Sertifikasi
dan Reforma Agraria
Iwan Nurdin ; Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria;
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik
UI
|
KOMPAS,
05 April
2018
Sertifikasi tanah secara
mengejutkan disebut ngibul oleh Amien Rais. Tuduhan tersebut membuat banyak
pihak kembali mengangkat secara kritis bagi-bagi sertifikat yang tengah
dilakukan pemerintah.
Benarkah sertifikasi tanah
ini ngibul? Jika dilihat kenyataan bahwa sertifikasi memang ada dan jumlahnya
digenjot oleh pemerintah tentu bukan ngibul. Akan tetapi, mengklaim bahwa
sertifikasi yang dilakukan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan nasional (ATR/NPN) sebagai reforma agraria juga kurang tepat.
Sertifikasi dalam skema
reforma agraria adalah ujung dari operasi penataan struktur agraria di sebuah
wilayah yang mengalami ketimpangan, konflik, yang mengakibatkan kemiskinan.
Penataan struktur tersebut membuka akses bagi tunakisma dan pemilik tanah
gurem punya hak kepemilikan, akses kelola, pemulihan hak korban konflik
terhadap bidang tanah, baik secara pribadi atau kelompok.
Adapun sertifikasi tanpa
proses reforma agraria adalah kegiatan pelayanan publik semata, yakni proses
memberikan sertifikat tanah kepada masyarakat yang telah memiliki tanah.
Melengkapi
sertifikasi
Reforma agraria
direncanakan pemerintah dalam dua skema: redistribusi tanah seluas 4,5 juta
hektar dan sertifikasi tanah dengan luasan yang sama sehingga seluruhnya
mencapai 9 juta hektar. Sayangnya, angka redistribusi tanah yang direncanakan
berasal dari tanah hutan, perkebunan dan tanah negara lainnya, berjalan
lambat. Sementara program sertifikasi, yang saat ini bernama Pendaftaran
Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) berjalan terpisah dengan proses redistribusi.
Jika mencapai target,
sertifikasi tanah PTSL punya nilai ekonomi yang sangat besar. Dengan
menggunakan penghitungan nilai jual obyek pajak (NJOP) yang paling rendah Rp
15.000, proses ini telah menghidupkan aset paling sedikit senilai Rp 1.350
triliun. Sebuah nilai yang fantastis.
Sertifikasi semacam ini
dipengaruhi oleh pemikiran Hernando de Soto (2003). Ekonom ini membahas
betapa besarnya nilai ekonomi milik rakyat yang selama ini ekstra legal,
tidak diakui sehingga tidak tercatat. Agar dapat masuk ke dalam sistem
ekonomi formal, aset ekstra legal ini harus diakui melalui proses legalisasi
dan sertifikasi. Dengan melakukan ini, de Soto secara meyakinkan menghitung
bahwa nilai legalisasi itu berkali lipat dari jumlah investasi langsung yang
diundang oleh pemerintah.
Namun, ada bahaya
mengancam yang harus diantisipasi. Sebab, kelembagaan ekonomi yang bekerja
melakukan pemberdayaan plus menjamin pembiayaan murah kepada masyarakat
pasca- sertifikasi tanah belum terbentuk. Yang tersedia adalah kelembagaan
pembiayaan umum biasa zonder pembinaan dan pemberdayaan. Sertifikasi tanah
tanpa ditopang skema kelembagaan reforma agraria yang utuh hanyalah langkah
awal yang akan membawa tanah-tanah terkonsentrasi pada pemodal besar akibat
proses jual-beli.
Redistribusi
tanah
Dua dekade lalu,
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengeluarkan kertas posisi atas proyek
Land Administration Project (LAP). Seperti diketahui, pada 1994-1996,
pemerintah bekerja sama dengan Bank Dunia dan Ausaid mendorong sertifikasi
tanah secara massal, pelatihan ajudikasi, beasiswa bagi birokrat pemerintah,
serta paket usulan perubahan peraturan pendaftaran tanah.
Tempat pelaksanaan LAP
saat itu adalah Jakarta serta kota Bekasi, Depok, Tangerang, Bogor dan
Karawang. Kritik KPA pada masa itu adalah proyek administrasi pertanahan
tersebut akan menjadi instrumen liberalisasi tanah. Saat ini, apa yang
dikhawatirkan dari proyek LAP dua dekade lalu telah terjadi. Lokasi pelaksanaan LAP sepenuhnya telah
terjadi konsentrasi tanah kepada segelintir pengusaha kawasan industri,
perumahan, pusat belanja, apartemen. Sementara pemilik tanah lama tidak
terlibat dalam proses pembangunan semacam ini selain menjual tanahnya.
Berkaca dari kegagalan LAP
dalam mengangkut para pemilik tanah ke dalam proses pembangunan, sangat
diperlukan konsep dan implementasi pembangunan kewilayahan yang lebih
inklusif dan melibatkan pemilik tanah dalam skema transformasi ekonomi
wilayahnya. Idealnya, pemilik tanah ini dikonsolidasikan ke dalam badan usaha
bersama di bidang pertanian, perikanan, perkebunan yang modern. Selain itu,
konsep kemitraan yang setara, penyertaan modal oleh pemilik tanah sebaiknya
dijadikan pilihan kepada masyarakat jika terdapat investor, ketimbang proses
jual-beli atau ganti rugi tanah.
Selain proses tersebut,
redistribusi tanah yang berjalan lambat harus segera menjadi perhatian
Presiden. Sebab, inti utama dari program reforma agraria, program
redistribusi tanah, penyelesaian konflik, dan diakhiri dengan penyerahan
sertifikat dengan luasan yang secara ekonomi menguntungkan. Program ini masih
ditunggu oleh jutaan masyarakat. Penting bagi pemerintah untuk
merealisasikannya segera dengan cara memastikan kementerian yang bertanggung
jawab dalam pelaksanaan reforma agraria bekerja sungguh-sungguh mewujudkan
reforma agraria yang sesungguhnya, yaitu redistribusi tanah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar