Paskah
Momentum Rekonsiliasi
Robertus Rubiyatmoko ; Uskup Agung, Keuskupan Agung Semarang
|
KOMPAS,
31 Maret
2018
Peristiwa Paskah atau kebangkitan
Tuhan Yesus Kristus tidak pernah dapat dipisahkan dari kisah sengsara dan
wafat-Nya di kayu salib di puncak Bukit Golgota. Ketiganya merupakan satu
rangkaian peristiwa yang berkaitan.
Kebangkitan Yesus dari alam maut
adalah buah dari ketaatan kepada kehendak Allah Bapa-Nya untuk menyelamatkan
umat manusia. Karena dosa manusia, relasi Allah dan manusia menjadi rusak.
Hal ini menyeret manusia ke dalam kondisi jauh terpisahkan dari rahmat Allah.
Allah yang tidak menghendaki
kehancuran umat manusia yang sangat dicintai-Nya berinisiatif memulihkan
kembali relasi Allah dan manusia dengan mengutus Yesus, putra tunggal-Nya.
Yesus diutus mendamaikan dan menyatukan kembali Allah dengan manusia.
Begitulah Yesus tampil dan berperan sebagai pendamai dan pemersatu Allah
dengan manusia.
Yang menarik, pendamaian relasi
Allah dengan manusia hanya terjadi dalam dan melalui sengsara serta kematian
Yesus di kayu salib. Untuk mewujudkan misi penyelamatan ini, Yesus harus
mengorbankan diri dengan wafat di kayu salib.
Oleh karena itu, peristiwa
salib—yang tidak lain merupakan kisah sengsara dan kematian Yesus—menjadi
sarana pendamaian atau rekonsiliasi. Melalui wafat Yesus di kayu salib dan
kebangkitan-Nya dari kematian, karya penyelamatan Allah bagi manusia sungguh
terlaksana sehingga umat manusia mengalami kehidupan baru dalam kesatuan
dengan Allah.
Dari peristiwa Yesus ini dapat
disimpulkan bahwa penyaliban dan kematian-Nya di puncak Golgota merupakan
pengorbanan diri untuk menebus dosa-dosa manusia. Dengan penebusan, manusia
yang seharusnya mati karena dosanya justru dibebaskan dan memperoleh hidup
baru. Pengorbanan diri ini disadari Yesus sekaligus sebagai sebuah pilihan
bebas dan sebuah keharusan demi terjadinya pendamaian atau penebusan.
Yesus tahu dan sadar betul bahwa
hanya melalui dan dalam sengsara serta wafat-Nya di kayu Salib, penebusan
atau penyelamatan manusia itu benar-benar menjadi kenyataan.
Dengan demikian, kematianNya di
kayu salib bukanlah peristiwa bunuh diri yang konyol dan sia-sia. Bukan pula
tindakan yang dilakukan karena keterpaksaan tanpa kebebasan; bukan pula
perbuatan tanpa kehendak dan kemauan. Dengan penuh kesungguhan, Yesus sengaja
memilih dan menjalani jalan salib sebagai sarana pendamaian. Ia melakukan
dengan penuh kebebasan sebagai wujud ketaatan-Nya pada kehendak Allah Bapa-Nya.
Pengorbanan diri ini merupakan
jalan yang harus dipilih dengan bebas dan ditempuh dengan sukarela dan
sukacita demi terjadinya rekonsiliasi atau pendamaian antara Allah dan
manusia.
Harus
diperjuangkan
Belajar dari peristiwa Yesus,
nyatalah bahwa rekonsiliasi atau pendamaian tidak dapat diandaikan begitu
saja, tetapi harus diperjuangkan serius melalui pengorbanan diri.
Demikian pula yang dituntut kalau
ingin mengupayakan rekonsiliasi dalam kehidupan bersama. Rekonsiliasi di
antara masyarakat Indonesia hanya akan terjadi kalau setiap warga dengan
sukarela dan tanpa paksaan mengorbankan diri demi kepentingan orang lain dan
demi kebaikan bersama. Bukan sebaliknya, mengorbankan orang lain demi
kepentingan sendiri atau kelompoknya.
Pengorbanan diri akan terjadi
kalau masing-masing tidak lagi memikirkan kepentingan diri, keluarga, atau
kelompoknya, tetapi terlebih mengutamakan kepentingan orang lain dan kebaikan
bersama. Jika setiap anggota masyarakat terbebaskan dari pamrih pribadi atau
kelompok, selalu memikirkan keutuhan bersama, terjadilah rekonsiliasi.
Kita semua melihat bahwa kehidupan
bersama kita telah dilukai oleh banyak peristiwa yang sengaja dimunculkan
untuk memecah dan membelah kebersamaan dan kesatuan. Berbagai tindakan
intoleransi dan terorisme sengaja dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu
untuk menimbulkan ketakutan dan sikap saling curiga antar-anggota masyarakat.
Mereka senang dan bersorak sorai
ketika melihat masyarakat yang semula hidup bersaudara kini bertikai dan
saling serang melalui ujaran kebencian dan tindak kekerasan, termasuk
persekusi dan pembunuhan. Ini makin diperparah dengan berita-berita hoaks
yang menimbulkan kebingungan dan keresahan.
Salah satu kondisi lain yang perlu
disikapi adalah maraknya budaya korupsi, dari level paling rendah sampai
level tertinggi di pemerintahan. Korupsi merupakan tindakan tak bermoral
karena merampas hak masyarakat atas kesejahteraannya.
Akibatnya, kemiskinan terjadi di
mana-mana karena dana untuk kesejahteraan masyarakat tidak sampai ke tujuan.
Sudah semestinya budaya korupsi ini diberantas dan digantikan budaya hidup
jujur dan bersih.
Sudah saatnya semua warga
masyarakat Indonesia menghadapi kondisi ini dengan sikap kritis yang
konstruktif, yakni dengan menolak segala bentuk usaha yang dapat menimbulkan
perpecahan dan permusuhan.
Sikap kritis menjadi semakin
mendesak pada tahun pesta demokrasi 2018-2019. Belajar dari pengalaman, isu
SARA selalu mudah dimanfaatkan untuk memecah belah dan mengintimidasi
masyarakat demi maksud politik tertentu. Untuk itu, sangat dibutuhkan
pendidikan politik yang membantu masyarakat memiliki wawasan kebangsaan yang
luas dan integral.
Dengan demikian, apa pun perbedaan
pilihan politiknya, tidak akan merusak kesatuan. Pada akhirnya masyarakat
juga cerdas dan tepat memilih para pemimpin yang sungguh-sungguh mau dan
mampu menjamin kepentingan rakyat, memperjuangkan kesatuan dalam keragaman,
dan membela Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.
Semoga perayaan Paskah atau
kebangkitan Tuhan Yesus menginspirasi kita semua dalam mengupayakan
terjadinya rekonsiliasi dan pendamaian di Bumi Indonesia. Inilah rumah kita
bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar