PELAYANAN PUBLIK
Tantangan Tito
Membangun sinergi Kemendagri dengan pemda untuk perbaikan data kependudukan/KTP-e dan menyelesaikan soal kepastian hukum demi meningkatkan investasi merupakan pesan Presiden Jokowi ketika melantik Tito Karnavian sebagai mendagri.
Untuk menjawab harapan presiden terkait kepastian hukum dan investasi, tiga langkah harus segera dilakukan.
Pertama, kaji ulang regulasi di pemda. Data Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah pada 2018 mengidentifikasi terdapat 15.146 perda, 5.560 di antaranya fokus pada investasi. Dari jumlah itu, 547 perda bermasalah dan bisa menghambat investasi. Pada tahun sebelumnya pemerintah membatalkan 3.143 perda penghambat daya saing nasional.
Kedua, cegah konflik kekerasan. Pada 2020 akan ada Pilkada serentak di 270 wilayah. Pelaksanaan pilkada serentak terbesar sepanjang sejarah republik itu berpotensi menimbulkan konflik. Selain isu politik, menurut Indeks Keamanan Investasi Indonesia (Bappenas, 2016), terdapat potensi konflik yang menghambat investor: konflik agraria, konflik kecemburuan sosial, dan konflik adat atas nilai-nilai lokal.
Mengacu pada UU No 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, fungsi pencegahan konflik merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan pemda. Pemerintah pusat dan pemda perlu segera membangun kerangka kerja pencegahan konflik di pusat maupun daerah. Caranya, membangun mekanisme institusional pencegah intensitas dan eskalasi konflik, membangun sistem peringatan dini, dan memfasilitasi peningkatan kapasitas masyarakat rentan konflik (LIPI, 2012).
Perkembangan teknologi informasi dapat dimanfaatkan untuk mempermudah pembangunan sistem peringatan dini. Saat ini cukup banyak Polda dan Polres punya sistem aduan berbasis digital, tapi belum banyak terintegrasi dengan pemda. Keberadaan mendagri berlatar Polri diharapkan dapat membangun integrasi Polri dan pemerintah kian memperkecil potensi konflik kekerasan yang melibatkan masyarakat, tak hanya dengan pendekatan intelijen yang kaprah dilakukan.
Ketiga, bangun tata kelola pemerintahan yang baik di semua level pemerintah. Kelemahan kualitas tata kelola pemerintahan dapat menciptakan ketakadilan horisontal dalam politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang dapat berujung pada kekerasan. Transparansi dalam tata kelola pemerintahan dapat meminimalkan tabiat korupsi (saat ini masih banyak kepala daerah ditangkap KPK karena korupsi).
Terlepas dari kekurangan yang masih perlu dibenahi, Polri di bawah kepemimpinan Tito menjelma sebagai lembaga negara bercitra positif: semakin baik di mata publik. Dalam lima tahun terakhir, survei litbang Kompas menunjukkan adanya lonjakan tren positif, dari 63,2 persen (2016) menjadi 73,05 di tahun berikutnya dan 82,9 persen pada 2018. Peningkatan ini selaras dengan survei terakhir Alvara Research Center: selama pemerintahan Jokowi-JK, Polri mendapat nilai 78,1 persen dan menjadi lembaga bertingkat kepercayaan tertinggi ketiga setelah TNI dan KPK. Sejak era Reformasi, Polri belum pernah mendapatkan kepercayaan sebesar ini.
Untuk mencapai prestasi itu, banyak hal telah dilakukan, dari perubahan paradigma hingga kelembagaan. Misalnya, untuk meminimalkan keluhan publik seputar penyelewengan dan praktik koruptif dalam layanan Kepolisian, dibentuk Satgas Pungli. Beberapa Kapolres, Kasatlantas, dan jajaran tercatat pernah dihukum akibat terbukti melakukan penyelewengan.
Hal lain: sejak menjabat sebagai asrena kapolri pada 2014, Tito membangun Indeks Tata Kelola Polri (ITK), sebuah penilaian kinerja Polri secara objektif dan independen berbasis data serta persepsi publik di level Polda dan Polres. Komitmen itu diperkuat saat ia Kapolri dengan melembagakan metode pengukuran melalui Peraturan Kapolri pada 2018 di semua level: Mabes, Polda, Polres yang dilakukan berjenjang.
Pengukuran ITK, yang melibatkan masukan publik, juga dimaksudkan mengubah paradigma anggota Polri, dari prajurit (garis komando dan eksekusi) menjadi penjaga dengan pendekatan komunikasi dan interaksi sesama anggota dan masukan dari masyarakat. Hal ini dikemukakan dalam bukunya (Democratic Policing, 2017) yang menyebut rakyat pemilik negara sehingga dalam pelayanan, Polri harus mengikuti keinginan rakyat.
Replikasi pengalaman
Pengalaman membangun sistem pengukuran kinerja di Polri sangat mungkin direplikasi untuk mengukur kinerja tata kelola pemda dengan melibatkan publik di level provinsi dan kabupaten/kota. Ini sekaligus memperkaya pengukuran Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemda yang selama ini telah rutin dilaksanakan tapi masih minim pelibatan publik.
Keterlibatan publik mengukur kinerja Pemda sangat penting. Sebagai salah satu aktor tata kelola, masyarakat sipil bersama pejabat politik (kepala daerah dan DPRD), birokrasi, dan masyarakat ekonomi dapat menentukan kualitas tata kelola pemerintahan sebuah daerah.
Pada sisi lain, penilaian kinerja tata kelola pemerintahan daerah secara objektif dan independen dapat meningkatkan kompetisi sehat antardaerah. Tiap daerah akan berlomba meningkatkan kualitasnya demi perbaikan pelayanan kepada publik karena sejatinya keberadaan negara tak lagi pangrehprojo (memerintah), melainkan pamongprojo (melayani) seperti cita-cita program reformasi birokrasi.
Secara teknis pengukuran dapat dilakukan secara berjenjang. Kemendagri mengukur kinerja provinsi, sementara kabupaten/kota diukur oleh provinsi. Ini sesuai dengan fungsinya masing-masing, seperti disebutkan dalam UU Pemerintah Daerah: provinsi merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Adapun provinsi punya mandat mengawal dan mengoordinasi pembangunan pemerintah di bawahnya. Skema itu juga dapat digunakan dalam mengkaji Perda bermasalah.
Dengan mengoptimalkan fungsi Kemendagri, terkait penanganan konflik, serta mereplikasi pengalamnya di Polri, tantangan Tito di hari pelantikan- nya lebih mudah dilaksanakan.
(Arif Nurdiansah ; Peneliti Tata KeLola Pemerintahan di Kemitraan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar