Minggu, 01 April 2018

Tujuh Tahun Setelah Arab Spring 2011: Perubahan Politik dan Implikasi Geopolitik (2)

Tujuh Tahun Setelah Arab Spring 2011:
Perubahan Politik dan Implikasi Geopolitik (2)
Trias Kuncahyono  ;   Wakil Pemimpin Redaksi Kompas
                                                        KOMPAS, 29 Maret 2018



                                                           
Arab Saudi dan Iran, dua kekuatan besar dan bertetangga di Timur Tengah, sudah lama terlibat dalam pertarungan untuk memperebutkan supremasi, dominasi pengaruh di Timur Tengah. Persaingan antara Arab Saudi dan Iran tidak hanya dalam bidang politik dan dalam memperebutkan pengaruh, tetapi juga berdimensi sektarian.

Arab Saudi memandang dirinya sebagai kekuatan Muslim Sunni terbesar, sedangkan Iran sebagai kekuatan Muslim Shiah terbesar. Dimensi sektarian ini telah memberikan andil besar dalam persaingan kedua negara (House of Lords, The Middle East: Time for New Realism: 2 Mei 2017).

Persaingan untuk memperebutkan hegemoni regional antara Arab Saudi dan Iran sebagian disebabkan oleh persepsi ancaman bersama (saling merasa terancam) karena konflik politik dan sektarian yang menyebabkan ketidakstabilan Bahrain, Irak, Yaman, dan Suriah. Ali Anshari, profesor sejarah Iran dari Universitas St Andrews, menyebut persaingan antara Arab Saudi dan Iran sebagai ”perang dingin”.

Sementara Neil Crompton, Direktur Afrika Utara dan Timur Tengah Kantor Kementerian Luar Negeri Inggris, malah menyebutnya sebagai ”perang panas yang sesungguhnya” karena selama tiga atau empat tahun terakhir keduanya terlibat dalam konflik di Yaman dan Suriah.

Kedua negara, menurut Richard Haass, Presiden Dewan Hubungan Luar Negeri (House of Lords), melakukan ”perang tidak langsung atau proxy war” di Yaman, Bahrain, dan Suriah. Yang dikhawatirkan, ”perang tidak langsung atau proxy war” itu bisa menjadi perang langsung.

Belakangan ini penyebab konflik di antara dua negara adalah dukungan Iran terhadap milisi Shiah (Irak) dan intervensi langsung oleh Garda Revolusi Iran dalam perang di Suriah dan Irak; hingga dukungan terhadap proksi (proxy) di Suriah (Hezbollah) dan Yaman. Yang harus dipahami, persaingan geopolitik antara Arab Saudi dan Iran bukan hal baru. Sebelum tahun 1979, bahkan Iran di bawah Shah Reza Pahlevi dipandang di dunia Arab sebagai saingan regional. Selain itu, Iran juga menjalin hubungan dengan AS dan Israel.

Padahal, Riyadh dan Teheran, dengan dukungan Washington, pada 1960-an pernah berusaha untuk meningkatkan hubungan mereka. Raja Arab Saudi Faisal dan Shah Reza Pahlevi dari Iran saling melakukan kunjungan kenegaraan. Pada akhir tahun 1960-an, Shah Reza Pahlevi pernah mendesak Raja Faisal agar memodernisasi Arab Saudi dalam kerangka nilai-nilai budaya Barat.

”Saudaraku, ayolah modernisasi Arab Saudi. Bukalah negara Anda. Bangunlah sekolah-sekolah campuran, laki dan perempuan. Izinkanlah kaum perempuan menggunakan rok mini. Bukalah diskotek. Jadilah modern. Sebaliknya, bila tidak, saya tidak bisa menjamin Anda akan tetap berkuasa”.

Raja Faisal menjawab surat Shah Iran itu dengan mengatakan, ”Yang mulia, Saya mengapresiasi nasihat Anda. Boleh saya ingatkan bahwa Anda tidak menjadi shah Perancis. Anda tidak di Elysee. Anda di Iran. Penduduk Anda 90 persen Muslim. Jangan lupa itu” (Lewis Sanders IV,  Deutsche Welle, 8 November 2017).

Persaingan di antara kedua negara semakin nyata setelah Presiden AS Richard Nixon memperkenalkan kebijakan ”pilar ganda” pada tahun 1970-an, yang berarti menawarkan dukungan material kepada rezim Shah Iran. Sementara pada saat bersamaan terus mempertahankan ikatan strategis dengan Riyadh.

Situasi berubah secara fundamental setelah Revolusi Iran 1979, di bawah pimpinan Ayatollah Khomeini, persaingan Arab Saudi dan Iran diperkuat oleh dimensi ideologik dan bahkan sektarian: antara kerajaan mayoritas penduduknya Islam Sunni dan republik Islam yang didominasi Muslim Shiah.

Ketika pecah Perang Irak-Iran (1980-1988), Arab Saudi bersama AS mendukung Irak di bawah Saddam Hussein; dan mendesak negara-negara Teluk untuk mendukung Baghdad. Persaingan dan pertarungan geopolitik dan ideologik untuk memperebutkan kekuasaan dan pengaruh di Timur Tengah terus berlanjut hingga sekarang dalam berbagai bentuk dan tingkatan. Bahkan, dapat dikatakan, ketegangan di antara keduanya sekarang ini mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, sangat tinggi (Maysam Behravesh, Middle East Eye, Sabtu, 16 Desember 2017)

Bisa dikatakan, dalam 15 tahun terakhir, perbedaan antara Arab Saudi dan Iran menjadi semakin tajam. Hal itu terlihat dalam banyak peristiwa dan tempat. Ketika pada tahun 2003 pasukan koalisi pimpinan AS menyingkirkan Saddam Hussein, Arab Sunni menjadi musuh utama Iran.
Tersingkirnya Saddam segera disusul masuknya pengaruh militer dari Iran di Irak yang terus berkembang dan hingga kini makin nyata. Persaingan strategi tersebut semakin lama semakin panas karena Iran dalam banyak hal memenangi pertarungan regional. Di Suriah, misalnya, Iran (bersama dengan Rusia) mendukung pemerintahan Presiden Bashar al-Assad menghadapi kelompok-kelompok oposisi bersenjata dukungan Arab Saudi.

Di Yaman, Arab Saudi juga berhadapan dengan Iran yang mendukung Houthi dalam perang hampir empat tahun ini. Sementara itu, di Lebanon, Arab Saudi pernah mencoba untuk menekan PM Lebanon Saad Hariri dengan tujuan untuk menciptakan instabilitas Lebanon, tetapi gagal.
Iran memiliki kepentingan di Lebanon, yakni mendukung Hezbollah. Usaha Arab Saudi untuk memblokade Qatar—yang mendapat dukungan Iran—juga merupakan ungkapan pertarungannya dengan Iran.

Akhirnya, Arab Saudi tidak dapat memenangi persaingannya (pertarungannya) dengan Iran karena sekutu Barat dan regionalnya yang adikuasa, terutama Israel dan AS, tidak ingin melakukan pengorbanan besar demi kepentingan strategik jangka panjangnya. Meskipun demikian, Arab Saudi dan Israel, belakangan ini, menjalin kerja sama karena kepentingan mereka bertemu: memandang Iran sebagai ancaman dan musuh mereka.

Pada akhirnya, ketegangan, persaingan, dan pertarungan antara Arab Saudi dan Iran akan sangat memengaruhi situasi, perdamaian, dan stabilitas di Timur Tengah. Apalagi sekarang, setelah tercapainya kesepakatan nuklir antara Iran dan AS serta negara-negara Barat (2015), Iran yang selama ini terkena sanksi terbuka kemungkinannya untuk terus mengembangkan diri, dan membuka diri bagi masuknya investasi, serta berdagang dengan negara-negara lain. Sebab, Israel dan Arab Saudi adalah dua negara yang menentang kesepakatan nuklir tersebut.

Rusia dan AS di Timur Tengah

Baik Rusia maupun AS memiliki kepentingan kuat di Suriah. Kedua negara berusaha menjamin bahwa Suriah tetap stabil dan bersatu meskipun kedua negara memiliki cara berbeda untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Moskwa ingin mengalahkan kelompok garis keras bersenjata terutama ISIS serta kelompok-kelompok anti Bashar al-Assad sehingga mereka tidak melebar masuk ke wilayah Rusia. Sementara Washington menyatakan bahwa beberapa kelompok adalah ”moderat” dan karena itu perlu dukungan.

Rusia sudah lama mendukung Assad yang dianggap sebagai satu-satunya cara untuk mencegah radikalisasi Islam di kawasan. Sebaliknya, AS dan negara-negara sekutunya, Barat, berpendapat bahwa Assad dan ISIS dapat diperangi secara serempak.

Pendek kata, tujuan pertama AS di Suriah adalah untuk menghabisi ISIS, tujuan kedua mengakhiri perang saudara (perang sektarian) dan juga perang proksi di Suriah, tujuan ketiga menyingkirkan Bashar al-Assad, dan keempat mempertahankan keutuhan Suriah. Selain itu, kepentingan AS di Timur Tengah terutama untuk mempertahankan stabilitas regional lebih untuk kepentingan keamanan Israel, mendorong pertumbuhan ekonomi dan mempromosikan demokratisasi.

AS berusaha mencegah perang di Suriah meluas dan menjadi penyebab utama destabilitasi kawasan. Karena itu, AS berkepentingan untuk membatasi konflik, termasuk konflik berdimensi agama—persaingan antara Arab Saudi (Sunni) dan Iran (Shiah) untuk memperebutkan wilayah pengaruhnya (Yoshiko Herrera, Andrew Kydd, and Fyodor Lukyanov, U.S. and Russian Interventions in Syria: U.S. Goals and Interests, https:// daviscenter.fas.harvard.edu /sites/daviscenter.fas.harvard.edu/files/US_Goals.pdf ).

Sementara itu, ketertarikan dan kepentingan Rusia di Asia Barat (Timur Tengah) telah ada sejak zaman kekaisaran. Ketika dunia terbagi menjadi dua—blok komunis dan kapitalis—hubungan Moskwa dengan Damaskus baik. Rusia berkawan dengan Suriah di bawah kepemimpinan Hafez al-Assad (ayah Bashar al-Assad), yang meraih kekuasaan lewat kudeta pada tahun 1970. Rusia saat itu menjadi pemasok utama senjata pada Suriah dan mempertahankan satu-satunya pangkalan militer di luar Uni Soviet di kawasan Mediterania, yakni di Tartus dan pangkalan angkatan udara di Khmeimim, Suriah.

Keterlibatan Rusia di Suriah pecah (2011) sejak tahun 2015, dengan melindungi penguasa Damaskus, adalah pertama-tama untuk mempertahankan dan melindungi aset dan aksesnya—Tartus dan Khmeimim—ke kawasan itu. Sejak terlibat perang, Rusia menambah pijakannya di Suriah, yakni di Latakia yang digunakan untuk tujuan penerbangan.

Selain pertimbangan strategik ini, hubungan Rusia dan Suriah juga penting dalam konteks ekonomi dan usahanya untuk menghadang kekuatan perlawanan kelompok-kelompok yang oleh Moskwa disebut sebagai kelompok teroris yang beraliansi atau bekerja sama dengan ISIS untuk mendukung Chechnya.

Secara ekonomi, Rusia di Suriah menanamkan investasi di sektor energi, baja, dan penerbangan. Rusia juga menandatangani sejumlah kontrak untuk konstruksi industri pengolahan gas, fasilitas irigasi, dan pusat tenaga listrik (Damascus wants Russia to develop Syrian oil”, RT, November 26, 2015. https://www.rt.com/business/323568-syria-russia-oil-deposit/). Suriah juga merupakan pasar senjata yang besar bagi Rusia.

Menurut SIPRI Yearbook 2013, Rusia mengekspor 48 persen  senjata ke Suria pada 2006-2010 (Pieter D Wezeman, ”Arms transfers to Syria”, SIPRI Yearbook, 2013, pg.269.http://www.sipri.org/yearbook/2013/files/sipri-yearbook-2013-chapter-5-section-3,Accessed on April 5, 2016). Total ekspor senjata dunia Rusia dari 2010 hingga 2014 berjumlah 27 persen (”International arms transfers and arms production”, SIPRI Yearbook, 2015. http://www.sipri.org/yearbook/2015/10, Accessed on May 14, 2016).

Dalam konflik di Suriah, Rusia memasok perlengkapan militer, memberikan dukungan logistik (Roland Oliphant and Louisa Loveluck, ”Vladimir Putin confirms Russian military involvement in Syria’s civil war,” The Telegraph, September 4, 2015. http://www. telegraph. co.uk/news/ worldnews/europe/russia/11845635/Vladimir-Putin-confirms-Russian-military-involvement-in-Syrias-civil-war.html, Accessed on April 6, 2016), serta melatih tentara pemerintah Damaskus, dan pada pertengahan September 2015, Rusia meningkatkan kerja sama intelijen dengan Irak dan  Iran (Michael R. Gordon, ”Russia Surprises U.S. with Accord on Battling ISIS”, The New York Times, September 27, 2015. http://www. nytimes. com/2015/09/28/world/ middleeast/iraq-agrees-to-share-intelligence-on-isis-with-russia-syria-and-iran.html?_r=0, Accessed on April 6, 2016) untuk menghadang kelompok-kelompok ekstremis.

Selain dengan Suriah, dalam konteks mengimbangi dan sekaligus menghadang keterlibatan AS di Timur Tengah, Rusia juga menjalin kerja sama dengan Turki (satu-satunya negara di Asia yang menjadi anggota NATO). Turki menandatangani kesepakatan dengan Rusia untuk membeli sistem rudal antiudara S-400 tercanggih di dunia senilai 2,5 miliar dollar AS.

Sistem rudal S-400 memiliki jarak jangkauan 400 kilometer dan dapat menembak 80 sasaran secara serentak, dengan menembakkan dua rudal untuk masing-masing target sasaran. Inilah aliansi pertama antara Rusia dan Turki setelah 55 tahun Turki menjadi anggota NATO (Indrani Talukdar, Indian Council of World Affairs, 17 Mei 2016).

Turki yang memiliki kekuatan militer terbesar kedua di NATO, setelah jet tempur Turki F-16 pada 24 November 2015 menembak jatuh pesawat tempur Rusia, Su-24, di atas Suriah tahun 2015, justru menjalin hubungan lebih dengan Rusia setelah hubungannya dengan AS dan negara-negara Barat kurang baik. Hubungan kerja sama inilah yang, antara lain, membuat Rusia ”diam saja” ketika Turki memerangi kelompok Kurdi di wilayah perbatasannya dengan Suriah.

Selain pertimbangan-pertimbangan ekonomi, hal lain yang mendorong terwujudnya kerja sama antara Rusia dan Turki adalah dinamika politik yang berubah dan energi. Kedua hal tersebut memberikan dorongan kuat bagi Rusia dan Turki untuk menjalin kerja sama (Hasan Selim Özertem, ”Turkey and Russia: A Fragile Friendship”, Turkey Policy Quarterly, Volume XV, Number 4, 2017).

Selain dengan Turki, Rusia juga menandatangani kesepakatan serupa dengan Iran. Dengan kesepakatan itu, Iran mendapatkan sistem rudal S-300 yang kurang canggih dibandingkan S-400. Meskipun Rusia dan Iran memiliki banyak perbedaan, kedua negara disatukan oleh kepentingan bersama, yakni mengurangi pengaruh AS dan Barat di Timur Tengah.

Salah satu bentuk kerja sama di antara keduanya diwujudkan pada Agustus 2016. Ketika itu, Rusia mengejutkan dunia dengan menggunakan pangkalan angkatan udara Hamadan di Iran untuk menggempur sasaran di Suriah. Inilah pertama kalinya sejak Perang Dunia II sebuah negara asing menggunakan pangkalan militer Iran.

Rusia membutuhkan aliansi strategis antara Muslim dan ”Romawi”—di mata Putin yang dimaksud sebagai ”Romawi” adalah Russia Ortodoks, Gereja Ortodoks Rusia yang kini memainkan peran besar di Rusia. Kerja sama ini merupakan perluasan dari aliansi dari Konstantinopel (sekarang Istanbul) hingga Moskwa dan termasuk Rusia, Iran, dan Turki.

Aliansi baru ini akan membantu mencegah jatuhnya Suriah ke tangan sekutu-sekutu AS, termasuk mencegah didirikannya negara Kurdi. Dalam hal ini, soal negara Kurdi, ada kesamaan pendapat antara Putin dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Hal itu dapat dilihat dari kerja sama mereka selama perundingan di Astana dan penetapan zona deeskalasi keempat di Idlib (Suriah) dekat dengan perbatasan Turki  (Maria al-Makahleh Dubovikova and Shehab Al-Makahleh, Fair Observer, 19  September 2017).

Masa depan

Melihat perkembangan sejak Arab Spring hingga kini, bukan tidak mustahil ke depan lima kekuatan (negara) akan mendominasi percaturan di kawasan Timur Tengah: Mesir, Arab Saudi, Israel, Turki, dan Iran. Selain kelima besar itu, masih akan kita saksikan peran dari aktor-aktor non-state dan aktor global (Ron Tira: 2016). Dari dua kelompok besar itu bisa dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar.

Kelompok pertama—berdasarkan perimbangan kekuatan militer—adalah Mesir, Israel, Turki, dan Iran. Meskipun negara-negara itu masing-masing menghadapi tantangan signifikan, mereka mampu mengatasinya.

Misalnya, Iran tahun 1979 disapu revolusi; Mesir dalam dasawarsa ini dua kali menghadapi pergolakan politik, tahun 2011 dan 2013; Turki sedang mengalami ”revolusi” lamban setelah usaha kudeta gagal, yang oleh rezim berkuasa sekarang (Erdogan) disebut dilakukan oleh kelompok Fethullah Gulen, pada Juli 2016; persoalan utama yang dihadapi Israel tetap proses perdamaian dengan Palestina meski diwarnai gejolak-gejolak politik di dalam negeri yang sebenarnya kurang berarti.

Kelompok kedua adalah negara-negara monarki, yakni Jordania, Arab Saudi, dan sejumlah negara yang tergabung dalam Dewan Kerja Sama Teluk (Gulf Cooperation Council/GCC): Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, dan Uni Emirat Arab. Meskipun negara-negara tersebut selamat dari sapuan badai Arab Spring, mereka menghadapi persoalan lain, yakni lemahnya kohesi, identitas nasional yang belum bulat disepakati.

Arab Saudi—meski dapat dikatakan agak terlambat—kini sedang giat mereformasi politik dan ekonomi. Meski Arab Saudi dapat dimasukkan dalam kelompok yang akan mendominasi percaturan di masa depan, bersama empat negara lain (4N+1: Mesir, Israel, Turki, dan Iran + Arab Saudi), dan juga dapat dipandang sebagai representasi GCC, apakah ”House of Saud” akan mampu bertahan satu dekade mendatang?

Kelompok ketiga adalah aktor-aktor lain antara lain aktor non-state dan juga aktor anti-state. Sementara itu, peranan perkerabatan lokal dan suku-suku, juga kelompok-kelompok etnik, tidak bisa diabaikan begitu saja.
Mereka ini antara lain aktor non-state misalnya Shiah yang sering kali menjadi bagian dari sistem supranasional yang dimainkan oleh Iran. Aktor lainnya yang berdasarkan ikatan etnis dan teritorial misalnya Hamas, aktor global antara lain Al Qaeda, juga ISIS (yang sekarang sudah tercerai berai, baik di Irak maupun Suriah).

Ada yang mengakui negara-bangsa, misalnya, Persaudaraan Muslim; yang tidak mengakui negara-bangsa, misalnya, Hizbut Tahrir dan menegakkan kembali kekhalifahan Islam (Mohammad Nuruzzaman: 2017). Ini juga dicita-cita oleh ISIS. Juga aktor non-state yang digunakan untuk kepentingan politik negara, seperti Hezbollah yang ada hubungannya dengan kepentingan politik Iran; dengan kata lain Hezbollah adalah bagian dari permainan politik (political game).

Selain tiga kelompok tersebut di atas, hal lain yang akan memengaruhi situasi, terutama menyangkut keamanan dan perdamaian, adalah hubungan dan persaingan antara Arab Saudi dan Iran; proses perdamaian Israel-Palestina; perang di Suriah yang belum menunjukkan tanda-tanda berakhir sekaligus masa depan Suriah akan menjadi seperti apa.

Yang tidak kalah pentingnya adalah masa depan Libya dan persoalan Turki dengan Kurdi. Tentu, situasi di Timur Tengah tidak bisa dilepaskan dari persaingan dan campur tangan kekuatan luar, seperti AS dan Rusia serta China.

Dengan kata lain, di masa-masa mendatang, kita masih akan menyaksikan kawasan Timur Tengah yang tetap panas, tegang, dan menjadi pusaran konflik. Yang dikhawatirkan adalah dampak dari konflik di Timur Tengah akan meluas ke negara-negara lain di luar kawasan, termasuk Indonesia, baik karena sentimen ideologis, emosional, maupun religius, yang sekarang getarannya sama-sama kita rasakan.

Oleh karena itu, dibutuhkan ketegasan sikap dan tindakan dari pemerintah, juga organisasi-organisasi masyarakat dan keagamaan yang tetap menjunjung Pancasila sebagai dasar dan pemersatu negara, untuk tidak hanya membendung segala akibat langsung dan tidak langsung dari konflik serta kemelut di Timur Tengah, tetapi juga menyingkirkannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar