POLITIK LOKAL PAPUA
PR Kabinet Jokowi untuk Papua
Oleh : ARYA FERNANDES
KOMPAS, 18 November 2019
Pemerintahan
Presiden Jokowi memulai periode kedua dengan situasi politik domestik kurang
menguntungkan, yaitu turunnya kepuasan publik terhadap pemerintahan, maraknya
aksi demonstrasi mahasiswa terkait revisi UU KPK, dan konflik di Papua.
Tulisan ini
khusus mengulas kondisi yang tengah terjadi di Papua dan mengetengahkan
beberapa alternatif politik dan kelembagaan untuk mencari solusi kondisi di
Papua. Setidaknya dari sisi politik kelembagaan, ada dua hal yang harus
mendapatkan prioritas pemerintahan ke depan terkait Papua.
Pertama,
mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan 20 tahun Otonomi Khusus (Otsus)
Papua terutama terkait penggunaan, distribusi dan dampak dana Otus terhadap
pembangunan manusia Papua. Dengan dana Otsus yang besar, belum terasa perbaikan
dari sisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua yang masih rendah dan tingkat
kemiskinan dan kesenjangan yang masih tinggi. Dalam 20 tahun ke depan, juga
perlu dirancang cetak biru (blue print) yang jelas mengenai arah kebijakan
Papua terkait pelayanan dasar, seperti akses masyarakat terhadap pendidikan,
kesehatan yang berkualitas, peningkatan kesejahteraan serta penegakan HAM.
Kedua,
mengevaluasi peran dan tata kelola pemerintahan lokal dalam melakukan pelayanan
kepada masyarakat. Dalam 20 tahun
terakhir, peran pemerintahan lokal dan DPRD belum berjalan dengan baik.
Korupsi
politik masih membayangi sejumlah daerah di Papua. Begitu juga soal
kepemimpinan kepala daerah dalam pemilihan langsung yang belum sepenuhnya
efektif dalam menjalankan roda pemerintahan.
Di beberapa
daerah, bahkan aktivitas di kantor pemerintahan ’lumpuh’ karena tidak terdapat
aktivitas pelayanan yang baik dan DPRD tidak melakukan fungsi kontrol dan
menyalurkan aspirasi warga.
Ke depan,
perlu dirancang solusi politik dan kelembagaan untuk memperbaiki tata kelola
pemerintahan lokal serta meningkatkan partisipasi masyarakat Papua untuk
terlibat dalam proses pembuatan kebijakan publik.
Tiga inisiatif
Ada tiga hal
yang dapat menjadi diskursus terkait penciptaan tata kelola pemerintahan lokal
yang bersih dan melayani, yaitu diskursus soal pentingnya mengkaji kembali
pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung untuk Papua dan
Papua Barat dan mengkaji soal keberadaan partai lokal serta keberadaan badan
baru yang mengurusi Papua dan Papua Barat.
Inisiatif
pertama adalah membenahi tata kelola pemerintahan lokal di Papua dengan
mengkaji kembali pelaksanaan pilkada secara langsung oleh masyarakat. Lemahnya
tata kelola pemerintahan di Papua dan Papua Barat tampak dari Indeks Tata
Kelola Pemerintahan yang dilakukan oleh Kemitraan (2008 dan 2012). Indeks
tersebut diukur dari angka 1 (sangat buruk) sampai 10 (sangat baik).
Temuan
Kemitraan menunjukkan indeks Papua dan Papua Barat berada di bawah rata-rata
nasional, baik pada 2008 atau 2012. Di tengah peningkatan rata-rata indeks tata
kelola nasional, indeks di Papua justru mengalami penurunan. Untuk Papua turun
dari 5,01 pada 2008 menjadi 4,88 pada 2012. Sementara kondisi di Papua Barat
lebih baik yang naik dari 4,37 pada 2008 menjadi 4,48 pada 2012. Indeks
rata-rata nasional sebesar 5,1 (tahun 2008) dan 5,7 (2012). Jika diturunkan pada empat arena yang dibuat
oleh Kemitraan (2012), penurunan di Papua berada pada aspek pemerintahan yang
merosot dari 4,52 (2008) ke 4,35 (2012); birokrasi dari 4,57 menjadi 4,25 dan
masyarakat ekonomi dari 6,49 ke 5,36 serta naik pada aspek masyarakat sipil
dari 5,33 ke 6,24. Sementara di Papua Barat hanya turun pada arena birokrasi
dari 4,02 menjadi 3,55.
Dari sisi
proses pelaksanaan pilkada, Papua dan Papua Barat selalu mendapatkan sorotan
merah. Dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2019 yang dikeluarkan Bawaslu,
Provinsi Papua dan Papua Barat berada di atas rata-rata nasional kerawanan
pemilu. Rapor merah potensi kerawanan di Papua juga terlihat dalam Pilkada 2018
dengan potensi kerawanan paing tinggi. Proses penyelenggaraan pilkada yang
bermasalah ditunjukkan oleh riset yang dilakukan oleh Perludem (2017). Temuan
Perludem menunjukkan adanya dugaan penggelembungan jumlah pemilih di
daerah-daerah yang menerapkan sistem noken.
Di daerah
tersebut, jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) lebih besar
dibandingkan dengan jumlah penduduk. Sebagai contoh, jumlah pemilih dalam DPT
pilkada di Kabupaten Tolikara sebesar 216.261 jiwa. Padahal, jumlah penduduk di
kabupaten tersebut berdasarkan data BPS hanya 136.576 jiwa. Dalam penerapan
sistem noken, juga tak ada standardisasi baku yang disepakati penyelenggara
pemilu (Pasaribu, 2017). Menurut Pasaribu, terdapat beberapa metode dalam
penggunaan sistem noken, yaitu melalui pesta bakar batu terlebih dulu,
pemilihan oleh kepala suku, pemilih mencoblos surat suara lalu memasukkan ke
noken, pemilih memasukkan surat suara ke kantong noken, atau pemilih berbaris
di depan noken dan dihitung Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Perbedaan
metode noken itu bisa saja dimanfaatkan oleh broker politik untuk memobilisasi
para tetua adat, kepala suku atau bermain mata dengan penyelenggara pemilu. Dan
kepala daerah terpilih dengan mekanisme yang tidak memiliki standar yang baku
itu dikhawatirkan tak memiliki komitmen publik yang tinggi karena proses
pemilihan yang tak transparan dan potensi penggunaan politik uang yang tinggi.
Dari sisi kinerja, kepala daerah yang dipilih melalui sistem noken tak punya
tuntutan untuk bekerja secara maksimal karena suara yang didapatkan berasal
dari mobilisasi politik melalui pengerahan kepala suku dan tokoh-tokoh politik
lokal. Sistem noken juga membuat sistem kompetisi jadi lemah karena tak ada
kontestasi yang berarti di antara calon.
Evaluasi
metode pemilihan kepala daerah di Papua dan Papua Barat mungkin bisa menjadi
solusi untuk membuat tata kelola pemerintahan bisa berjalan bersih dan efektif.
Pemilihan mungkin dapat dibagi berdasarkan beberapa kluster, yaitu
daerah-daerah yang dapat melaksanakan pemilihan secara langsung, daerah-daerah
yang kepala daerahnya dipilih oleh DPRD atau daerah-daerah yang kepala
daerahnya ditetapkan secara langsung oleh pemerintahan pusat dengan mempertimbangkan
masukan dari DPRD. Misalnya, daerah pesisir mungkin bisa tetap mempertahankan
sistem pemilihan langsung, sedangkan daerah-daerah di pegunungan yang sebagian
besar menggunakan sistem noken, kepada daerahnya dipilih DPRD/atau ditunjuk
pemerintahan pusat.
Inisiatif
kedua adalah merumuskan formula untuk meningkatkan fungsi representasi politik
dan kedekatan publik dengan partai. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah
dengan memperbolehkan pendirian parpol lokal seperti di Aceh, bisa melalui
revisi UU Otsus, atau revisi UU partai politik. Keberadaan partai lokal juga
dapat memoderasi permintaan referendum oleh aktor-aktor politik di Papua.
Melalui partai lokal, faksi-faksi politik di Papua mungkin akan terlembaga,
sehingga dialog antara pemerintahan Indonesia dan tokoh-tokoh separatis Papua
dapat dilakukan dengan baik.
Keberadaan
partai lokal juga dapat membuat masyarakat Papua merasa lebih dekat dengan
parpol. Diharapkan dengan adanya partai lokal,
masyarakat Papua dapat lebih tertarik untuk terlibat dalam proses
pembuatan kebijakan publik. Hal itu, karena basis pembentukan partai yang
mempertimbangkan aspek sosiologis, seperti kesamaan gagasan/ide, jaringan
politik, atau agenda yang sama.
Inisiatif
ketiga adalah perlunya pembentukan badan baru untuk mengontrol pelaksanaan UU
Otsus Papua. Badan tersebut harus powerful dan langsung bertanggung jawab dan
berada di bawah Presiden, serta melakukan tugas koordinasi dengan gubernur
Papua dan Papua Barat. Dari sisi personel, badan harus didukung oleh sumber
daya manusia yang mumpuni dan mempunyai pengalaman berinteraksi dengan isu dan
aktor politik Papua. Dukungan anggaran perlu diperkuat dan dialokasikan secara
khusus dan bukan mengambil dari alokasi kementerian tertentu.
Badan baru
juga dapat menjadi hub yang mengoordinasikan semua divisi di
kementerian/lembaga yang mengurusi Papua atau jika perlu mungkin semua divisi
tersebut bisa dilebur pada badan baru yang akan dibuat. Banyaknya divisi yang
mengurusi Papua, dikhawatirkan dapat memperumit koordinasi dan penyelesaian
masalah Papua ke depan. Keberadaan badan baru tersebut perlu dirancang dan
ditangani secara serius oleh pemerintah, mengingat masalah Papua perlu
mendapatkan penanganan yang spesial dari pemerintah.
Sebelumnya,
kita sudah punya badan yang pernah menangani Papua, seperti Unit Percepatan
Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B), tetapi badan
tersebut seperti tidak berdaya karena lemahnya dukungan politik dan anggaran
dari pemerintah.
Tiga
inisiatif politik kelembagaan tersebut bisa menjadi alternatif untuk
didiskusikan dalam kerangka membangun situasi damai di Papua ke depan.
(Arya Fernandes, Peneliti Departemen
Politik dan Perubahan Sosial, CSIS dan Anggota Pokja Papua)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar