Ibarat sinetron kejar tayang, cerita
seputar Partai Demokrat terus bergulir memasuki episode demi episode penuh
drama. Penulis pernah gundah saat SBY selaku Ketua Majelis Tinggi Demokrat
dalam salah satu pidatonya menyatakan pengamat, wartawan, masyarakat, media
massa salah duga dengan berbagai manuvernya.
Rapimnas
Demokrat (17/2) pun disulap jadi panggung dramaturgi politik, seolah-olah
konsolidasi Demokrat berjalan mulus. Saat itu, penulis tertantang untuk
mengkritisi konsolidasi semu Demokrat, dengan membuat tulisan yang dimuat
di Koran SINDO, Selasa (19/2) dengan judul “Dramaturgi Konsolidasi”.
Intinya,
penulis mengatakan terlalu dangkal jika mengklaim soliditas internal hanya
dari rapimnas yang seremonial dan formalistis. Waktulah yang akan menguji
konsistensi Demokrat, sekaligus mengonfirmasi benarkah mereka solid atau
hanya bermain peran di panggung depan.
Psywar Anas
Tak butuh waktu
lama untuk sekadar mengetahui ke mana drama beralur logika dangkal tersebut
berlanjut. Kurang dari sepekan seusai rapimnas, perahu Demokrat kian retak.
Anas Urbaningrum selaku nakhoda Demokrat ditetapkan sebagai tersangka oleh
KPK. Namun bukan status hukum Anas yang menjadikan partai biru ini mengharu
biru, melainkan pernyataan Anas dalam pidato pengunduran dirinya selaku
ketua umum Demokrat yang menjadi babak baru perang terbuka Anas vs SBY.
Sejumlah
psychological war atau perang urat saraf yang dilancarkan Anas menjadi
bentuk komunikasi politik menohok dan memalingkan perhatian publik pada
alur yang dikehendaki Anas. Paling tidak, ada empat dinamika psywar yang
Anas konstruksi dan menarik dicermati.
Pertama, Anas
sukses mengartikulasikan teknik card stacking saat pidato pengunduran
dirinya. Dalam konteks komunikasi politik, si aktor memilih dengan teliti
pernyataan untuk membangun suatu kasus. Nalar publik dibawa pada sebuah
konstruksi alur cerita yang sangat logis dan tentunya memiliki efek domino
kuat pada konstelasi berikutnya.
Persis seperti
kartu domino yang didirikan paralel, jatuhnya satu kartu menyebabkan
kejatuhan kartu-kartu lain. Pernyataan yang mewakili teknik ini, misalnya
saat Anas dengan tegas menyebut dirinya sebagai bayi yang dilahirkan tetapi
tidak diharapkan. Anas nampak paham benar, yang disebut koherensi material
dan koherensi struktural dalam alur sebuah narasi.
Kedua, Anas
piawai membangun haltung dan stimmung secara bersamaan dalam
pidato persuasifnya. Haltung
merupakan upaya memengaruhi perilaku, sikap, dan perbuatan orang, sementara
stimmung merupakan moral
penerimaan dan retensi imbauan persuasif. Anas mencoba meyakinkan publik
dengan pernyataan bahwa ini baru halaman pertama. Masih banyak halaman
berikutnya yang akan kita buka dan baca bersama. Ekspresi ini untuk
menggarisbawahi kondisi kekinian Anas; meski dinyatakan sebagai tersangka
tetapi belum menjadi the end of
history bagi Anas.
Ketiga, Anas
juga secara sengaja atau tidak telah menggulirkan Duren Sawit sebagai poros
baru dalam perang opininya terhadap Cikeas. Persis setelah pidato
pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum Demokrat, Anas menjadi news maker paling diburu para
pencari berita.
Setiap hari
siaran live televisi, radio, laporan media cetak dan online terkait
komentar Anas mengalir deras dari Duren Sawit. Berlakulah praktik teori
agenda setting media, seperti digagas oleh Maxwell McComb dan Donal L Shaw
dalam tulisan lawasnya The Agenda
Setting Function of Mass Media (1972), jika media memberi tekanan pada
suatu peristiwa maka media akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya
penting.
Anas secara
leluasa melancarkan perang urat saraf kepada kubu Cikeas dengan membuka
secara perlahan serangannya pada Ibas dalam kasus Hambalang. Tak hanya itu,
Century pun digulirkan sebagai halaman berikutnya yang akan dibuka ke publik.
Memang, pernyataan Anas belum mengarah ke fakta hukum melainkan masih
bahasa politis. Tetapi justru bahasa politis itulah perang urat saraf yang
bisa membuat kubu Cikeas gerah.
Keempat, psywar juga tampak terasa dari
kedatangan para tokoh lintas kekuatan ke rumah Anas. Dalam konteks ini,
Anas secara praktis merealisasikan teknik bandwagon yakni meyakinkan khalayak akan kepopuleran dan daya
tariknya, sehingga banyak orang akan “turut naik” pada gerbong yang sama.
Dalam politik,
berlaku adagium “musuhnya dari
musuhku adalah sahabatku”. Terlepas dari apa pun motif kedatangan para
tokoh nasional itu ke rumah Anas, satu yang pasti secara politis itu
membuat rasa percaya diri Anas kian tinggi untuk berhadap-hadapan dengan
SBY.
Darurat Ketum
Ada tiga kemungkinan
pilihan sikap para pendukung Anas dalam menanggapi pengunduran dirinya.
Pertama, sangat mungkin para loyalis Anas mengundurkan diri dari
kepengurusan maupun keanggotaan Demokrat. Hal ini sudah mulai terjadi
seperti di Cilacap, Sumatera Utara, dan sangat mungkin juga terjadi di
wilayah-wilayah lain jika tak diantisipasi oleh elite Demokrat saat ini.
Kedua, loyalis
Anas mungkin saja melakukan perlawanan dari dalam, yakni dengan tetap
memosisikan diri seolah-olah ikut serta dalam langgam SBY. Secara formal
prosedural, seolah-olah mereka menjadi bagian dari arus utama kubu Cikeas.
Tetapi di
momentum tertentu, yakni seusai mereka lolos dalam screening distribusi dan alokasi sumber daya misalnya dalam
daftar caleg Demokrat, dan punya ruang ekspresi lebih leluasa seusai SBY
turun dari jabatannya sebagai Presiden yang memuncak pada Kongres Demokrat
2015, bisa saja para loyalis Anas “memukul” balik kubu Cikeas. Ketiga,
sangat mungkin juga munculnya kelompok brutus pada lingkaran loyalis Anas.
Artinya, karena
pertimbangan realistis-pragmatis loyalis Anas meninggalkan gerbong dan
beralih ke kubu Cikeas. Kemungkinan-kemungkinan itu, tentu sudah dibaca
oleh SBY dan elite kubu Cikeas lainnya. Sehingga sejak mengeluarkan delapan
poin solusi beberapa waktu lalu, sudah beberapa kali DPD dan DPC
dikumpulkan.
Terakhir, DPD
dan DPC dikumpulkan di Cikeas pada Sabtu (2/3). Tentu, tak ada elite
Demokrat yang eksplisit menyatakan bahwa salah satu agenda yang dibicarakan
terkait dengan kongres luar biasa (KLB) yang saat ini menjadi kebutuhan
mendesak partai. Namun, penulis memprediksi salah satu agenda perbincangan
kumpulnya DPD dan DPC di Cikeas, Sabtu kemarin itu, adalah prakondisi untuk
menyolidkan figur yang nantinya akan didorong dalam KLB.
Dengan demikian,
sangat mungkin mereka menempuh mekanisme bermufakat dulu baru
bermusyawarah. Artinya, figur yang dikehendaki sangat mungkin
disosialisasikan SBY dan dimufakati DPD serta DPC, sehingga agenda KLB
hanya akan jadi panggung dramaturgi politik Demokrat untuk mengesankan
seolah-olah ada mekanisme demokratis yang ditempuh. Itulah salah satu sisi
buruk drama kejar tayang jika dilakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar