China
Dulu ”Dieksploitasi” Barat, Kini ”Menakutkan”
Simon Saragih ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
29 Maret
2018
”Pernah
ada sebuah isi pidato di tahun 2010, Amerika sesungguhnya mengeksploitasi
China. Hal itu didasarkan fakta bahwa ekspor China ke AS hanya memberi
manfaat kecil bagi China. Negara ini hanya merakit komponen dengan hak paten
AS, Jepang, dan Eropa yang juga diproduksi di China. Bagian terbesar
keuntungan ekspor mengalir ke korporasi AS.”
Demikian diungkapkan oleh ekonom
AS, Martin Neil Baily, dari The Brookings Institution, lewat artikelnya
berjudul ”Adjusting to China: A Challenge to the U.S. Manufacturing Sector”
pada 13 Januari 2011.
Baily mengutip survei pada 2009
yang dilakukan Greg Linden, Kenneth Kraemer dan Jason Dedrick dari University
of California. Survei memperlihatkan kasus 2005, satu iPod dijual seharga 299
dollar AS, padahal harga pabrik hanya 144,56 dollar AS.
Dari harga jual ini, sebesar
101,40 dollar AS adalah untuk porsi komponen Jepang, sebesar 14,14 dollar AS
untuk pemasok komponen lainnya, dan hanya 3,86 dollar AS untuk biaya
perakitan di China. Selebihnya, dana mengalir ke Apple (iPod).
Dalam kasus lain, satu notebook
Hewlett-Packard dijual 1.399 dollar AS, tetapi hanya 23,76 dollar AS untuk
China. Produk Apple dan Hewlett Packard yang sangat laku di China dijual
dengan harga lebih kurang serupa. Dengan demikian, pasar China turut memberi
keuntungan besar ke korporasi AS.
China menyaksikan ”ketidakadilan”
dari distribusi keuntungan bisnis. China sadar akan hal ini dan hanya bisa
menerima saja pada awalnya. ”Ketika China memulai reformasi ekonomi, memang
ada banyak hambatan. Warga tidak berpendidikan, minim pengetahuan berbisnis,
dan kemampuan teknologi rendah. Para ahli, teknisi, dan manajer telah
dikucilkan di era Revolusi Kebudayaan. Kini mereka harus dididik kembali,”
demikian Baily.
Investor
seperti raja
Dari banyak kasus terkait itu,
China belajar untuk meraih nilai tambah yang tinggi. Pada dekade 2000-an di
bawah Presiden Hu Jintao bermunculan berbagai permasalahan. Para pejabat
korup, kehidupan buruh migran yang sengsara di tengah pertumbuhan ekonomi
tinggi, polusi lingkungan hidup mengharu biru negara.
Efek menetes ke bawah (trickle down-effect)
tidak terjadi otomatis. Saat bersamaan, pemerintah memperlakukan secara
istimewa para investor asing dengan motto, investor adalah raja. Tidak ada
teriakan asing secara signifikan tentang ini ketika itu, tidak ada. Hanya
kritik besar soal kondisi buruk para buruh, tetapi tidak tentang porsi
keuntungan yang sangat jomplang.
Kapitalisme liberal tidak akan
memiliki nilai kemanusiaan secara alamiah. Ini alasan bagi China untuk tidak
pernah mau meniru pola bisnis serupa itu.
Di era Hu Jintao muncul kesadaran.
China sebagai basis produksi global dengan upah buruh murah sudah tidak
membuat nyaman. Partai Komunis yang melihat kegelisahan rakyatnya. ”Untuk
itu, langkah heroik diperlukan guna mengejar kemampuan manajerial dan
teknologi. China ingin meniru langkah Jepang dan Korea Selatan,” demikian
Baily.
China berniat menjadi basis
produksi dengan kandungan teknologi tinggi untuk meriah nilai tambah yang
tinggi. Sejak 2004 dirangsang pula masuknya warga dunia jago teknologi.
Menurut Bank Pembangunan Asia (ADB), seperti diberitakan Bloomberg pada 8
Desember 2015, China telah melampaui Jepang sebagai pengekspor produk
berteknologi tinggi.
Bukan itu saja, China juga
mendorong masuk investasi asing dan harus bermitra dengan perusahaan lokal
serta asing harus bersedia mentransfer teknologi. ”Hal ini turut memberi
kemampuan manajerial dan teknologi. Ini mempercepat perkembangan
perusahaan-perusahaan China,” lanjut Baily.
Awal
dari masalah
Ketika China berstatus murni
sebagai basis produksi, hampir tidak ada masalah bagi dunia. Tuduhan-tuduhan
tak proporsional bermunculan saat negara ini mulai unjuk gigi soal
peningkatan nilai tambah. Bagian dari produksi mulai dinikmati perusahaan dan
buruh, yang mengalami peningkatan upah.
Mulai muncul tuduhan, China tidak
lagi sekadar merangsang masuk investor, tetapi kemudian menggusurnya. The
Brookings memberi contoh korporasi Jerman. Perusahaan itu dituntut bermitra
dengan perusahaan lokal dan wajib mentransfer teknologi untuk produksi panel
tenaga surya (solar panel). Hal yang terjadi kemudian, perusahaan China
mendalami teknologi pembuatan ”solar panel”, bahkan mengekspor produk itu ke
Jerman.
Demikian juga untuk tenaga
pembangkit listrik. China merangsang masuk Siemens (Jerman) dan Alstom
(Perancis). Dua perusahaan ini harus bermitra dengan perusahaan lokal.
Kemudian mitra China dari dua perusahaan asing itu menguasai teknologi
pembangkit tenaga listrik.
Untuk pembuatan kereta api cepat,
awalnya China juga merangsang masuk investor asing. China kemudian menguasai
teknologi serupa lewat China National Railway Corporation (CNR), yang
menguasai teknologi ini lewat kehadiran Siemens.
Dalam kasus lain, korporasi AS
(Westinghouse Electric) masuk ke China untuk membangun pembangkrit listrik
bertenaga nuklir. Perusahaan ini juga harus memiliki mitra lokal, seperti
diberitakan Forbes, 6 Desember 2017. China kemudian menguasai teknologinya,
bahkan menawarkan jasa pembangkit listrik bertenaga nuklir ke seluruh dunia
dengan biaya lebih rendah.
Menurut Baily, pihak asing enggan
menolak persyaratan karena pasar besar di China yang menggiurkan untuk
keuntungan besar. China melihat pasarnya sebagai kekuatan tawar-menawar.
China melihat pasar domestiknya juga harus dinikmati oleh korporasi China.
Kekuatan pasar China telah dipakai sebagai sarana ”memaksa” transfer
teknologi.
Hal ini menjadi bahan studi pada
2010 oleh James McGregor dari APCO. McGregor mengkritik tajam kebijakan
industri China dengan keharusan transfer teknologi. Isu ini sudah lama
menjadi pembicaraan di AS. Departemen Kehakiman AS menuduh China mencuri
rahasia nuklir Westinghouse Electric.
Berdasarkan survei dari US China
Business Council, kendala terbesar bagi perusahaan multinasional AS di China
adalah persaingan dari perusahaan lokal yang begitu cepat mengejar kemampuan
teknologi. AS juga khawatir akan regulasi dan peraturan pemerintah China soal
keharusan transfer teknologi.
Patrick Chovanec, ahli strategi
dari Silvercrest Asset Management (New York), mengatakan, perusahaan China
dibantu pemerintah. Pada akhir 2000-an muncullah serangan terhadap China
dengan julukan kapitalis negara (state capitalist).
Jack Ma dari Alibaba membela
negaranya dengan mengatakan, ”Berhentilah mengkritik China.” Di negara mana
saja investor asing itu selalu menghadapi masalah besar untuk pendirian
usaha. Jack Ma menambahkan juga, ”Ikuti saja aturan.”
Di Eropa, korporasi China pun
kemudian memiliki rintangan untuk berinvestasi. Korporasi China jarang
berteriak soal ini di permukaan.
Pemerintah
mendorong riset
Seiring dengan berlanjutnya
hiruk-pikuk soal transfer teknologi, pada 2015 Presiden Xi Jinping mendorong
program ”Made in China 2025”. Program ini menjelma menjadi ”invented in
China”. Temuan-temuan teknoloigi baru yang belum pernah ada di dunia
diupayakan agar terjadi di China.
Ini dibuktikan. China, misalnya,
sudah lebih maju dalam teknologi informasi dengan penguasaan teknologi 5G
oleh Huawei. Ini mengagetkan dunia.
Sebelumnya, masalah sudah terjadi
pada Google, yang dulu sempat masuk tetapi kemudian dihambat. Di China
lahirlah Baidu mirip Google. Whatsapp turut merangsang lahirnya WeChat.
Teknologi informasi telah menjadi sarana sehari-hari dalam kehidupan di
China, bukan saja soal mesin pencari, melainkan juga menjadi sarana jual beli
lewat jaringan internet menggunakan aplikasi di telepon seluler.
China tidak berhenti di situ saja.
Negara itu kini sedang merombak The National Development and Reform
Commission (NDRC), yang menjalankan komando pengembangan ekonomi. NDRC
dianggap terlalu kaku, birokratis, dan akan dirombak seperti diberitakan
harian The South China Morning Post, 14 Maret.
Di luar badan ini juga ada badan
lain bernama the Chinese Academy of Sciences (CAS) dan Chinese Academy of
Engineering. Dua lembaga pemikir di negara ini memberikan nasihat kepada pemerintah
tentang sains dan teknologi kunci masa depan (The China Daily, 28 November
2017).
Andre K Geim (peraih Nobel Fisika
2010) dan James Fraser Stoddart (peraih Nobel Kimia 2016) bersama 14 ilmuwan
asing lainnya baru saja terpilih sebagai akademisi di Chinese Academy of
Sciences (CAS). Di CAS ada 77 akademisi baru, yang 61 orang di antaranya asal
China. Kini ada total 800 akademisi China dan 92 akademisi asing di CAS.
Sementara itu, The Chinese Academy
of Engineering juga memiliki Bill Gates, pendiri Microsoft sebagai akademisi.
Spionase
teknologi
Tentu spionase teknologi juga hal
yang terjadi di dunia demi pengembangan teknologi. China tidak luput dari
ini. Pada 26 Maret harian The Asia Times menuliskan berita berjudul ”US trade
report lays bare Chinese government cyber-espionage”. Laporan dari US Trade
Representatives (USTR) ini menuduh China menyasar obyek strategis yang
bertujuan mendukung kebijakan industri nasional. China disebutkan sebagai
negara paling gencar dalam spionase ini.
Meski demikian, seperti disebutkan
suami istri John Naisbitt dan Doris Naisbitt, di China inovasi adalah semacam
darah dalam tubuh. Hal itu tidak saja terjadi dalam bisnis. Dalam kehidupan
di China naluri inovasi juga marak di berbagai aspek, ya pemerintahan, ya di dunia
sosial.
Tidak heran dalam konteks negara,
seperti diberitakan The China Daily pada 17 November 2017, China berkeinginan
menjadi negara terdepan dalam kekuatan angkasa pada 2045. Negara ini juga
disebut sedang memimpin dunia dalam teknologi penginderaan jarak jauh. China
disebutkan telah mencanangkan sebagai negara dengan kekuatan sains dan
teknologi terdepan (China Daily, 22 November 2017).
Letak
ketakutan Trump
Begitu dahsyatnya kemajuan China
soal teknologi. Hingga Bloomberg pada 28 Maret 2018 menyebutkan, di sinilah
letak ketakutan Presiden AS Donald Trump dan para penasihatnya. ”Inilah
permasalahan bahwa jika China mendominasi dunia, itu sesuatu yang buruk bagi
AS,” kata Kepala Perwakilan Dagang AS (USTR) Robert Lighthizer kepada Senat
AS pada Maret 2018.
Dan atas alasan inilah AS
merencanakan pengenaan sanksi pada impor asal China senilai 60 miliar dollar
AS. ”Tujuannya menyasar program ‘Made in China 2025’. Inilah misi utama di
balik tarif impor atas produk dari China,” kata Louis Kuijs, ekonom senior
dari Oxford Economics, yang berbasis di Hongkong.
Trump ingin menekan China dengan
alasan telah mencuri teknologi lewat berbagai modus. ”Ini tentang masa depan
dan dampak dari ambisi China tentang rencananya. Ke depan isu ini akan
meningkatkan friksi yang serius,” kata Kuijs.
Presiden AS Donald Trump tidak
yakin Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) bisa mengatasi pencurian teknologi
yang dituduhkan. ”Kegagalan WTO mengatasi masalah ini telah membuat AS rugi
besar, dan saatnya ini harus diubah,” kata Peter Navarro, penasihat Trump
bidang perdagangan.
Sia-sia saja bagi AS mendikte atau
menekan. AS sendiri lupa memperkuat ekonomi domestiknya. ”Walaupun ada
inovasi di AS, manufakturnya dilakukan di China,” kata Baily. Ini karena
produksi di China memiliki skala ekonomi besar yang menurunkan biaya
produksi. ”Hal ini merupakan kemudahan bagi China untuk mengejar teknologi,”
kata Baily.
Suami istri Naisbitt
menyederhanakan sikap China terhadap setiap tekanan asing (Der Spiegel, 5
Februruai 2010). ”Mereka terbentuk untuk melawan tekanan luar. China sungguh
membenci tekanan asing,” kata John Naisbitt yang dengan istrinya telah lama
menjadi pengajar di China.
Suami istri ini memberi contoh
tekanan AS soal Google lewat Hillary Clinton saat menjabat sebagai Menlu AS
pada 2010. Ini langkah yang sia-sia, percuma, tak akan berhasil.
John menegaskan, tindakan Barat
yang mempermalukan China selama lebih kurang 200 tahun amat membekas pada
benak warga China, yang bangga kepada pemerintahannya. ”Dan mereka mengatakan, kami tidak akan pernah mau lagi
dipermalukan….”
Jika ada agama yang kuat di China,
itu adalah sejarah di mana China merasa sekian tahun dipermalukan. ”Ada orang
berkata, agama China adalah sejarahnya tentang aksi mempermalukan oleh
Barat.”
Maka, solusi terbaik dalam
kolaborasi dengan China adalah persahabatan, perundingan, dan negosiasi, kata
Doris melengkapi keterangan suaminya. Ini hal yang diinginkan China. Trump
dan para penasihatnya harus paham ini.
Hambatan
bisnis
Ekonom AS peraih Hadiah Nobel Ekonomi
2006 Edmund Phelps secara implisit membela inovasi dan teknologi China
seperti dia tuliskan adalam artikelnya di situs Project Syndicate, 5 Maret
2018, berjudul ”Will China Out-Innovate the West?” Seperti di banyak negara
dalam sejarah, ”China juga memiliki keinginan dan kapasitas melakukan
inovasi, tidak sekadar menjiplak teknologi yang sudah ada.”
Phelps melanjutkan, Barat
tampaknya lupa sejarah. Sejak 1930-an, pemerintahan Barat melihat perannya
sebagai pelindung perusahaan dari persaingan jika itu datang dari
perusahaan-perusahaan pendatang baru. Proteksi ini, antara lain dengan
pengenaan hak paten bertahun-tahun lamanya, akan menghambat jiwa
kewirausahaan dengan ide baru dan lebih baik.
Menurut Phelps, sejarah sarat
fakta tentang makna dan nilai persaingan. Ini berguna bagi kemajuan dan
menguntungkan konsumen. ”Ketika PM Inggris Margaret Thatcher pada 1980-an
menghentikan praktik antipersaingan yang diminta Konfederasi Industri
Inggris, justru efeknya adalah peningkatan kemajuan ekonomi Inggris.”
Phelps menyindir AS agar tidak
nyaman dengan status quo, tetapi terus mendalami inovasi.
Tirulah
”Tirai Bambu”
Lepas dari segala tuduhan pada
China, langkah proteksi oleh Trump hanya membiarkan kapitalisme merambah
dunia dengan naluri bisnis yang akan menguntungkan diri sendiri. ”Pembuatan
produksi di AS itu biayanya terlalu mahal,” demikian Baily.
Tentu tidak etis bagi China
sendiri, yang pasarnya kini terbesar kedua di dunia setelah AS, akan
dinikmati kapitalis asing. Sangat wajar bagi China, selain memberikan
kesempatan kepada asing, juga menguasai pasar dalam negeri dengan segala
inovasinya.
Membiarkan teknologi Barat sebagai
acuan untuk setiap pembuatan produksi dengan bayaran royalti ini sama saja
dengan China membiarkan dirinya dieksploitasi. Jangan lupa kasus Apple.
Mungkin dunia akan lebih dinamis
lagi jika negara-negara berkembang mengalami kebangkitan kesadaran seperti
China. Siapa tahu Indonesia juga berani mengembangkan dirinya dengan melepas
dominasi asing pada sektor pertambangannya, sebagai contoh. Apalagi, jika
Indonesia berhasil lebih lanjut dalam tekonologi perkapalan dan penerbangan,
ini akan memberi keuntungan bagi penduduknya.
Ketimbang Indonesia terus-menerus
di bawah pengaruh teknologi asing, bagus juga meniru China yang bangkit dan
bangga akan dirinya. ●
|
Agen Judi Taruhan Online yang menyediakan permainan yang terlengkap hanya di BOLAVITA
BalasHapusAgen BOLAVITA menyediakan permainan Judi Taruhan Online yang sangat lengkap pastinya. Yang dapat Anda mainkan dimana dan kapanpun juga.
Dengan minimal deposit hanya Rp 50.000 saja sudah bisa mainkan permainan yang ada di Agen BOLAVITA
Agen BOLAVITA menyediakan jenis taruhan yang terlengkap dan terbesar yang bisa Anda coba mainkan.
• Bola Tangkas (Tangkasnet, Tangkas88 dan Tangkas1)
• Casino Online (WM Casino, Green Dragon dan SBOBET Casino)
• Sabung Ayam (S128, SV388 dan Kungfu Chicken)
• Taruhan Bola (SBOBET, MAXBET/ICB Bet dan 368 Bet)
• Togel Online (KLIK4D dan ISIN4D)
• Games Virtual / Slot Games (Joker dan Play1628)
Tunggu apalagi? Daftar dan gabung sekarang juga di www.bolavita.ltd
Baca juga =
1. Cara Membuat Akun dan Bermain di Situs S128
2. Promo Promo BOLAVITA
Untuk info selanjutnya, bisa hubungi kami VIA:
BBM : BOLAVITA / D8C363CA
Whatsapp : +62812-2222-995
Livechat 24 Jam