Petahana
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
12 Desember 2015
Petahana layak dapat bintang. Calon dengan
status petahana sebagian besar menang dalam pemilihan kepala daerah serentak
ini. Petahana yang dibelit masalah, seperti Airin di Tangerang Selatan, juga
menang. Airin, yang berkali-kali diperiksa karena dugaan korupsi di pengadaan
alat kesehatan dan suaminya masih mendekam di penjara, toh bisa unggul
melawan pesaingnya yang doktor ekonomi.
Secara umum, orang menduga petahana bisa
menggerakkan birokrasi. Petahana masih punya pengaruh pada birokrasi yang
bisa diperintah untuk mendulang dukungan. Ini bisa benar, tapi bisa juga
dugaan berlebihan. Dengan adanya pelaksana tugas bupati atau wali kota,
petahana sulit menggerakkan birokrasi dari luar. Lagi pula pengawasan dari
Menteri Dalam Negeri dan gubernur tergolong ketat bahwa pegawai negeri
dilarang terlibat dalam mendukung calon.
Dugaan lain, petahana banyak uang, antara lain
mengakali dana bantuan sosial yang bersumber dari anggaran pendapatan
pemerintah. Mungkin ada petahana yang berbuat seperti itu. Tetapi lagi-lagi,
dengan adanya pelaksana tugas bupati atau walikota yang dikontrol gubernur,
penyelewengan sangatlah kecil. Apalagi dana ini baru turun belakangan pada saat
petahana tak bisa lagi "mengatur segalanya".
Lalu, apa dong penyebab petahana unggul? Ada
beberapa jenis petahana dan karenanya yang membuat dia unggul tentu saja
berbeda. Risma Harini, petahana dalam pemilihan Wali Kota Sutabaya, sangat
istimewa. Ketenarannya sampai "di ujung dunia" dengan penghargaan
internasional. Rakyat Surabaya sudah merasakan hasil kerjanya, dan Risma
dipastikan unggul, siapa pun penantangnya. Karena itu, ketika Surabaya nyaris
hanya punya satu calon dan banyak orang mengecam partai politik yang enggan
mencalonkan kadernya untuk menyaingi Risma, kecaman itu tak tepat. Partai
politik tentu berhitung: untuk apa mendukung calon yang pasti kalah? Repot
dan keluar uang.
Sempat ada kekhawatiran, kalau calon tunggal,
maka pilkada diundurkan. Muncullah ide membuat "calon boneka",
calon yang justru dibayar agar pemilihan tidak diundurkan ke tahun 2017. Pada
saat seperti itulah Surabaya punya calon lain yang menantang Risma. Apakah
ini "calon boneka" atau tidak, publik tak sempat menggosipkan berhari-hari
karena Mahkamah Konstitusi kemudian mengizinkan adanya calon tunggal. Kini
Risma menang bukan karena pilihan masyarakat "setuju" seperti yang
terjadi di Tasikmalaya dan Blitar, melainkan Risma unggul telak karena ada
calon yang bersedia kalah.
Petahana di daerah lain tak ada yang setenar
Risma. Keunggulan mereka lebih pada tak adanya calon pesaing yang bermutu.
Kalau pendatang baru itu tak menjanjikan apa-apa, masyarakat condong memilih
petahana yang sudah dikenal selama ini. Berprestasi ataupun tidak, yang
penting pemerintahan sudah jalan.
Memang di beberapa daerah ada pesaing yang
visi dan misinya bagus dan membuat orang berdecak kagum. Tapi visi-misi itu
terlalu tinggi bagi rakyat. Yang berdecak kagum para cerdik pandai. Padahal
para cerdik pandai ini terbukti malas datang ke tempat pencoblosan. Entah
karena tiba-tiba hujan, atau repot berjalan karena parkirnya jauh, dan
berbagai alasan lain untuk tidak memilih. Sementara petahana yang visi dan
misinya sederhana, apa adanya, dipahami oleh rakyat. Kalangan ini sangat
militan mencoblos, tak peduli hujan atau banjir, bahkan menyeberang sungai
sekalipun.
Petahana menang karena komunikasinya nyambung
dengan masyarakat dan tak berpengaruh apakah petahana diusung partai yang
lagi disorot buruk atau tidak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar