografi
perlu jadi prioritas orientasi pembangunan. Politik demografi tidak boleh hanya
menggema saat hajatan elektoral berlangsung. Namun, setelah memenangi
kontestasi dan menjalankan roda pemerintahan, politik demografi perlu menjadi
peta jalan dalam setiap agenda pembangunan. Setidaknya ada tiga alasan mengapa
hal itu penting.
Kedua, sebagai upaya mendorong pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan ialah model pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan
saat ini, tetapi tak mengabaikan kebutuhan generasi mendatang. Mengutip Prijono
Tjiptoherijanto (2002), penduduk harus dijadikan titik sentral. Pola
pembangunan bersifat bottom-up planning. Tujuan utama seluruh proses
pembangunan lebih memeratakan kesejahteraan penduduk daripada mementingkan
tingkat pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, Indonesia akan menghadapi bonus demografi pada
2020-2030. Jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) mencapai 70 persen, sedangkan
30 persen berusia tak produktif (14 tahun ke bawah dan di atas 65 tahun).
Ledakan usia produktif itu bisa jadi pedang bermata dua. Jika mampu disambut
dengan baik, ia dapat mempercepat pembangunan. Namun, jika gagal, justru dapat
menjadi beban pemerintah.
Lanskap demografi
Karena itu, Presiden perlu memastikan bahwa para pembantunya
mampu memahami lanskap demografi sebagai peta jalan ketika membuat perencanaan
pembangunan hingga tahap eksekusi. Kategorisasi, pengklasifikasian,
simplifikasi, pendefinisian, dan pemetaan teritori populasi perlu dilakukan
supaya perencanaan program pembangunan matang dan tepat sasaran. Menurut
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, selama ini banyak
program kementerian dan lembaga (K/L) masih melenceng dari sasaran pembangunan.
Data Bidang Pemantauan, Evaluasi, dan Pengendalian Pembangunan Bappenas
menyebutkan, hanya 51,3 persen program K/L yang sesuai dengan indikator RPJMN.
Berdasarkan rencana kerja pemerintah (RKP) 2015, hanya 95
indikator dari 184 indikator dalam RPJMN 2015-2019 yang sesuai dengan
program-program kementerian dan lembaga.
Tentu kita tak ingin program pemerintah yang tak tepat
sasaran itu terulang kembali pada pemerintah periode 2019-2024, apalagi fokus
periode ini ialah pembangunan SDM. Jika infrastruktur sifatnya statis, SDM
bersifat dinamis. Perubahan demografi jauh lebih cepat ketimbang perubahan
infrastruktur sehingga survei-survei berkala dan rutin mesti dilakukan setiap
K/L untuk membaca pergerakan demografi supaya orientasi pembangunan SDM tak salah
arah.
Harus diakui pembangunan kualitas SDM punya korelasi positif
dengan pertumbuhan ekonomi. Rosenzwig (1988) dalam penelitiannya terhadap 94
negara berkembang menemukan hubungan positif 0,49 antara enrollment rate
sekolah dasar dari wanita usia 10–14 tahun terhadap peningkatan produk nasional
bruto (PNB) per kapita. Demikian pula ditemukan hubungan positif 0,54 antara
tingkat melek huruf dan pertumbuhan PNB per kapita (Tjiptoherijanto, 2002).
Pembangunan kualitas SDM merupakan investasi jangka panjang.
Hasilnya tak bisa dilihat seketika. Butuh waktu 5-20 tahun untuk melihat
hasilnya. Tentu pembangunan kualitas SDM sangat krusial jika Indonesia ingin
melakukan lompatan besar di tahun-tahun mendatang. Lebih dari itu, pembangunan
kualitas SDM sangat sejalan dengan mimpi dan cita-cita Presiden Jokowi saat
pidato seusai pelantikan pada 20 Oktober 2019.
Dalam pidatonya, Presiden bercita-cita pada 2045—tepat satu
abad RI merdeka—Indonesia telah mampu keluar dari jebakan pendapatan kelas
menengah. Indonesia telah menjadi negara maju dengan pendapatan menurut
hitung-hitungan Rp 320 juta per kapita per tahun atau Rp 27 juta per kapita per
bulan. Selain itu, Presiden juga ingin produk domestik bruto Indonesia mencapai
7 triliun dollar AS di 2045. Indonesia sudah masuk lima besar ekonomi dunia
dengan kemiskinan mendekati nol persen.
Tentu sebagai bangsa dengan jumlah penduduk terbesar keempat
di dunia, Indonesia harus optimistis menggapai cita-cita itu. Apalagi, menurut
Sri Mulyani (2019), yang membeberkan pengalamannya saat bekerja di Bank Dunia
selama kurang lebih enam tahun, ada tiga faktor utama yang menjadikan suatu
negara bisa maju dan sukses, yaitu institusi (birokrasi) yang kompeten dan
bersih, sumber daya manusia yang berkualitas, dan infrastruktur yang memadai.
Prasyarat-prasyarat itu secara pelan tapi pasti mulai
terpenuhi. Poin pertama dan ketiga sudah berjalan, sementara poin kedua akan
digenjot selama lima tahun mendatang. Untuk membangun SDM berkualitas sebagai
salah satu prasyarat penting negara maju, pendekatan politik demografi mutlak
perlu dilakukan sebagai upaya sistematis dan terencana untuk menjawab
tantangan-tantangan fundamental pembangunan kualitas SDM yang ada.
(Ali Rif’an ; Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia)
Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
BalasHapusKaos Dakwah Terbaru
Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
Mungkin Kau Sering Lupa Kebaikan Istrimu