Rakyat
Mesir Memilih Pemimpin Baru
M
Hamdan Basyar ; Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KORAN
SINDO, 24 Mei 2014
Pada
26–27 Mei 2014 ini, di Mesir ada pemilihan umum (pemilu) Presiden untuk
memilih pengganti Presiden Mohammad Mursi yang telah digulingkan pada Juli
2013. Ini adalah kali kedua rakyat Mesir memilih pemimpin pascajatuhnya
kekuasaan otoriter di bawah Hosni Mubarak, pada 11 Februari 2011. Terlihat
dalam jangka waktu singkat yang kurang dari lima tahun, di Mesir ada dua kali
pemilu presiden. Mengapa demikian? Siapa pemimpin Mesir berikutnya?
Islamisme vs Liberal
Seperti
sudah diketahui, pada Februari 2011, di Mesir telah ada pergantian rezim.
Penguasa lama, Hosni Mubarak yang berkuasa lebih dari 30 tahun, telah
dilengserkan oleh rakyatnya. Sejak saat itu, Mesir mengalami masa transisi
demokrasi. Pada awalnya, masa yang rentan itu dikawal oleh Dewan Agung
Militer (Supreme Council of the Armed Forces/SCAF).
Untuk sementara, SCAF yang berkuasa menentukan baik buruknya kehidupan
politik Mesir. Mereka membuat amandemen terbatas pada Konstitusi Mesir, 30
Maret 2011 untuk memperkuat posisinya.
Misalnya,
dalam pasal 53 disebutkan bahwa petahana (incumbent)
anggota SCAF tetap berkuasa dan mempunyai kewenangan yang besar sampai ada
konstitusi baru. Selanjutnya, rakyat Mesir melakukan tahapan demokratisasi.
Mereka memulai dengan mengadakan pemilu Majelis Rakyat (parlemen). Pemilu ini
diselenggarakan dalam tiga tahap, sejak Desember 2011 sampai Januari 2012
(enam minggu), untuk memilih 498 anggota parlemen. Sepuluh kursi anggota
parlemen lainnya ditunjuk oleh penguasa militer. Dari 498 anggota yang
dipilih tersebut, dua pertiga dipilih dari daftar calon partai politik, dan
sepertiga dari calon independen.
Hasil
pemilu parlemen Mesir yang diselenggarakan dengan bebas tersebut, menunjukkan
Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) yang berafiliasi pada gerakan Ikhwanul
Muslimin (IM) memenangkan suara dengan 235 kursi (47,2%). Kemudian disusul
oleh kelompok Salafi dengan Partai Nour yang memperoleh 121 kursi (24,3%).
Kemenangan tersebut cukup mengagetkan kalangan elite Mesir yang cenderung
liberal dan sekuler. Sudah puluhan tahun, kelompok IM ditekan dalam kehidupan
politik Mesir. Selama pemerintahan Mubarak, IM adalah organisasi terlarang
yang tidak boleh berkiprah secara formal.
Rakyat
liberal dan sekuler semakin kaget, ketika dalampemilupresiden, yangmenang
adalah Mohammad Mursi dari kelompok IM. Pada putaran kedua, 16-17 Juni 2012,
Mursi memperoleh 51,7% suara pemilih. Dengan perolehan tersebut, Mursi
menjadi presiden Mesir pertama pasca tumbangnya Hosni Mubarak. Akan tetapi,
Mursi ternyata hanya berkuasa satu tahun, karena pada Juli 2013 militer Mesir
mengambil alih kekuasaannya.
Pasca
penggulingan Mursi, kelompok Ikhwanul Muslimin dibubarkan. Polisi dan tentara
Mesir menangkap ribuan orang pendukung organisasi tersebut, termasuk para
pemimpinnya. Dalam operasi militer Mesir, ratusan pendukung Ikhwanul Muslimin
tewas. Mesir kembali dalam gejolak. Ratusan pendukung Ikhwan yang ditangkap
kemudian dihukum mati. Alasan militer untuk memberangus Ikhwan adalah demi
stabilitas rakyat Mesir. Kemudian militer dan para pendukungnya menata
kembali kehidupan politik Mesir.
Ganti Siasat
Ketika
keran demokrasi dibuka, awalnya rakyat Mesir memulai dengan pemilu anggota
parlemen, kemudian disusul dengan pemilu presiden, dan referendum Konstitusi
(2012). Ternyata hasilnya adalah kemenangan kelompok Ikhwanul Muslimin yang
islamis. Kelompok itu dianggap hanya mementingkan golongan Islam dan
mengabaikan kelompok lain yang ada Mesir. Maka, Ikhwan dikeroyok ramai-ramai
dan diturunkan dari kekuasaannya.
Dalam penataan
politik pasca kudeta militer terhadap kekuasaan Mursi, ada perubahan siasat.
Konstitusi Mesir yang menjadi landasan kehidupan berakyat diutamakan dan
dibahas terlebih dahulu. Maka, terbentuklah Komite-50 untuk mengubah
Konstitusi Mesir hasil referendum, 2012. Konstitusi itu dianggap kontroversi
oleh kalangan liberal dan militer. Mereka menganggap Konstitusi 2012 hanya
mengadopsi kepentingan Ikhwanul Muslimin. Komite-50 menggodok perubahan
Konstitusi Mesir yang kemudian disahkan dalam referendum pada Januari 2014.
Setelah
Konstitusi dianggap beres, rakyat Mesir memilih seorang Presiden yang dapat
menjalankan roda pemerintahan. Saat inilah, mereka memilih pemimpin baru. Ada
dua calon Presiden akan dipilih. Mereka adalah mantan penguasa militer,
Jenderal Abdel Fattah al-Sisi dan tokoh kelompok kiri, Hamdeen Sabahi. Kedua
tokoh tersebut saling membantu dalam penggulingan Presiden Mursi, satu tahun
lalu. Tidak ada calon presiden dari kalangan islamis. Partai Nour yang
dianggap mewakili kaum Salafi, ikut mendukung Al-Sisi.
Ini
adalah pertarungan antara kelompok yang menganggap revolusi belum selesai dan
kelompok yang dianggap mempertahankan kekuasaan lama. Hamdeen Sabahi didukung
oleh Partai Kebebasan Liberal, Partai Aliansi Rakyat Sosialis, Partai
Konstitusi, Partai Keadilan, Partai Rakyat, dan kelompok kiri lainnya. Mereka
beranggapan revolusi penumbangan Hosni Mubarak belum selesai.
Mereka
akan terus berjuang untuk kebebasan bagi rakyat Mesir. Sebaliknya, Abdel
Fattah al-Sisi didukung oleh Partai Wafd, Partai Tagammu, Partai Mesir Bebas,
dan Partai Nour. Mereka menganggap sudah ada transisi menuju demokrasi. Dari
popularitas kedua tokoh itu, tampaknya Al-Sisi akan memenangkan pertarungan
dengan mudah. Nama Al-Sisi menjadi pembicaraan di Mesir, setelah dia dan
kelompoknya mengudeta kekuasaan Mursi. Dia semakin populer setelah menyatakan
keluar dari militer untuk menyiapkan diri sebagai kandidat presiden.
Hasil
survei yang disiarkan oleh koran Al Ahram (3 Mei 2014), menyebutkan Al-Sisi
akan memenangkan 72% suara rakyat Mesir. Sedangkan pemilih Sabahi hanya 2%
suara. Ada 22% belum menentukan pilihannya, 3% menolak menjawab, dan 1%
abstain. Survei yang sama juga menjelaskan 85% rakyat Mesir akan
berpartisipasi dalam pemilu presiden, 10% akan golput, dan 5% belum
memutuskan. Survei tersebut dilaksanakan pada 28 April–2 Mei 2014, dengan margin
error3%.
Para
pendukung Al-Sisi yakin mantan menteri pertahanan ini akan mulus menjadi
presiden Mesir mendatang. Pemimpin Partai Nour, Younis Makhyoun, misalnya,
mengatakan dalam suatu wawancara bahwa bila Al-Sisi tidak terpilih menjadi
presiden, maka Mesir bisa menjadi ”collapse
of the state.” (Al Ahram, 20 May
2014). Dia ingin menunjukkan betapa Al-Sisi sangat diharapkan untuk
menjaga keamanan negara Mesir. Kalau benar-benar Al-Sisi menjadi presiden
Mesir, bagaimana nasib Ikhwanul Muslimin? Tampaknya kelompok yang didirikan
oleh Hassan al- Banna pada tahun 1928 itu tidak dapat lagi berkiprah dalam
kehidupan Mesir.
Al-Sisi
akan melanggengkan larangan eksistensi Ikhwan. Apalagi dalam Konstitusi hasil
referendum 2014 disebutkan larangan partai politik yang berdasarkan agama.
Ternyata pemberangusan Ikhwan itu tidak hanya dilakukan oleh Al-Sisi. Capres
dari kelompok kiri, Sabahi, juga akan tetap melarang Ikhwan dalam kehidupan
politik Mesir. Dalam sebuah wawancara dengan TV Al-Nahar (6 Mei 2014), Sabahi
mengatakan: ”The Muslim Brotherhood
will not exist as an organisation whose loyalty is to foreign entities, or as
a political party. This is in accordance with the 2014 constitution which
bans parties based on religion.” (Al
Ahram, 7 May 2014).
Dengan
demikian, tampaknya kelompok Islamis di Mesir akan semakin sulit dalam
kehidupan kepolitikan di sana. Muslim, memang mayoritas di Mesir, tetapi
kemunculan Islamisme akan ditentang oleh kaum liberal dan juga militer. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar