HIPOTESIS ekonomi sistemis Bank Century memasuki babak baru pasca-'ancaman'
Anas Urbaningrum pada 23 Februari 2013. Untuk mahasiswa ekonomi pada
tataran teoretis, hipotesis tersebut sebetulnya sangat menarik karena masih
ada pro dan kontra di antara keduanya. Satu pihak percaya karena pendekatan
jurnal dan buku, sedangkan sebagian lain berpendapat term sistemis
sebetulnya hanya justifikasi akademik agar sebuah fenomena memiliki
landasan knowledge dan legitimated.
Pascapenetapan dua tersangka kasus Bank Century
(19/11/2012) oleh KPK, yakni mantan pejabat teras Bank Indonesia Budi Mulya
(BM) yang merupakan mantan Deputi Bidang IV Pengelolaan Moneter Devisa dan
Siti Chalimah Fadjrijah (SCF) yang mantan Deputi Bidang V Pengawasan
(belakangan KPK mengatakan SCF belum ditetapkan sebagai tersangka), progres
penyelesaian kasus Bank Century itu berjalan lambat. Penetapan tersangka
tersebut menggenapi lebih dari tiga tahun penyidikan sejak 8 Desember 2009
setelah lebih dari 150 orang diperiksa.
Wacana kriminalisasi pembuat kebijakan itu menarik
dibahas karena berbeda-beda tafsir hukum antara pakar yang satu dan yang
lain. Pada soal skandal Bank Century, pembuat kebijakan--kini dimunculkan
wacana bahwa tidak tertutup kemungkinan menurut pendapat jampidsus--dapat
dikenai tuntutan.
Dengan catatan, itu apabila terbukti peraturan BI
dengan mudah diubah-ubah semata-mata digunakan untuk tujuan menyelamatkan
Bank Century. Untuk memperoleh FPJP, PBI Nomor 10/26/PBI/2008 dengan
prasyarat utama minimal CAR 8% belakangan diubah menjadi PBI Nomor
10/30/PBI/2008 dengan CAR positif. Persoalannya, bagaimana memaksakan
kesimpulan sebuah hipotesis bahwa perubahan PBI itu didesain untuk masalah
tersebut?
Belum Rugi
Persoalannya,
jika plinplan soal penentuan CAR menjadi sumber keberatan, sejatinya masih
sangat prematur untuk menyebut itu melanggar UU No 3/2004 tentang Bank
Indonesia, yang memberikan otoritas penuh kepada BI sebagai pihak
independen untuk leluasa mengubah PBI. Artinya BI boleh menetapkan
perundang-undangan sendiri untuk menjalankan fungsi secara maksimal. Karena
itu, sulit mengatakan PBI No 10/30/ PBI/2008 melanggar UU. Justru karena
terjadinya krisis itulah PBI tersebut lahir untuk antisipasi dampak
sistemis. Jika BI tetap menggunakan batas CAR 8%, bisa jadi dampaknya lebih
buruk dan benar-benar menimbulkan keresahan sistemis.
Dari
sisi tersebut, syarat untuk memidanakan policy
maker jelas belum terpenuhi, bagaimana peluangnya dari sisi merugikan
keuangan negara?
Unsur kerugian negara bisa dibuktikan apabila sudah jelas terjadi risiko.
Misalnya Bank Century dinyatakan bangkrut dan kemudian harus membayar
kewajiban. Jika negara, dari bailout tersebut, telah mengeluarkan Rp6,7
triliun dan mendapatkan Rp678,5 miliar, itu baru benar-benar disebut rugi.
Namun jika Bank Century belum tutup dan belum tutup dan
kini bermetamorfosis menjadi Bank Mutiara, artinya negara belum benarbenar
rugi. Jika melihat hal itu, masih sangat jauh bahwa policy maker Bank Century akan bisa dipidanakan.
Inilah yang menyebabkan di akhir 2011, hasil audit
forensik BPK menyimpulkan tidak ditemukan indikasi merugikan negara pada
kasus Century. Tim inisiator Hak Angket Bank Century DPR hilang kesabaran
dan mengusulkan agar audit internasional berkualifikasi certified fraud
examiner (CFE) diturunkan un tuk mengganti BPK.
Ada pertanyaan mendasar dalam hal ini yang harus
dijawab panitia angket Bank Century, bagaimana kriteria hasil audit yang
benar? Apakah hasil audit yang tidak sesuai dengan ekspektasi panitia
angket dapat dikatakan salah kendati dengan metodologi yang benar? Jika hasil
investasi pansus DPR yang live itu sudah menyimpulkan pendapat politis,
mengapa harus dengan BPK?
Nuansa Politik
Arah
penyelesaian dugaan patgulipat dana Rp 6,7 triliun Bank Century sepertinya
mengikuti arus ombak di lautan dan selera politik. Variabel eksternal yang
masuk pusaran itu begitu kompleks karena bertepatan dengan ketakutan krisis
global 2008 seperti endemi 1997. Celakanya, Indonesia sedang dalam masa
persiapan pemilu yang tentu saja sangat membutuhkan uang. Masamasa
ketidakstabilan politik ini sebenarnya sangat mudah terekspos langsung
dengan korupsi (Mironov, 2011).
Benang merahnya sebetulnya terlihat, ada orang genius
yang memanfaatkan masa-masa transisi itu, memanfaatkan variabel eksternal
untuk memutar mesin variabel internal. Dampaknya ialah moral hazard luar biasa karena hasilnya justifikasi dari sebuah
fenomena atau hipotesis. Dengan kondisi seperti itu, sangat sukar berharap
akan dapat mengurai behind the scene
yang sebenarnya, bahkan lewat auditor terpintar sekalipun.
Namun apakah itu bisa diusut? Beberapa pengalaman
empiris menunjukkan para white
scholar itu dapat dijerat sistem hukum yang tegas. Namun sebaliknya,
juga tidak bisa karena atas pertimbangan politik. Fakta yang bisa
dipidanakan terjadi di Korea Selatan, sedangkan yang tidak bisa di Amerika
Serikat.
Pada Januari 2010 di Korea Selatan, pengadilan tinggi
Seoul menjatuhkan hukuman penjara lima tahun dan denda 150 juta won kepada
Byeon Yang-ho atas tuduhan penyuapan. Byeon ialah Dirjen Kementerian
Keuangan dan Ekonomi Korea Selatan ketika itu.
Kasus tersebut sebetulnya terjadi pada 2001-2002.
Pejabat berusia 55 tahun itu dituduh menerima suap dari Kim Donghun, kepala
sebuah firma keuangan lokal, dalam upaya menghapus catatan utang Wia dan
Aju Metal. Wia merupakan afiliasi dari Hyundai Automotive, sedangkan Aju
Metal subkontraktor Wia.
Penyuapan Kim merajalela, sampai kepada Deputi Gubernur
Korea Development Bank (KDB) Park Sang-bae dan CEO of KDB Capital Rhee
Sung-kun. Masing-masing, menurut pengakuan Kim, mendapat bagian 1,4 juta
won dan 100 juta won. Kisah pemidanaan pembuat kebijakan itu mengisyaratkan
policy maker tidak memiliki imunitas hukum.
Berbeda dengan Amerika Serikat, Kongres tampaknya belum
berniat memenjarakan Alan Greenspan karena kesalahan dalam mengambil
kebijakan ketika menjadi gubernur bank sentral. Analis keuangan AS menyebut
krisis yang dimotori subprime mortgage 2007 itu sebagai dampak dari
kebijakan suku bunga yang terlampau rendah dari 2003 sampai 2005 (Newsweek,
2010). Booming real estat ketika itu mengakibatkan inflasi sangat tinggi
karena melajunya keberanian berutang.
Kalau Greenspan masih menghirup udara segar, sebaliknya
Presiden Barack Obama harus melayani pertanyaan anggota Kongres terkait
dengan masalah bailout ketika krisis 2007 itu. Pertanyaan kebijakan bailout
itu muncul pertama kali dalam peringatan setahun kebangkrutan Lehman
Brothers.
Apa alasan utama pemerintahan Obama tidak menolong Lehman?
Mengapa bank dan lembaga keuangan lainnya seperti Bear Stearns, Citigroup,
dan AIG diselamatkan, sedangkan Lehman dibiar kan bangkrut? Kucuran bailout
kepada AIG US$85 miliar bahkan dilakukan bersamaan dengan kolapsnya Lehman
pada 15 September 2008. Bagaimana Obama mendefinisikan bank yang berpotensi
menimbulkan risiko sistemis dan tidak sistemis?
Kongres mempertanyakan karena sampai dengan saat ini,
rakyat AS yang merupakan pembayar pajak masih menerka-nerka pertimbangan
spesifik apa yang mendasari keputusan itu. Pembiaran tersebut akan
menimbulkan polemik dan akan terus menjadi catatan bagi pemerintahan Obama.
Nilai plus Obama ialah kebijakan bailout tidak untuk menyelamatkan
manajemen AIG, Freddie Mac atau Fannie Mae, tetapi untuk menyelamatkan shareholder-nya.
Sampai dengan setahun insiden Lehman, Kongres belum
menyadari hal itu kecuali meyakini sebagai contingency pemerintah dalam
situasi darurat. Namun ketika Vern McKinley, mantan staf Federal Deposit
Insurance Corporation (FDIC atau LPS di Indonesia), melayangkan gugatan,
isu itu akhirnya membangunkan kekritisan publik.
Melalui Federal
of Information Act (FOIA) Desember 2009, McKinley mengirimkan gugatan
kepada Bank Sentral agar dipertemukan dengan para gubernur The Fed.
McKinley amat gusar mengapa gubernur Bank Sentral melakukan upaya untuk
membiayai penjualan aset Bear Stearns
kepada JP Morgan hanya karena hipotesis ‘sistemis’ tanpa fakta.
Situasi di Indonesia sungguh berbeda dengan keteguhan
sikap Obama. Bank Century mendapat kucuran bailout negara, tapi ternyata
tidak untuk melindungi nasabah mereka. Nasib ratusan nasabah Bank Century
sampai kini tidak dihiraukan. Dari sisi pidana dan perdata, sisik melik
Bank Century itu sebetulnya sudah memenuhi pelanggaran hukum. Tinggal
sekarang kemauan KPK menuntaskannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar