Tujuh
Tahun Setelah Arab Spring 2011:
Perubahan
Politik dan Implikasi Geopolitik (2)
Trias Kuncahyono ; Wakil Pemimpin Redaksi Kompas
|
KOMPAS,
29 Maret
2018
Arab Saudi dan Iran, dua
kekuatan besar dan bertetangga di Timur Tengah, sudah lama terlibat dalam
pertarungan untuk memperebutkan supremasi, dominasi pengaruh di Timur Tengah.
Persaingan antara Arab Saudi dan Iran tidak hanya dalam bidang politik dan
dalam memperebutkan pengaruh, tetapi juga berdimensi sektarian.
Arab Saudi memandang
dirinya sebagai kekuatan Muslim Sunni terbesar, sedangkan Iran sebagai
kekuatan Muslim Shiah terbesar. Dimensi sektarian ini telah memberikan andil
besar dalam persaingan kedua negara (House of Lords, The Middle East: Time for New
Realism: 2 Mei 2017).
Persaingan untuk
memperebutkan hegemoni regional antara Arab Saudi dan Iran sebagian
disebabkan oleh persepsi ancaman bersama (saling merasa terancam) karena
konflik politik dan sektarian yang menyebabkan ketidakstabilan Bahrain, Irak,
Yaman, dan Suriah. Ali Anshari, profesor sejarah Iran dari Universitas St
Andrews, menyebut persaingan antara Arab Saudi dan Iran sebagai ”perang
dingin”.
Sementara Neil Crompton,
Direktur Afrika Utara dan Timur Tengah Kantor Kementerian Luar Negeri
Inggris, malah menyebutnya sebagai ”perang panas yang sesungguhnya” karena
selama tiga atau empat tahun terakhir keduanya terlibat dalam konflik di
Yaman dan Suriah.
Kedua negara, menurut
Richard Haass, Presiden Dewan Hubungan Luar Negeri (House of Lords),
melakukan ”perang tidak langsung atau proxy
war” di Yaman, Bahrain, dan Suriah. Yang dikhawatirkan, ”perang
tidak langsung atau proxy
war” itu bisa menjadi perang langsung.
Belakangan ini penyebab
konflik di antara dua negara adalah dukungan Iran terhadap milisi Shiah
(Irak) dan intervensi langsung oleh Garda Revolusi Iran dalam perang di
Suriah dan Irak; hingga dukungan terhadap proksi (proxy) di Suriah (Hezbollah) dan Yaman.
Yang harus dipahami, persaingan geopolitik antara Arab Saudi dan Iran bukan
hal baru. Sebelum tahun 1979, bahkan Iran di bawah Shah Reza Pahlevi
dipandang di dunia Arab sebagai saingan regional. Selain itu, Iran juga
menjalin hubungan dengan AS dan Israel.
Padahal, Riyadh dan
Teheran, dengan dukungan Washington, pada 1960-an pernah berusaha untuk
meningkatkan hubungan mereka. Raja Arab Saudi Faisal dan Shah Reza Pahlevi
dari Iran saling melakukan kunjungan kenegaraan. Pada akhir tahun
1960-an, Shah Reza Pahlevi pernah mendesak Raja Faisal agar memodernisasi
Arab Saudi dalam kerangka nilai-nilai budaya Barat.
”Saudaraku, ayolah
modernisasi Arab Saudi. Bukalah negara Anda. Bangunlah sekolah-sekolah
campuran, laki dan perempuan. Izinkanlah kaum perempuan menggunakan rok mini.
Bukalah diskotek. Jadilah modern. Sebaliknya, bila tidak, saya tidak bisa
menjamin Anda akan tetap berkuasa”.
Raja Faisal menjawab surat
Shah Iran itu dengan mengatakan, ”Yang mulia, Saya mengapresiasi nasihat
Anda. Boleh saya ingatkan bahwa Anda tidak menjadi shah Perancis. Anda tidak
di Elysee. Anda di Iran. Penduduk Anda 90 persen Muslim. Jangan lupa itu”
(Lewis Sanders IV, Deutsche
Welle, 8 November 2017).
Persaingan di antara kedua
negara semakin nyata setelah Presiden AS Richard Nixon memperkenalkan
kebijakan ”pilar ganda” pada tahun 1970-an, yang berarti menawarkan dukungan
material kepada rezim Shah Iran. Sementara pada saat bersamaan terus
mempertahankan ikatan strategis dengan Riyadh.
Situasi berubah secara
fundamental setelah Revolusi Iran 1979, di bawah pimpinan Ayatollah Khomeini,
persaingan Arab Saudi dan Iran diperkuat oleh dimensi ideologik dan bahkan
sektarian: antara kerajaan mayoritas penduduknya Islam Sunni dan republik
Islam yang didominasi Muslim Shiah.
Ketika pecah Perang
Irak-Iran (1980-1988), Arab Saudi bersama AS mendukung Irak di bawah Saddam
Hussein; dan mendesak negara-negara Teluk untuk mendukung Baghdad. Persaingan
dan pertarungan geopolitik dan ideologik untuk memperebutkan kekuasaan dan
pengaruh di Timur Tengah terus berlanjut hingga sekarang dalam berbagai bentuk
dan tingkatan. Bahkan, dapat dikatakan, ketegangan di antara keduanya
sekarang ini mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, sangat
tinggi (Maysam Behravesh, Middle
East Eye, Sabtu, 16 Desember 2017)
Bisa dikatakan, dalam 15
tahun terakhir, perbedaan antara Arab Saudi dan Iran menjadi semakin tajam.
Hal itu terlihat dalam banyak peristiwa dan tempat. Ketika pada tahun 2003
pasukan koalisi pimpinan AS menyingkirkan Saddam Hussein, Arab Sunni menjadi
musuh utama Iran.
Tersingkirnya Saddam segera
disusul masuknya pengaruh militer dari Iran di Irak yang terus berkembang dan
hingga kini makin nyata. Persaingan strategi tersebut semakin lama semakin
panas karena Iran dalam banyak hal memenangi pertarungan regional. Di Suriah,
misalnya, Iran (bersama dengan Rusia) mendukung pemerintahan Presiden Bashar
al-Assad menghadapi kelompok-kelompok oposisi bersenjata dukungan Arab Saudi.
Di Yaman, Arab Saudi juga
berhadapan dengan Iran yang mendukung Houthi dalam perang hampir empat tahun
ini. Sementara itu, di Lebanon, Arab Saudi pernah mencoba untuk menekan PM
Lebanon Saad Hariri dengan tujuan untuk menciptakan instabilitas Lebanon,
tetapi gagal.
Iran memiliki kepentingan
di Lebanon, yakni mendukung Hezbollah. Usaha Arab Saudi untuk memblokade
Qatar—yang mendapat dukungan Iran—juga merupakan ungkapan pertarungannya
dengan Iran.
Akhirnya, Arab Saudi tidak
dapat memenangi persaingannya (pertarungannya) dengan Iran karena sekutu
Barat dan regionalnya yang adikuasa, terutama Israel dan AS, tidak ingin
melakukan pengorbanan besar demi kepentingan strategik jangka panjangnya.
Meskipun demikian, Arab Saudi dan Israel, belakangan ini, menjalin kerja sama
karena kepentingan mereka bertemu: memandang Iran sebagai ancaman dan musuh
mereka.
Pada akhirnya, ketegangan,
persaingan, dan pertarungan antara Arab Saudi dan Iran akan sangat
memengaruhi situasi, perdamaian, dan stabilitas di Timur Tengah. Apalagi
sekarang, setelah tercapainya kesepakatan nuklir antara Iran dan AS serta
negara-negara Barat (2015), Iran yang selama ini terkena sanksi terbuka
kemungkinannya untuk terus mengembangkan diri, dan membuka diri bagi masuknya
investasi, serta berdagang dengan negara-negara lain. Sebab, Israel dan Arab
Saudi adalah dua negara yang menentang kesepakatan nuklir tersebut.
Rusia
dan AS di Timur Tengah
Baik Rusia maupun AS
memiliki kepentingan kuat di Suriah. Kedua negara berusaha menjamin bahwa
Suriah tetap stabil dan bersatu meskipun kedua negara memiliki cara berbeda
untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Moskwa ingin mengalahkan kelompok
garis keras bersenjata terutama ISIS serta kelompok-kelompok anti Bashar
al-Assad sehingga mereka tidak melebar masuk ke wilayah Rusia. Sementara
Washington menyatakan bahwa beberapa kelompok adalah ”moderat” dan karena itu
perlu dukungan.
Rusia sudah lama mendukung
Assad yang dianggap sebagai satu-satunya cara untuk mencegah radikalisasi
Islam di kawasan. Sebaliknya, AS dan negara-negara sekutunya, Barat,
berpendapat bahwa Assad dan ISIS dapat diperangi secara serempak.
Pendek kata, tujuan
pertama AS di Suriah adalah untuk menghabisi ISIS, tujuan kedua mengakhiri
perang saudara (perang sektarian) dan juga perang proksi di Suriah, tujuan
ketiga menyingkirkan Bashar al-Assad, dan keempat mempertahankan keutuhan
Suriah. Selain itu, kepentingan AS di Timur Tengah terutama untuk
mempertahankan stabilitas regional lebih untuk kepentingan keamanan Israel,
mendorong pertumbuhan ekonomi dan mempromosikan demokratisasi.
AS berusaha mencegah
perang di Suriah meluas dan menjadi penyebab utama destabilitasi kawasan.
Karena itu, AS berkepentingan untuk membatasi konflik, termasuk konflik
berdimensi agama—persaingan antara Arab Saudi (Sunni) dan Iran (Shiah) untuk
memperebutkan wilayah pengaruhnya (Yoshiko Herrera, Andrew Kydd, and Fyodor
Lukyanov, U.S. and Russian Interventions in Syria: U.S. Goals and Interests,
https:// daviscenter.fas.harvard.edu
/sites/daviscenter.fas.harvard.edu/files/US_Goals.pdf ).
Sementara itu,
ketertarikan dan kepentingan Rusia di Asia Barat (Timur Tengah) telah ada
sejak zaman kekaisaran. Ketika dunia terbagi menjadi dua—blok komunis dan
kapitalis—hubungan Moskwa dengan Damaskus baik. Rusia berkawan dengan Suriah
di bawah kepemimpinan Hafez al-Assad (ayah Bashar al-Assad), yang meraih
kekuasaan lewat kudeta pada tahun 1970. Rusia saat itu menjadi pemasok utama
senjata pada Suriah dan mempertahankan satu-satunya pangkalan militer di luar
Uni Soviet di kawasan Mediterania, yakni di Tartus dan pangkalan angkatan
udara di Khmeimim, Suriah.
Keterlibatan Rusia di
Suriah pecah (2011) sejak tahun 2015, dengan melindungi penguasa Damaskus,
adalah pertama-tama untuk mempertahankan dan melindungi aset dan
aksesnya—Tartus dan Khmeimim—ke kawasan itu. Sejak terlibat perang, Rusia
menambah pijakannya di Suriah, yakni di Latakia yang digunakan untuk tujuan
penerbangan.
Selain pertimbangan
strategik ini, hubungan Rusia dan Suriah juga penting dalam konteks ekonomi
dan usahanya untuk menghadang kekuatan perlawanan kelompok-kelompok yang oleh
Moskwa disebut sebagai kelompok teroris yang beraliansi atau bekerja sama
dengan ISIS untuk mendukung Chechnya.
Secara ekonomi, Rusia di
Suriah menanamkan investasi di sektor energi, baja, dan penerbangan. Rusia
juga menandatangani sejumlah kontrak untuk konstruksi industri pengolahan
gas, fasilitas irigasi, dan pusat tenaga listrik (Damascus wants Russia to
develop Syrian oil”, RT, November 26, 2015.
https://www.rt.com/business/323568-syria-russia-oil-deposit/). Suriah juga
merupakan pasar senjata yang besar bagi Rusia.
Menurut SIPRI Yearbook
2013, Rusia mengekspor 48 persen senjata ke Suria pada 2006-2010
(Pieter D Wezeman, ”Arms transfers to Syria”, SIPRI Yearbook, 2013,
pg.269.http://www.sipri.org/yearbook/2013/files/sipri-yearbook-2013-chapter-5-section-3,Accessed
on April 5, 2016). Total ekspor senjata dunia Rusia dari 2010 hingga 2014
berjumlah 27 persen (”International arms transfers and arms production”,
SIPRI Yearbook, 2015. http://www.sipri.org/yearbook/2015/10, Accessed on May
14, 2016).
Dalam konflik di Suriah,
Rusia memasok perlengkapan militer, memberikan dukungan logistik (Roland
Oliphant and Louisa Loveluck, ”Vladimir Putin confirms Russian military
involvement in Syria’s civil war,” The
Telegraph, September 4, 2015. http://www. telegraph. co.uk/news/
worldnews/europe/russia/11845635/Vladimir-Putin-confirms-Russian-military-involvement-in-Syrias-civil-war.html,
Accessed on April 6, 2016), serta melatih tentara pemerintah Damaskus, dan
pada pertengahan September 2015, Rusia meningkatkan kerja sama intelijen
dengan Irak dan Iran (Michael R. Gordon, ”Russia Surprises U.S. with
Accord on Battling ISIS”, The
New York Times, September 27, 2015. http://www. nytimes.
com/2015/09/28/world/
middleeast/iraq-agrees-to-share-intelligence-on-isis-with-russia-syria-and-iran.html?_r=0,
Accessed on April 6, 2016) untuk menghadang kelompok-kelompok ekstremis.
Selain dengan Suriah,
dalam konteks mengimbangi dan sekaligus menghadang keterlibatan AS di Timur
Tengah, Rusia juga menjalin kerja sama dengan Turki (satu-satunya negara di
Asia yang menjadi anggota NATO). Turki menandatangani kesepakatan dengan
Rusia untuk membeli sistem rudal antiudara S-400 tercanggih di dunia senilai
2,5 miliar dollar AS.
Sistem rudal S-400
memiliki jarak jangkauan 400 kilometer dan dapat menembak 80 sasaran secara
serentak, dengan menembakkan dua rudal untuk masing-masing target sasaran.
Inilah aliansi pertama antara Rusia dan Turki setelah 55 tahun Turki menjadi
anggota NATO (Indrani Talukdar, Indian
Council of World Affairs, 17 Mei 2016).
Turki yang memiliki
kekuatan militer terbesar kedua di NATO, setelah jet tempur Turki F-16 pada
24 November 2015 menembak jatuh pesawat tempur Rusia, Su-24, di atas Suriah
tahun 2015, justru menjalin hubungan lebih dengan Rusia setelah hubungannya
dengan AS dan negara-negara Barat kurang baik. Hubungan kerja sama inilah
yang, antara lain, membuat Rusia ”diam saja” ketika Turki memerangi kelompok
Kurdi di wilayah perbatasannya dengan Suriah.
Selain
pertimbangan-pertimbangan ekonomi, hal lain yang mendorong terwujudnya kerja
sama antara Rusia dan Turki adalah dinamika politik yang berubah dan energi.
Kedua hal tersebut memberikan dorongan kuat bagi Rusia dan Turki untuk
menjalin kerja sama (Hasan Selim Özertem, ”Turkey and Russia: A Fragile
Friendship”, Turkey
Policy Quarterly, Volume XV, Number 4, 2017).
Selain dengan Turki, Rusia
juga menandatangani kesepakatan serupa dengan Iran. Dengan kesepakatan itu,
Iran mendapatkan sistem rudal S-300 yang kurang canggih dibandingkan S-400.
Meskipun Rusia dan Iran memiliki banyak perbedaan, kedua negara disatukan
oleh kepentingan bersama, yakni mengurangi pengaruh AS dan Barat di Timur
Tengah.
Salah satu bentuk kerja
sama di antara keduanya diwujudkan pada Agustus 2016. Ketika itu, Rusia
mengejutkan dunia dengan menggunakan pangkalan angkatan udara Hamadan di Iran
untuk menggempur sasaran di Suriah. Inilah pertama kalinya sejak Perang Dunia
II sebuah negara asing menggunakan pangkalan militer Iran.
Rusia membutuhkan aliansi
strategis antara Muslim dan ”Romawi”—di mata Putin yang dimaksud sebagai
”Romawi” adalah Russia Ortodoks, Gereja Ortodoks Rusia yang kini memainkan
peran besar di Rusia. Kerja sama ini merupakan perluasan dari aliansi dari
Konstantinopel (sekarang Istanbul) hingga Moskwa dan termasuk Rusia, Iran,
dan Turki.
Aliansi baru ini akan
membantu mencegah jatuhnya Suriah ke tangan sekutu-sekutu AS, termasuk
mencegah didirikannya negara Kurdi. Dalam hal ini, soal negara Kurdi, ada
kesamaan pendapat antara Putin dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Hal
itu dapat dilihat dari kerja sama mereka selama perundingan di Astana dan
penetapan zona deeskalasi keempat di Idlib (Suriah) dekat dengan perbatasan
Turki (Maria al-Makahleh Dubovikova and Shehab Al-Makahleh, Fair Observer, 19
September 2017).
Masa
depan
Melihat perkembangan sejak
Arab Spring hingga kini, bukan tidak mustahil ke depan lima kekuatan (negara)
akan mendominasi percaturan di kawasan Timur Tengah: Mesir, Arab Saudi,
Israel, Turki, dan Iran. Selain kelima besar itu, masih akan kita saksikan
peran dari aktor-aktor non-state dan
aktor global (Ron Tira: 2016). Dari dua kelompok besar itu bisa dikelompokkan
menjadi tiga kelompok besar.
Kelompok
pertama—berdasarkan perimbangan kekuatan militer—adalah Mesir, Israel, Turki,
dan Iran. Meskipun negara-negara itu masing-masing menghadapi tantangan
signifikan, mereka mampu mengatasinya.
Misalnya, Iran tahun 1979
disapu revolusi; Mesir dalam dasawarsa ini dua kali menghadapi pergolakan
politik, tahun 2011 dan 2013; Turki sedang mengalami ”revolusi” lamban
setelah usaha kudeta gagal, yang oleh rezim berkuasa sekarang (Erdogan)
disebut dilakukan oleh kelompok Fethullah Gulen, pada Juli 2016; persoalan
utama yang dihadapi Israel tetap proses perdamaian dengan Palestina meski
diwarnai gejolak-gejolak politik di dalam negeri yang sebenarnya kurang
berarti.
Kelompok kedua adalah
negara-negara monarki, yakni Jordania, Arab Saudi, dan sejumlah negara yang
tergabung dalam Dewan Kerja Sama Teluk (Gulf Cooperation Council/GCC):
Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, dan Uni Emirat Arab. Meskipun negara-negara
tersebut selamat dari sapuan badai Arab Spring, mereka menghadapi persoalan
lain, yakni lemahnya kohesi, identitas nasional yang belum bulat disepakati.
Arab Saudi—meski dapat
dikatakan agak terlambat—kini sedang giat mereformasi politik dan ekonomi.
Meski Arab Saudi dapat dimasukkan dalam kelompok yang akan mendominasi
percaturan di masa depan, bersama empat negara lain (4N+1: Mesir, Israel,
Turki, dan Iran + Arab Saudi), dan juga dapat dipandang sebagai representasi
GCC, apakah ”House of Saud” akan mampu bertahan satu dekade mendatang?
Kelompok ketiga adalah
aktor-aktor lain antara lain aktor non-state dan
juga aktor anti-state.
Sementara itu, peranan perkerabatan lokal dan suku-suku, juga
kelompok-kelompok etnik, tidak bisa diabaikan begitu saja.
Mereka ini antara lain
aktor non-state misalnya
Shiah yang sering kali menjadi bagian dari sistem supranasional yang
dimainkan oleh Iran. Aktor lainnya yang berdasarkan ikatan etnis dan
teritorial misalnya Hamas, aktor global antara lain Al Qaeda, juga ISIS (yang
sekarang sudah tercerai berai, baik di Irak maupun Suriah).
Ada yang mengakui
negara-bangsa, misalnya, Persaudaraan Muslim; yang tidak mengakui
negara-bangsa, misalnya, Hizbut Tahrir dan menegakkan kembali kekhalifahan
Islam (Mohammad Nuruzzaman: 2017). Ini juga dicita-cita oleh ISIS. Juga
aktor non-state yang
digunakan untuk kepentingan politik negara, seperti Hezbollah yang ada
hubungannya dengan kepentingan politik Iran; dengan kata lain Hezbollah
adalah bagian dari permainan politik (political
game).
Selain tiga kelompok
tersebut di atas, hal lain yang akan memengaruhi situasi, terutama menyangkut
keamanan dan perdamaian, adalah hubungan dan persaingan antara Arab Saudi dan
Iran; proses perdamaian Israel-Palestina; perang di Suriah yang belum
menunjukkan tanda-tanda berakhir sekaligus masa depan Suriah akan menjadi
seperti apa.
Yang tidak kalah
pentingnya adalah masa depan Libya dan persoalan Turki dengan Kurdi. Tentu,
situasi di Timur Tengah tidak bisa dilepaskan dari persaingan dan campur
tangan kekuatan luar, seperti AS dan Rusia serta China.
Dengan kata lain, di
masa-masa mendatang, kita masih akan menyaksikan kawasan Timur Tengah yang
tetap panas, tegang, dan menjadi pusaran konflik. Yang dikhawatirkan adalah
dampak dari konflik di Timur Tengah akan meluas ke negara-negara lain di luar
kawasan, termasuk Indonesia, baik karena sentimen ideologis, emosional,
maupun religius, yang sekarang getarannya sama-sama kita rasakan.
Oleh karena itu,
dibutuhkan ketegasan sikap dan tindakan dari pemerintah, juga
organisasi-organisasi masyarakat dan keagamaan yang tetap menjunjung
Pancasila sebagai dasar dan pemersatu negara, untuk tidak hanya membendung
segala akibat langsung dan tidak langsung dari konflik serta kemelut di Timur
Tengah, tetapi juga menyingkirkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar