Perkembangan politik dinasti atau kekerabatan sudah amat
mengkhawatirkan. Jika tak dicegah, akan mengancam masa depan demokrasi
Indonesia.
Namun, melarang kerabat kepala daerah (istri, anak, orangtua, atau
keponakan) untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah juga bukan pilihan
bijaksana. Selain mencerminkan politik diskriminasi, peraturan itu juga
bisa dibatalkan Mahkamah Konstitusi (Kompas, 6/3).
Untuk menghambat politik dinasti, DPR dan pemerintah yang kini tengah
membahas RUU Pemilihan Kepala Daerah tak perlu memaksakan penggunaan
instrumen hukum (larangan kerabat kepala daerah mencalonkan diri).
Sebaiknya mereka harus memaksimalkan penggunaan instrumen politik melalui
rekayasa sistem pemilu. Di sinilah pemilu serentak bisa jadi solusi untuk
mengatasi politik dinasti.
Secara akademis, pengertian pemilu serentak adalah penggabungan
pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif dalam satu hari H
pemungutan suara. Sesungguhnya konsep pemilu serentak hanya dikenal di
negara-negara penganut sistem pemerintahan presidensial. Sebab, dalam
sistem ini, baik anggota legislatif maupun pejabat eksekutif sama-sama
dipilih melalui pemilu.
Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, di mana pemilu
legislatif dengan sendirinya menghasilkan pejabat eksekutif. Sebab, parpol
atau koalisi parpol yang memenangi pemilu menguasai mayoritas kursi
parlemen sehingga bisa membentuk pemerintahan.
Mengapa pemilu serentak mampu mengatasi politik dinasti? Pertama,
bila pemilu legislatif dan pemilu eksekutif dilaksanakan bersamaan, setiap
orang (termasuk petahana dan kerabatnya) memiliki peluang terbatas untuk
mencalonkan diri. Mereka harus memilih salah satu jabatan yang hendak
digapai: anggota legislatif atau jabatan eksekutif. Baik yang terpilih
maupun yang tidak berada dalam posisi sama dalam kurun lima tahun ke depan.
Bandingkan dengan situasi saat ini. Pada saat pemilu legislatif,
setiap orang memburu kursi DPR, DPD, dan DPRD. Selang satu atau dua tahun
kemudian, mereka yang sudah mendapat kursi parlemen maupun yang gagal
bergerak ke arena eksekutif berebut kursi kepala daerah dalam pilkada. Bagi
pemilik kursi parlemen yang gagal bisa kembali menduduki kursinya;
sedangkan yang berhasil akan meninggalkan kursinya untuk orang lain, yang
bisa jadi adalah kerabatnya.
Kedua, penggabungan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif memaksa
partai-partai politik membangun koalisi sejak dini. Mereka sadar,
keterpilihan calon pejabat eksekutif yang mereka usung akan memengaruhi
keterpilihan calon-calon anggota legislatif. Hal ini mendorong
partai-partai akan membangun koalisi besar sehingga pascapemilu
menghasilkan blocking politic: di
satu pihak, terdapat koalisi besar yang memenangi jabatan eksekutif
sekaligus menguasai kursi parlemen; di pihak lain terdapat koalisi gagal
meraih jabatan eksekutif yang menjadi kelompok minoritas parlemen sehingga
mau tidak mau menjadi oposisi.
Dua Pemilu Serentak
Situasi tersebut memaksa koalisi parpol memilih pasangan calon
pejabat eksekutif yang elektabilitasnya paling tinggi demi merebut jabatan
eksekutif, yang akan mengatrol perolehan kursi legislatif. Koalisi besar
menjadikan jumlah pasangan calon terbatas, yang berarti juga membatasi
gerak politik dinasti.
Lebih penting lagi, jika pemilu dilaksanakan serentak, tampilnya
calon-calon dinasti akan terlihat jelas di mata publik sehingga parpol dan
calon akan tampak buruk di mata masyarakat. Karena hal ini akan berdampak
pada perolehan kursi parpol keterpilihan calon-calon, maka parpol berpikir
seribu kali untuk menampilkan calon-calon dari satu keluarga.
Selanjutnya, ruang politik dinasti akan makin sempit apabila pemilu
serentak dilakukan secara nasional atau per provinsi. Pilkada yang berbeda
waktu menyebabkan kerabat penguasa lokal bisa mencalonkan diri di daerah
mana saja yang sedang menggelar pilkada. Apalagi calon kepala daerah tidak
diharuskan berdomisili di daerah yang bersangkutan.
Penggabungan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif tidak
dilarang konstitusi sehingga bisa saja dirancang pemilu serentak total
nasional, yakni satu hari H pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD,
presiden dan wakil presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Namun, cara ini banyak hambatan teknis karena beban penyelenggara terlalu
besar untuk menyiapkan administrasi pemilu. Selain itu, pemilih menghadapi
banyak kesulitan saat di bilik suara karena harus menghadapi begitu banyak
calon yang harus mereka pilih.
Langkah paling rasional membagi dua pemilu serentak: pemilu nasional
dan pemilu daerah. Pemilu nasional untuk memilih DPR, DPD, serta presiden
dan wakil presiden yang dilaksanakan pada tahun pertama dari siklus lima
tahunan pemilu; sedang pemilu daerah untuk memilih DPRD dan kepala daerah
yang dilaksanakan pada tahun ketiga.
Cara ini juga menjadikan pemilu daerah sebagai pengontrol kinerja
pemerintahan hasil pemilu nasional. Sebab, jika koalisi yang memenangi
pemilu nasional kinerjanya buruk, mereka akan dihukum oleh pemilih pada
pemilu daerah. Dengan demikian, hal ini memaksa koalisi pemenang pemilu
nasional bekerja maksimal agar mereka tetap mendapatkan kepercayaan dalam
pemilu daerah.
Dengan demikian, pemilu serentak dengan format pemilu nasional dan
pemilu daerah akan efektif menghambat pergerakan politik dinasti. Oleh
karena itu, yang harus dilakukan adalah menyiapkan UU pemilu yang mengarah
ke sana. RUU Pilkada yang sedang dibahas saat ini harus memuat
ketentuan-ketentuan yang mengarahkan terselenggaranya pemilu serentak,
dengan membuat peraturan peralihan untuk menjadwal kembali pilkada
serentak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar