Sudah berbilang pekan, tapi masyarakat
masih belum memperoleh kejelasan tentang mengapa Markas Polres Ogan
Komering Ulu (OKU) bisa dengan begitu mudahnya dibumihanguskan oleh
seratusan oknum TNI.
Tak pelak, sebagai konsekuensi organisasi yang berbasis pada garis komando,
pertanyaan pun tertuju pada peran Kepala Polres (Kapolres) OKU menjelang
penyerbuan berlangsung. Polri barangkali masih butuh waktu untuk
menuntaskan investigasinya atas absennya reaksi para personel Polres OKU
terhadap kelompok penyerbu.
Apa pun itu, lagi-lagi publik menangkap kesan kelambanan Polri—dibandingkan
dengan TNI—dalam menyikapi situasi krisis setelah kejadian OKU. Sebelumnya,
pihak TNI telah lebih dulu menyampaikan pernyataan kepada publik perihal
peristiwa tersebut. Kini kembali TNI lebih cepat mengumumkan hasil
investigasi internalnya.
Apa boleh buat. Apabila disepakati asumsi bahwa Kapolres OKU lamban dalam
bereaksi, kelambanan itu bisa jadi merupakan cerminan pola respons yang
sama yang diperagakan oleh Mabes Polri. Langkah penyelidikan yang dilakukan
Mabes Polri seyogianya menguak misteri di balik mengapa Kapolres OKU tidak
memerintahkan anak buahnya bersiap mengantisipasi serangan.
Sulit dipercaya jika Kapolres OKU berdalih bahwa keputusan untuk tidak
menahan serbuan oknum TNI semata-mata guna mencegahmemburuknyasituasi.
Sebagai bagian dari sebuah institusi yang memiliki kebanggaan jiwa korsa,
ditambah dengan keberadaan senjata di gudang amunisi, keputusan untuk tidak
melawan serangan eksternal sangat mungkin tak disertai pertimbangan
memadai.
Apalagi jika benar selentingan bahwa petinggi TNI di OKU sempat menelepon,
mengingatkan Kapolres OKU tentang kemungkinan datangnya sepasukan (oknum)
tentara yang akan melancarkan operasi brutal. Tindakan Kapolres OKU yang
tidak menindaklanjuti informasi tersebut benar-benar merisaukan sekaligus
mengkhawatirkan.
Sejumlah spekulasi dapat diajukan untuk menjelaskan keputusan Kapolres OKU
yang tidak bereaksi terhadap kelompok penyerang. Pertama, Kapolres OKU
tidak memandang serius informasi mengenai ancaman yang akan menyergap.
False negative (menganggap tidak ada sesuatu yang ada) dalam situasi
tersebut bisa bersumber dari penyimpangan kognitif berupa hindsight bias.
Bias ini ditandai oleh kecenderungan kuat untuk terlalu yakin pada
kemampuan diri sendiri dalammenghindari risiko buruk, bahkan melumpuhkan
sumber bahaya. Hindsight bias
berlangsung sebagai akibat tidak adanya devil’s
advocate yang bertugas mengkritik pihak pengambil keputusan. Peran staf
sangat minimal, karena pemimpin terlalu dominan.
Untuk memastikan kemungkinan berlangsungnya hindsight bias sebagai latar
belakang penyepelean ancaman, perlu ditelisik pola komunikasi antara
Kapolres OKU dan para bawahannya selama ini. Kemungkinan kedua, Kapolres
OKU lupa akan informasi yang sudah dia terima. Kelupaan bukan manifestasi
penyepelean, melainkan sebagai akibat tingginya tugas-tugas yang Kapolres
OKU hadapi.
Manakala tugas menjadi begitu kompleks, kognisi individu bereaksi secara
alamiah dengan mengurangi beban kognitif tersebut lewat pembuangan sebagian
informasi/data dari memori. Untuk menakar beban kognitif Kapolres OKU
menjelang hari penyerbuan, dapat diperiksa agenda pekerjaan yang sedang dia
tangani. Jenis dan bobot pekerjaan, tenggat waktu, manajemen penugasan kepada
bawahan, serta kondisi kesehatan dan keadaan domestik Kapolres OKU adalah
beberapa unsur yang dapat memberikan indikasi keletihan kognitif individu
yang bersangkutan.
Kemungkinan berikutnya adalah Kapolres OKU tidak sempat mengerahkan para
personelnya untuk mengambil langkah-langkah pengamanan diri. Dengan kata
lain, Kapolres OKU tidak lupa apalagi menyepelekan potensi ancaman, tapi
semata-mata dia tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengatur strategi
respons. Di sinilah standar penanganan situasi krisis perlu dievaluasi.
Naik ke level Mabes Polri, sudah memadaikah standar prosedur pengamanan
markas dan penanggulangan anarki tersebut— termasuk kapan terakhir kali
standar tersebut direviu dan direvisi. Seandainya tidak ada standar
nasional, seberapa jauh Kapolres OKU berinisiatif mendesain standar
penanganan krisis pada tingkat lokal. Pengecekan terhadap hal-hal tersebut
akan menghasilkan gambaran pemahaman dan derajat kepekaan Kapolres OKU
terkait peta situasi di tempatnya bertugas.
Spekulasi keempat, ini yang terburuk, adalah pupusnya kepedulian sebagai
imbas demoralisasi. Apatisme, termasuk terhadap keselamatan diri sendiri,
bisa muncul akibat terpaan tekanan-tekanan eksternal terhadap lembaga
kepolisian. Ada kemungkinan tidak adanya antisipasi yang dilakukan Kapolres
OKU terhadap serangan oknum-oknum TNI disebabkan oleh faktor majemuk.
Dengan telaah secara cermat, diharapkan ditemukan penjelasan tentang
interaksi antara dimensi individual dan dimensi organisasional. Investigasi
internal yang saya maksudkan tidak sebatas untuk keperluan permintaan
tanggung jawab Kapolres OKU. Lebih luas lagi, temuan yang diperoleh
selanjutnya dimanfaatkan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan Polri
sebagai materi penajaman kurikulum serta oleh divisi sumber daya manusia
untuk tujuan penentuan kriteria kompetensi.
Konkretnya, tim investigasi yang Mabes Polri utus ke OKU sepatutnya tidak
hanya terdiri atas personel Propam. Personel Lemdik, SDM, dan Humas perlu
diikutsertakan. Dengan demikian, meski terkesan lamban, paling tidak Polri
bisa menunjukkan ke publik betapa penanganan internal Polri setelah
peristiwa OKU berlangsung jauh lebih komprehensif dan progresif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar