ERA online yang kerap dikeluhkan keliarannya
sebenarnya juga menebar kebajikan. Banyak orang yang secara anonim, ikhlas,
tidak riya, dan tak ingin dikenal
menebarkan kisah-kisah mulia dan ayat-ayat hikmah ke HP orang lain.
Orang yang kesengsem dengan posting itu biasanya akan menyebarkannya ke HP orang lain lagi, berantai hingga jumlah yang
tak bisa ditentukan.
Kisah seperti itu kadang menjadi rem bagi kita yang suka
memanfaatkan teknologi informasi untuk sekadar bergosip (gibah) guna menyenangkan diri (tapi
menyusahkan orang lain). Saat kasus di Partai Demokrat hangat, HP saya
menerima kisah hikmah anonim berikut.
"Seseorang
menceritakan gosip mengenai tetangganya. Dalam beberapa hari saja, seluruh
lingkungan mengetahui cerita tersebut. Tetangganya yang jadi objek cerita
tentu saja sakit hati. Beberapa hari kemudian, ternyata diketahui gosip
tersebut tidak benar. Dia menyesal bukan kepalang dan datang kepada orang
yang bijaksana untuk mencari cara memperbaiki kesalahannya itu."
"Pergilah
ke pasar, belilah kemoceng,"
kata orang bijak itu. "Kemudian,
dalam perjalanan pulang, cabutlah bulu ayam di kemoceng dan buanglah satu
per satu di sepanjang jalan pulang," lanjut dia. Meski kaget
mendengar saran itu, si penyebar gosip tetap melakukan saran tersebut.
Keesokan harinya orang tersebut melaporkan apa yang sudah
dilakukannya. Orang bijak itu berkata lagi, "Sekarang pergilah dan kumpulkan kembali semua bulu ayam yang
kau buang kemarin dan bawa padaku."
Orang itu pun menyusuri jalan yang sama, tapi angin telah
melemparkan bulu-bulu itu ke segala arah. Setelah mencari selama beberapa
jam, dia kembali hanya dengan tiga potong bulu.
"Lihat,
kan?" kata orang bijak itu. "Sangat mudah melemparkannya, namun
tak mungkin mengumpulkannya kembali. Begitu pula dengan gosip,"
tambah dia. Tak sulit menyebarluaskan gosip, namun sekali gosip terlempar,
tujuh ekor kuda (atau berapa ekor kuda) pun tak dapat menariknya kembali.
Kita mencoba menarik benang merah cerita bijak tentang
gosip itu terhadap apa yang dilakukan KPK saat ini. Sebagai lembaga penegak
hukum spesialis korupsi sejak lahir pada 2003, KPK mengalami sangat banyak
proses pematangan. KPK tetap menjadi tumpuan harapan masyarakat atas
bebalnya lembaga penegak hukum lain ketika menangani korupsi, apalagi
pelakunya jenderal atau politikus.
Kita ingat, ketika KPK menetapkan tersangka dan menangkap
LHI, bos PKS, serentak tersebar kabar melalui berbagai media yang intinya
menuduh KPK telah menjadi alat sebuah konspirasi besar. Untung, akal sehat
banyak orang masih bisa menangkal tuduhan miskin bukti itu. Juga kita
bersyukur karena KPK melalui juru bicaranya dengan tenang, lugas, dan jelas
membantah gosip-gosip tersebut.
Kini, setelah menetapkan AU, ketua partai yang sedang
berkuasa, KPK juga diterpa gosip deras. Direka-rekalah tafsir atas
serangkaian peristiwa yang berawal dari hasil survei terhadap elektabilitas
partai berkuasa yang jeblok. Kemudian, para petinggi partai meminta SBY
sebagai bos utama Partai Demokrat turun tangan. Di tempat suci, SBY
mendoakan partainya, kemudian mengirim serangkaian pesan, salah satunya
kepada KPK, agar status AU diperjelas. Lalu berakhir dengan penetapan AU
sebagai tersangka oleh KPK.
Dari mereka-reka peristiwa, mereka meragukan independensi
KPK -atau kasarnya KPK telah menjadi alat kekuasaan untuk melumpuhkan
lawan-lawan politik. Dan kembali dengan cara-cara yang baik, Jubir KPK
menampik semua tuduhan yang beredar.
Bukan sekali ini KPK diterpa gosip. Kadang gosip yang
santer diembuskan beberapa pihak sempat diterima masyarakat. Dan karena
canggihnya memainkan logika, gosip itu bisa diyakini sebagai sebuah
kebenaran dan akan membangun sebuah persepsi. Ketika persepsi itu salah,
kita akan melihat sebuah masyarakat yang bertindak dengan bekal persepsi
yang salah. Itu berbahaya.
KPK tetap tampak lebih disegani jika dibandingkan dengan
sejawat penegak hukum lain. Terlebih perkara yang ditanganinya selalu
berbukti amat kuat di pengadilan dan mampu menyentuh orang-orang yang dulu
"kebal".
Apakah kita pernah berpikir bahwa ketika LHI, AU, DS, AS,
MN, AM, ZD, FAR, PN, atau siapa pun ditetapkan sebagai tersangka atau
dipenjara, kehidupannya sudah berakhir? Mestinya tidak. Toh, belum ada
pidana mati yang dijatuhkan kepada orang yang terkena kasus korupsi. Ketika
beberapa masa kemudian, saat banyak peristiwa lain sudah menggantikan
pembicaraan atas mereka, mereka seharusnya menjadi manusia baru. Apalagi bila,
siapa tahu, yang masih tersangka bisa divonis bebas. Dengan bekal
introspeksi, mereka telah menjalani sebuah "terapi kehidupan" dan
kembali ke tengah masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar