Tanggal 1 Januari 2013 di Senat AS
terjadi penundaan pemotongan anggaran belanja federal selama dua bulan
hingga awal Maret.
Dengan gagalnya Presiden Obama dan
Partai Republik bersepakat, pemotongan anggaran sebesar 85 miliar dollar AS
sekaligus memastikan bahwa isu fiskal akan terus menyita perhatian
Washington DC dalam beberapa minggu ke depan. Diawali tentunya dengan
perdebatan ihwal resolusi lanjutan agar tetap dapat mengoperasikan
pemerintahan AS sesuai dengan kesepakatan 1 Januari lalu.
Ada konsepsi Suzanne Mettler
(2010) yang bisa menjelaskan soal di atas dan mengapa sebuah agenda
reformasi memerlukan upaya rekonstitusi hubungan antara negara dan aktor
ekonomi yang telah mapan. Mettler menunjukkan hadirnya sebuah negara di
bawah permukaan—ia istilahkan dengan the
submerged state—sebagai penghalang terbesar reformasi kebijakan dan
berakibat pada penajaman konflik politik.
Kontur dan dinamika AS amat
ditentukan oleh konglomerasi di bawah permukaan, berupa kebijakan sosial
pemerintah federal yang selama ini memberi insentif dan subsidi kepada
tindakan aktor swasta dan individu di AS.
Kendala Reformasi Obama
Sekalipun kemenangan Presiden
Obama (2008) meyakinkan dengan 53 persen pemilih, dikua- sainya Kongres AS
untuk kali pertama sejak 1992, jajak pendapat ketika itu menunjukkan angka
69 persen, agenda reformasi Presiden Obama segera menghadapi masalah.
Pertama, ada polarisasi politik partisan AS. Kedua, sekalipun Partai
Republik merupakan kelompok minoritas di Senat, basis representasi Senat,
aturan tata tertib, dan geografi politik yang ada menguatkan tangan Partai
Republik.
Namun, yang lebih penting lagi
adalah bahwa kebijakan negara di bawah permukaan itu telah membawa akibat
yang besar sepanjang waktu: aktor politik telah dibesarkan. Meningkatnya
peran mereka ikut membentuk bentangan politik sekalipun hal ini tidak
terdeteksi atau dipahami kebanyakan warga AS yang berpenghasilan rendah
ataupun sedang. Mettler melihat hal di atas sebagai kendala politik
terbesar terhadap perubahan yang ingin diwujudkan Presiden Obama.
Menurut Paul Starr dan Gosta
Esping-Andersen dalam Mettler 2010), kebijakan sosial di AS sering
berbentuk intervensi pasif: kepentingan yang mapan—yang bisa dipastikan
akan menentang reformasi menyeluruh perumahan dan perawatan kesehatan—telah
diupayakan agar terakomodasi melalui sebuah desain kebi- jakan; aneka
subsidi dan insentif berbiaya tinggi kepada kelompok tertentu.
Christopher Howard mengatakan, hal
ini cukup mengindikasikan adanya negara kesejahteraan terselubung yang
mencakup upaya pembelanjaan pajak yang menyaingi besaran, lingkup, dan
fungsi program sosial yang tradisional dan nyata. Karena itulah, negara di
bawah permukaan itu berhasil membangkitkan kepentingan warga yang
memperoleh untung darinya dan tak terdetek- si oleh umumnya warga AS.
Meski fitur individu negara ini (the earned income tax credit)
membantu mewujudkan keadilan, secara menyeluruh negara di bawah permukaan
itu justru cenderung meningkatkan taraf ketakadilan di AS. Keuntungannya
sering lebih terdistribusikan ke atas, seperti halnya pada pengurangan
pajak atas sumbangan, suku bunga hipotek, dan asuransi kesehatan yang bebas
pajak dari perusahaan.
Warga AS yang diuntungkan oleh
pengurangan pajak seperti di atas merasa nyaman dan upaya perluasan
kebijakan menyertakan warga yang berpenghasilan rendah dan sedang sangat
kecil kemungkinannya mendorong warga AS secara positif menanggapinya.
Kebanyakan warga AS tak memahami taruhan dalam pergulatan politik semacam
ini.
Bila pemerintah membelanjakan
lebih dari yang ia peroleh dari pajak, terjadilah defisit tahunan: akan
menambah utang pemerintah federal (kini 11,7 triliun dollar selain utang
kepada Dana Pensiun AS) dan mencapai 19,9 triliun dollar pada 2023 menurut
Kantor Anggaran Kongres.
Upaya menanggulangi krisis
anggaran terhalang oleh politik partisan AS: Partai Republik enggan
menaikkan pajak; Partai Demokrat tak ingin mengurangi pengeluaran untuk
jaminan kesehatan dan sosial. Pemotongan anggaran butuh waktu agar dapat
dirasakan warga, tetapi jajak pendapat sudah merugikan Partai Republik
ataupun Obama.
Pandangan publik terhadap Obama
turun dari 51 ke 47 persen karena Obama diasosiasikan dengan ketakmampuan
bekerjanya ratusan ribu pegawai pemerintah federal serta tak terwujudnya
reformasi imigrasi, regulasi penggunaan senjata, dan peningkatan upah
minimum kaum pekerja. Pemotongan anggaran di tingkat pemerintahan lokal
juga melemahkan pertumbuhan ekonomi dan membuat tingkat penganggur bertahan
7,4 persen atau malah lebih.
Bagi kita di Indonesia, konsepsi
Mettler mengajarkan bahwa intervensi pasif politik memuncakkan politik
partisan yang niscaya mengganggu penanggulangan krisis fiskal negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar