Pungli
pastilah tidak akan pernah halal. Tidak ada derajat kehalalan pungli.
Pungli, apa pun alasannya, tetap haram. Lalu kenapa kolom kali ini membahas
(lagi) tentang pungli?
Semuanya
berawal dari salah satu pesan Twitter yang dikirimkan kepada saya. Isinya,
“Bapak Wamen, jika remunerasi kami 100%, barulah pungli menjadi haram.” Tweet
demikian menunjukkan betapa seriusnya persoalan pungli, sehingga konsep
bahwa pungli itu haram pun sudah mulai dikaburkan. Pungli sudah mulai
ditoleransi, sehingga ada pendapat pungli mempunyai derajat kehalalan.
Pandangan demikian tentu tidak dapat dibenarkan.
Karena itu, izinkan
saya menulisnya (lagi) pada kesempatan kolom kali ini. Saat ini, salah satu
tantangan utama birokrasi adalah pelayanan publik yang terus semakin baik.
Di era yang makin demokratis, sikap kritis publik adalah keniscayaan. Maka
melakukan pelayanan yang biasa saja, tidak akan pernah cukup. Perbaikan
terus-menerus pada pelayanan publik bukanlah pilihan, melainkan juga
keniscayaan. Tidak terkecuali pelayanan di Kementerian Hukum dan HAM.
Setiap unit yang melakukan harus berpegang teguh pada empat syarat pelayanan
publik: cepat, nyaman, aman, dan bersih.
Bersih dalam
arti pelayanan publik harus bebas dari praktik pungutan liar (pungli).
Pungli pasti merusak sistem pelayanan. Apa pun alasannya, pungli tidak
dapat dibenarkan. Secara hukum, pungli adalah korupsi. Walaupun kalau
dilihat dari segi jumlah, nilainya pastilah kecil. Tetapi pungli tetaplah
salah satu bentuk korupsi, yang tidak jarang dikategorikan terjadi karena
keterdesakan kebutuhan (corruption by
need).
Secara konsep,
pungli sering diperlawankan dengan korupsi dalam jumlah besar, yang terjadi
karena keserakahan (corruption by
greed). Tetapi apa pun kategorisasinya, pungli tetaplah korupsi. Dan,
korupsi dalam bentuk apa pun tidak boleh ditoleransi. Tidak ada derajat
kehalalan pungli. Sebagaimana tidak ada toleransi untuk korupsi. Tidak
benar bahwa jika remunerasi 100%, baru pungli menjadi haram.
Membalas pesan
Twitter tersebut, yang seakan berargumen ada derajat kehalalan pungli, saya
berkata, “Bahkan jika tidak ada
remunerasi sekalipun, jikapun remunerasi 0% sekalipun, tidak menyebabkan
pungli menjadi halal. Pungli tetap, dan harus terus haram”. Menyadari
bahwa praktik pungli sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari pelayanan
publik kami, maka tidak ada pilihan lain keharaman pungli harus terus
digaungkan, dengan nyaring. Beberapa waktu terakhir, saya kembali pada
pernyataan mendasar, “Pungli itu
haram.”
Suatu
pernyataan yang seharusnya tidak perlu lagi diingatkan, karena sudah pasti
benar. Namun, tingkat toleransi dan sikap permisif yang sudah sedemikian
tinggi pada perilaku pungli, membuat saya tidak ada pilihan. Dalam berbagai
kesempatan, saya menyampaikan pungli 100% haram. Setiap forum demikian saya
awali dengan pemutaran film, Kita Vs Korupsi, terutama untuksegmen Selamat
Siang Risa. Dalam bagian film yang dibintangi Tora Sudiro tersebut,
dikisahkan bagaimana di tengah himpitan kesulitan ekonomi, dan saat bayinya
yang sakit, tidak menyebabkan integritas moral Tora tergadaikan.
Dia tetap
menolak menerima tumpukan uang suap yang disodorkan seorang pengusaha, yang
memaksa meminjam gudang untuk menumpuk beras jualannya. Setiap menonton
kembali film itu, saya terus tercenung, terus mencuci niat untuk menjaga
integritas. Terutama pada bagian Tora memeluk dan menciumi bayinya, dalam
dekapan erat kebapakannya, sesaat setelah dia menolak menerima sogokan
tumpukan uang yang telah ada di depan matanya.
Sambil menolak
sogokan tersebut, Tora berkata, “Saya
mungkin bodoh, saya mungkin salah, tetapi kebodohan dan kesalahan ini,
tidak akan pernah saya sesali sampai mati.” Itulah bagian yang selalu
mengingatkan dan menginspirasi kami. Tora pasti telah menyelamatkan seluruh
keluarganya dengan menegaskan suap, pungli, korupsi, atau apapun namanya
tidak ada toleransi kehalalannya. Apa pun risikonya, pastilah tidak mudah.
Karena godaan tentu selalu datang dalam bentuk berbagai wajah.
Dalam bentuk
anak yang sedang sakit, dalam bentuk kebutuhan biaya sekolah, atau dalam
bentuk apa pun, tetap tidak menyebabkan pungli menjadi halal. Maka saya pun
tercenung, ketika penertiban yang kami lakukan di kementerian mendapat
respons. “Jika penertiban pungli
terus dilakukan, lalu bagaimana kami bisa menyekolahkan anak kami.”
Sedemikian parahnyakah pungli telah merasuk ke tulang sanubari kita?
Sehingga untuk
membiayai putra-putri kita memperoleh pendidikan, kita merasa pungli adalah
solusinya? Bagaimana bisa kita menjadi sedemikian toleran? Untuk makan,
untuk pendidikan, dan untuk apa pun, pungli bukanlah solusi. Pungli
tetaplah pungli. Pungli tetaplah korupsi. Apa pun alasan pembenarnya.
Dengan alasan, sebagai biaya pendidikan sekalipun, pungli tidak menjadi
halal. Justru untuk tujuan semulia pendidikan anak-cucu kita,
mempertahankan integritas antipungli adalah keniscayaan, adalah keharusan.
Sewajibnya kita
berpandangan, biaya pendidikan anak-anak kita, adalah bersumber dari rezeki
yang halal, yang tentunya pastilah bukan pungli. Dengan ketegasan sikap
demikianlah, kami terus mengajak seluruh jajaran di Kemenkumham, khususnya
yang langsung melakukan pelayanan publik, untuk terus berperang melawan
pungli. Sistem pengaduan terus diperbaiki. Business process terus dibenahi.
Sistem penunjang serta saranaprasarana terus dikembangkan.
Kemampuan SDM
terus ditingkatkan. Pada setiap unit pelayanan sekarang ada spanduk besar
yang mengundang masyarakat untuk melaporkan langsung ke SMS aduan, setiap
praktik pungli. Spanduk yang menyebar di seluruh Indonesia tersebut
menyebabkan kami dapat memantau langsung tingkat pungli pada setiap unit
pelayanan kami. Alur pelayanan (business
process) juga sedang dan terus kami review. Itulah sebabnya di Jakarta
Pusat dan Jakarta Barat sedang dilakukan uji coba penggantian paspor dalam
waktu satu hari (the same day).
Pada direktorat
perdata, per hari ini, 5 Maret 2013, akan ada pelayanan fidusia online,
yang akan memotong waktu pendaftaran dari harian, mingguan, bahkan bulanan,
menjadi hanya dalam hitungan tujuh menit. Sebulan kemudian, pada 5 April
2013, insya Allah giliran pendaftaran badan hukum (perusahaan, yayasan, dan
badan hukum lainnya) yang akan dipotong birokrasi prosesnya, sehingga juga
dapat diselesaikan dalam hitungan menit. Percepatan demikian tentu
membutuhkan dukungan teknologi, alat, serta sarana dan prasarana yang
mumpuni.
Karena itu,
tidak ada pilihan lain, selain terus meningkatkan peralatan berbasis IT
yang terus diperbaiki kecanggihannya. Dengan catatan penting, proses
pengadaan alat-alat tersebut juga harus bersih dari praktik korupsi.
Akhirnya, seluruh perbaikan di atas harus diiringi dengan kapasitas dan
integritas SDM yang andal. Sehebat apa pun sistem yang dibangun, jika
moralitas manusianya tetap mudah digoda maka akan ada saja kelemahan sistem
yang dapat ditransaksikan.
Pada ujungnya,
setiap sistem membutuhkan SDM yang bermoral dan berintegritas antikorupsi,
antisogokan, antipungli. Karena tidak ada sistem kerja apa pun yang
sempurna. Sebagaimana memang tidak ada pula manusia yang sempurna. Maka di
tengah ketiadaan kesempurnaan itu, setiap kita hanya harus terus mengingat,
bahwa pungli sama sekali tidak mempunyai derajat kehalalan, tidak sedikit
pun.
Mari terus
tingkatkan pelayanan publik. Ayo terus berantas pungli. Demi Kemenkumham
yang lebih baik. Untuk Indonesia yang lebih baik. Keep on fighting for the better Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar