Rabu, 16 Desember 2015

Rasa Malu dan Nasionalisme

Rasa Malu dan Nasionalisme

Zen RS  ;  Esais; Peminat Sejarah
                                                    JAWA POS, 14 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DALAM kuliah terakhirnya di Universitas Indonesia (10/12/2015), Benedict Anderson ditanya seorang hadirin perihal nasionalisme seperti apa yang perlu dimiliki seseorang. Sarjana yang bukunya tentang nasionalisme, Imagined Communities, menjadi rujukan sangat penting itu kira-kira menjawab begini: rasa malu.

Sebagai anak seorang ayah berbangsa Irlandia dan ibu berbangsa Skotlandia, namun lahir di Tiongkok, ia mulai terlibat dalam politik karena rasa malu sebagai ”orang” Inggris. Saat berusia 20 tahun dan kuliah di Cambridge, ia menjadi korban anak-anak muda elite Inggris yang menyerang para mahasiswa Sri Lanka yang memprotes intervensi Inggris dalam krisis di Suez.

Kacamatanya pecah karena wajahnya kena tonjok anak-anak muda sok patriotis yang menyanyikan God Save the Queen sambil menyerang mahasiswa tersebut. ”Itu membuat saya malu. Kok bisa seorang Englishman berbuat seperti itu?”
Dalam kuliahnya di UI, ia mencontohkan orang-orang Amerika yang merasa malu melihat pemerintahnya bisa berlaku barbar membunuhi banyak orang dalam Perang Vietnam. Secara tersirat, akhirnya, Ben juga menyebut orang-orang di Indonesia yang merasa pedih menyadari pemerintahnya berlaku buas di Timor Timur, Aceh, dan hingga kini di Papua.

Ben hendak mengatakan bahwa keganasan nasionalisme, yang dalam sejarah kontemporer terbukti meminta tumbal banyak sekali, bisa dijinakkan melalui rasa malu. Bukan rasa malunya yang penting, namun menyadari bahwa negara –dengan segenap aparatus ideologi dan birokrasinya– juga sering melakukan keberengsekan: mulai tindakan oppressive demi mempertahankan persatuan dan kesatuan hingga korupsi yang menyiksa perut rakyatnya.

Peristiwa Santa Cruz di Dili, DOM di Aceh, peristiwa Talangsari dan Priok, tragedi Trisakti, hingga pembantaian Udin, Theys Eluay, dan Marsinah serta Munir, dalam nalar Ben Anderson, bisalah dianggap sebagai sebentuk ”malapraktik nasionalisme”. Nasionalisme yang disebut Soekarno sebagai nasionalisme ” jang menjerang-njerang”.

Hanya dengan itulah nasionalisme bisa menjadi sesuatu yang sehat. Nasionalisme ” jang menjerang-njerang”, apalagi agresif kepada bangsanya sendiri, itulah yang diyakini Ben Anderson justru akan merontokkan negara-bangsa Indonesia.

Dalam bukunya yang paling berpengaruh, Imagined Communities, ia meramalkan keruntuhan negaranegara besar –jauh sebelum Soviet dan Ceko-Slovakia bubar (buku itu terbit pada 1982, sedangkan Soviet dan Ceko-Slovakia bubar pada 1991 dan 1992).

Namun, dalam sebuah wawancara, ia justru masih cukup optimistis Indonesia tidak akan bernasib seperti dua negara Eropa Timur itu. Dalam wawancara dengan Radio Nederland tak lama setelah Habibie mengumumkan referendum di Timor Timur, Ben mengatakan bahwa rasa hayat kebangsaan orang Indonesia sangat kuat.

Ia membandingkannya dengan orang Thai dan Filipina. Bahkan, di kalangan terpelajar kala itu, kata Ben, ia tak pernah bertemu mahasiswa Indonesia di Amerika yang memilih studi negara lain –berbeda dengan orang Thai dan Filipina yang biasa memilih studi negara yang bukan bangsanya sendiri.
Asalkan, kata Ben lagi, pemerintah Indonesia tak bikin ulah yang anehaneh di wilayah sendiri. ”Kalau pemerintah Indonesia tidak kurang ajar di situ (Papua), situasi seperti OPM itu enggak mungkin sekuat seperti sekarang ini. Ini semuanya akibat cara pemerintahan yang salah. Dan kalau (sikap dan cara pemerintah) ini berubah, ini bisa juga, situasi bisa berubah ke arah yang baik,” katanya.

Di titik itulah kita bisa kembali kepada Imagined Community. Sumbangsih terbesar karya itu adalah menyadarkan dengan cara yang kelewat meyakinkan betapa negarabangsa, juga nasionalisme, termasuk Indonesia, bukanlah sesuatu yang ajek sejak dari sononya, sejak nun jauh di mato, sejak 5000 tahun yang embuh kapan kuwi wektune ala Muhammad Yamin itu. Tidak ada, atau belum ada, yang namanya Indonesia pada abad ke-19, abad ke-16, abad ke-11, apalagi di zaman ketika moyang kita masih berjalan merangkak-rangkak di lembahlembah Bengawan Solo maupun gua-gua di Flores.

Nasionalisme adalah produk baru. Dalam hal Indonesia baru muncul di abad ke-20, dan itu pun sebenarnya ringkih: kita merasa satu bangsa karena praktik imajinasi; bahwa kita yang berbeda suku, ras, dan agama adalah satu bangsa bukan karena satu sama lain pernah saling berjumpa. Namun, semata karena membayangkan, mengimajinasikan.

Imajinasi adalah sesuatu yang lunak. Ia harus terus dirawat dengan cara yang baik, juga dengan akal sehat, dengan cinta kasih. Tanpa itu, imajinasi sebagai satu bangsa akan dengan gampang koyak dan moyak, sekaligus boyak.
Karena imajinatif itulah, sudah barang tentu, mustahil imajinasi tentang Indonesia akan sama penghayatannya antara orang Bandung, Aceh, Batam, Bali, Ambon, dan Manokrawi. Imajinasi tentang Indonesia antara tempat yang satu dengan tempat yang lain, yang dipisahkan laut dan dipertajam oleh perbedaan sejarah, peradatan, agama, danbahasa, juga ketimpangan ekonomi, niscaya mengandung selisih, dan karena itu tidak akan pernah bulat 100 persen.

Indonesia, akhirnya, bukanlah ”kata benda”, melainkan ”kata kerja”: ia proyek yang belum sudah, proyek yang harus mesti tetap dikerjakan, terus-menerus, itu pun jika ingin Indonesia masih ada di tahun-tahun mendatang. Di antara tegangan antara Indonesia sebagai ”kata kerja” dan ”kata benda”, imajinasi (juga proyek sejarah) bernama Indonesia harus terus dirawat dan dikerjakan sembari mengimbuhinya dengan sebuah kata yang luar biasa indah: keadilan. Hanya dengan keadilan menjadi Indonesia bukanlah suatu kesiasiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar