Rasa Malu dan Nasionalisme
Zen RS ; Esais; Peminat Sejarah
|
JAWA
POS, 14 Desember 2015
DALAM kuliah terakhirnya di Universitas Indonesia
(10/12/2015), Benedict Anderson ditanya seorang hadirin perihal nasionalisme
seperti apa yang perlu dimiliki seseorang. Sarjana yang bukunya tentang
nasionalisme, Imagined Communities,
menjadi rujukan sangat penting itu kira-kira menjawab begini: rasa malu.
Sebagai anak seorang ayah berbangsa Irlandia dan ibu
berbangsa Skotlandia, namun lahir di Tiongkok, ia mulai terlibat dalam
politik karena rasa malu sebagai ”orang” Inggris. Saat berusia 20 tahun dan
kuliah di Cambridge, ia menjadi korban anak-anak muda elite Inggris yang
menyerang para mahasiswa Sri Lanka yang memprotes intervensi Inggris dalam
krisis di Suez.
Kacamatanya pecah karena wajahnya kena tonjok anak-anak
muda sok patriotis yang menyanyikan God
Save the Queen sambil menyerang mahasiswa tersebut. ”Itu membuat saya
malu. Kok bisa seorang Englishman berbuat seperti itu?”
Dalam kuliahnya di UI, ia mencontohkan orang-orang Amerika
yang merasa malu melihat pemerintahnya bisa berlaku barbar membunuhi banyak
orang dalam Perang Vietnam. Secara tersirat, akhirnya, Ben juga menyebut
orang-orang di Indonesia yang merasa pedih menyadari pemerintahnya berlaku
buas di Timor Timur, Aceh, dan hingga kini di Papua.
Ben hendak mengatakan bahwa keganasan nasionalisme, yang
dalam sejarah kontemporer terbukti meminta tumbal banyak sekali, bisa
dijinakkan melalui rasa malu. Bukan rasa malunya yang penting, namun
menyadari bahwa negara –dengan segenap aparatus ideologi dan birokrasinya–
juga sering melakukan keberengsekan: mulai tindakan oppressive demi
mempertahankan persatuan dan kesatuan hingga korupsi yang menyiksa perut
rakyatnya.
Peristiwa Santa Cruz di Dili, DOM di Aceh, peristiwa
Talangsari dan Priok, tragedi Trisakti, hingga pembantaian Udin, Theys Eluay,
dan Marsinah serta Munir, dalam nalar Ben Anderson, bisalah dianggap sebagai
sebentuk ”malapraktik nasionalisme”. Nasionalisme yang disebut Soekarno
sebagai nasionalisme ” jang menjerang-njerang”.
Hanya dengan itulah nasionalisme bisa menjadi sesuatu yang
sehat. Nasionalisme ” jang menjerang-njerang”, apalagi agresif kepada
bangsanya sendiri, itulah yang diyakini Ben Anderson justru akan merontokkan
negara-bangsa Indonesia.
Dalam bukunya yang paling berpengaruh, Imagined
Communities, ia meramalkan keruntuhan negaranegara besar –jauh sebelum Soviet
dan Ceko-Slovakia bubar (buku itu terbit pada 1982, sedangkan Soviet dan
Ceko-Slovakia bubar pada 1991 dan 1992).
Namun, dalam sebuah wawancara, ia justru masih cukup
optimistis Indonesia tidak akan bernasib seperti dua negara Eropa Timur itu.
Dalam wawancara dengan Radio Nederland tak lama setelah Habibie mengumumkan
referendum di Timor Timur, Ben mengatakan bahwa rasa hayat kebangsaan orang
Indonesia sangat kuat.
Ia membandingkannya dengan orang Thai dan Filipina. Bahkan,
di kalangan terpelajar kala itu, kata Ben, ia tak pernah bertemu mahasiswa
Indonesia di Amerika yang memilih studi negara lain –berbeda dengan orang
Thai dan Filipina yang biasa memilih studi negara yang bukan bangsanya
sendiri.
Asalkan, kata Ben lagi, pemerintah Indonesia tak bikin
ulah yang anehaneh di wilayah sendiri. ”Kalau pemerintah Indonesia tidak
kurang ajar di situ (Papua), situasi seperti OPM itu enggak mungkin sekuat
seperti sekarang ini. Ini semuanya akibat cara pemerintahan yang salah. Dan
kalau (sikap dan cara pemerintah) ini berubah, ini bisa juga, situasi bisa
berubah ke arah yang baik,” katanya.
Di titik itulah kita bisa kembali kepada Imagined
Community. Sumbangsih terbesar karya itu adalah menyadarkan dengan cara yang
kelewat meyakinkan betapa negarabangsa, juga nasionalisme, termasuk
Indonesia, bukanlah sesuatu yang ajek sejak dari sononya, sejak nun jauh di
mato, sejak 5000 tahun yang embuh kapan kuwi wektune ala Muhammad Yamin itu.
Tidak ada, atau belum ada, yang namanya Indonesia pada abad ke-19, abad
ke-16, abad ke-11, apalagi di zaman ketika moyang kita masih berjalan
merangkak-rangkak di lembahlembah Bengawan Solo maupun gua-gua di Flores.
Nasionalisme adalah produk baru. Dalam hal Indonesia baru
muncul di abad ke-20, dan itu pun sebenarnya ringkih: kita merasa satu bangsa
karena praktik imajinasi; bahwa kita yang berbeda suku, ras, dan agama adalah
satu bangsa bukan karena satu sama lain pernah saling berjumpa. Namun, semata
karena membayangkan, mengimajinasikan.
Imajinasi adalah sesuatu yang lunak. Ia harus terus
dirawat dengan cara yang baik, juga dengan akal sehat, dengan cinta kasih.
Tanpa itu, imajinasi sebagai satu bangsa akan dengan gampang koyak dan moyak,
sekaligus boyak.
Karena imajinatif itulah, sudah barang tentu, mustahil
imajinasi tentang Indonesia akan sama penghayatannya antara orang Bandung,
Aceh, Batam, Bali, Ambon, dan Manokrawi. Imajinasi tentang Indonesia antara
tempat yang satu dengan tempat yang lain, yang dipisahkan laut dan dipertajam
oleh perbedaan sejarah, peradatan, agama, danbahasa, juga ketimpangan
ekonomi, niscaya mengandung selisih, dan karena itu tidak akan pernah bulat
100 persen.
Indonesia, akhirnya, bukanlah ”kata benda”, melainkan
”kata kerja”: ia proyek yang belum sudah, proyek yang harus mesti tetap
dikerjakan, terus-menerus, itu pun jika ingin Indonesia masih ada di
tahun-tahun mendatang. Di antara tegangan antara Indonesia sebagai ”kata
kerja” dan ”kata benda”, imajinasi (juga proyek sejarah) bernama Indonesia
harus terus dirawat dan dikerjakan sembari mengimbuhinya dengan sebuah kata
yang luar biasa indah: keadilan. Hanya dengan keadilan menjadi Indonesia bukanlah suatu
kesiasiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar