Minggu, 01 April 2018

China Dulu ”Dieksploitasi” Barat, Kini ”Menakutkan”

China Dulu ”Dieksploitasi” Barat, Kini ”Menakutkan”
Simon Saragih  ;   Wartawan Senior Kompas
                                                        KOMPAS, 29 Maret 2018



                                                           
”Pernah ada sebuah isi pidato di tahun 2010, Amerika sesungguhnya mengeksploitasi China. Hal itu didasarkan fakta bahwa ekspor China ke AS hanya memberi manfaat kecil bagi China. Negara ini hanya merakit komponen dengan hak paten AS, Jepang, dan Eropa yang juga diproduksi di China. Bagian terbesar keuntungan ekspor mengalir ke korporasi AS.”

Demikian diungkapkan oleh ekonom AS, Martin Neil Baily, dari The Brookings Institution, lewat artikelnya berjudul ”Adjusting to China: A Challenge to the U.S. Manufacturing Sector” pada 13 Januari 2011.

Baily mengutip survei pada 2009 yang dilakukan Greg Linden, Kenneth Kraemer dan Jason Dedrick dari University of California. Survei memperlihatkan kasus 2005, satu iPod dijual seharga 299 dollar AS, padahal harga pabrik hanya 144,56 dollar AS.

Dari harga jual ini, sebesar 101,40 dollar AS adalah untuk porsi komponen Jepang, sebesar 14,14 dollar AS untuk pemasok komponen lainnya, dan hanya 3,86 dollar AS untuk biaya perakitan di China. Selebihnya, dana mengalir ke Apple (iPod).

Dalam kasus lain, satu notebook Hewlett-Packard dijual 1.399 dollar AS, tetapi hanya 23,76 dollar AS untuk China. Produk Apple dan Hewlett Packard yang sangat laku di China dijual dengan harga lebih kurang serupa. Dengan demikian, pasar China turut memberi keuntungan besar ke korporasi AS.

China menyaksikan ”ketidakadilan” dari distribusi keuntungan bisnis. China sadar akan hal ini dan hanya bisa menerima saja pada awalnya. ”Ketika China memulai reformasi ekonomi, memang ada banyak hambatan. Warga tidak berpendidikan, minim pengetahuan berbisnis, dan kemampuan teknologi rendah. Para ahli, teknisi, dan manajer telah dikucilkan di era Revolusi Kebudayaan. Kini mereka harus dididik kembali,” demikian Baily.

Investor seperti raja

Dari banyak kasus terkait itu, China belajar untuk meraih nilai tambah yang tinggi. Pada dekade 2000-an di bawah Presiden Hu Jintao bermunculan berbagai permasalahan. Para pejabat korup, kehidupan buruh migran yang sengsara di tengah pertumbuhan ekonomi tinggi, polusi lingkungan hidup mengharu biru negara.

Efek menetes ke bawah (trickle down-effect) tidak terjadi otomatis. Saat bersamaan, pemerintah memperlakukan secara istimewa para investor asing dengan motto, investor adalah raja. Tidak ada teriakan asing secara signifikan tentang ini ketika itu, tidak ada. Hanya kritik besar soal kondisi buruk para buruh, tetapi tidak tentang porsi keuntungan yang sangat jomplang.

Kapitalisme liberal tidak akan memiliki nilai kemanusiaan secara alamiah. Ini alasan bagi China untuk tidak pernah mau meniru pola bisnis serupa itu.

Di era Hu Jintao muncul kesadaran. China sebagai basis produksi global dengan upah buruh murah sudah tidak membuat nyaman. Partai Komunis yang melihat kegelisahan rakyatnya. ”Untuk itu, langkah heroik diperlukan guna mengejar kemampuan manajerial dan teknologi. China ingin meniru langkah Jepang dan Korea Selatan,” demikian Baily.

China berniat menjadi basis produksi dengan kandungan teknologi tinggi untuk meriah nilai tambah yang tinggi. Sejak 2004 dirangsang pula masuknya warga dunia jago teknologi. Menurut Bank Pembangunan Asia (ADB), seperti diberitakan Bloomberg pada 8 Desember 2015, China telah melampaui Jepang sebagai pengekspor produk berteknologi tinggi.

Bukan itu saja, China juga mendorong masuk investasi asing dan harus bermitra dengan perusahaan lokal serta asing harus bersedia mentransfer teknologi. ”Hal ini turut memberi kemampuan manajerial dan teknologi. Ini mempercepat perkembangan perusahaan-perusahaan China,” lanjut Baily.

Awal dari masalah

Ketika China berstatus murni sebagai basis produksi, hampir tidak ada masalah bagi dunia. Tuduhan-tuduhan tak proporsional bermunculan saat negara ini mulai unjuk gigi soal peningkatan nilai tambah. Bagian dari produksi mulai dinikmati perusahaan dan buruh, yang mengalami peningkatan upah.

Mulai muncul tuduhan, China tidak lagi sekadar merangsang masuk investor, tetapi kemudian menggusurnya. The Brookings memberi contoh korporasi Jerman. Perusahaan itu dituntut bermitra dengan perusahaan lokal dan wajib mentransfer teknologi untuk produksi panel tenaga surya (solar panel). Hal yang terjadi kemudian, perusahaan China mendalami teknologi pembuatan ”solar panel”, bahkan mengekspor produk itu ke Jerman.

Demikian juga untuk tenaga pembangkit listrik. China merangsang masuk Siemens (Jerman) dan Alstom (Perancis). Dua perusahaan ini harus bermitra dengan perusahaan lokal. Kemudian mitra China dari dua perusahaan asing itu menguasai teknologi pembangkit tenaga listrik.

Untuk pembuatan kereta api cepat, awalnya China juga merangsang masuk investor asing. China kemudian menguasai teknologi serupa lewat China National Railway Corporation (CNR), yang menguasai teknologi ini lewat kehadiran Siemens.

Dalam kasus lain, korporasi AS (Westinghouse Electric) masuk ke China untuk membangun pembangkrit listrik bertenaga nuklir. Perusahaan ini juga harus memiliki mitra lokal, seperti diberitakan Forbes, 6 Desember 2017. China kemudian menguasai teknologinya, bahkan menawarkan jasa pembangkit listrik bertenaga nuklir ke seluruh dunia dengan biaya lebih rendah.

Menurut Baily, pihak asing enggan menolak persyaratan karena pasar besar di China yang menggiurkan untuk keuntungan besar. China melihat pasarnya sebagai kekuatan tawar-menawar. China melihat pasar domestiknya juga harus dinikmati oleh korporasi China. Kekuatan pasar China telah dipakai sebagai sarana ”memaksa” transfer teknologi.

Hal ini menjadi bahan studi pada 2010 oleh James McGregor dari APCO. McGregor mengkritik tajam kebijakan industri China dengan keharusan transfer teknologi. Isu ini sudah lama menjadi pembicaraan di AS. Departemen Kehakiman AS menuduh China mencuri rahasia nuklir Westinghouse Electric.

Berdasarkan survei dari US China Business Council, kendala terbesar bagi perusahaan multinasional AS di China adalah persaingan dari perusahaan lokal yang begitu cepat mengejar kemampuan teknologi. AS juga khawatir akan regulasi dan peraturan pemerintah China soal keharusan transfer teknologi.

Patrick Chovanec, ahli strategi dari Silvercrest Asset Management (New York), mengatakan, perusahaan China dibantu pemerintah. Pada akhir 2000-an muncullah serangan terhadap China dengan julukan kapitalis negara (state capitalist).

Jack Ma dari Alibaba membela negaranya dengan mengatakan, ”Berhentilah mengkritik China.” Di negara mana saja investor asing itu selalu menghadapi masalah besar untuk pendirian usaha. Jack Ma menambahkan juga, ”Ikuti saja aturan.”

Di Eropa, korporasi China pun kemudian memiliki rintangan untuk berinvestasi. Korporasi China jarang berteriak soal ini di permukaan.

Pemerintah mendorong riset

Seiring dengan berlanjutnya hiruk-pikuk soal transfer teknologi, pada 2015 Presiden Xi Jinping mendorong program ”Made in China 2025”. Program ini menjelma menjadi ”invented in China”. Temuan-temuan teknoloigi baru yang belum pernah ada di dunia diupayakan agar terjadi di China.

Ini dibuktikan. China, misalnya, sudah lebih maju dalam teknologi informasi dengan penguasaan teknologi 5G oleh Huawei. Ini mengagetkan dunia.

Sebelumnya, masalah sudah terjadi pada Google, yang dulu sempat masuk tetapi kemudian dihambat. Di China lahirlah Baidu mirip Google. Whatsapp turut merangsang lahirnya WeChat. Teknologi informasi telah menjadi sarana sehari-hari dalam kehidupan di China, bukan saja soal mesin pencari, melainkan juga menjadi sarana jual beli lewat jaringan internet menggunakan aplikasi di telepon seluler.

China tidak berhenti di situ saja. Negara itu kini sedang merombak The National Development and Reform Commission (NDRC), yang menjalankan komando pengembangan ekonomi. NDRC dianggap terlalu kaku, birokratis, dan akan dirombak seperti diberitakan harian The South China Morning Post, 14 Maret.

Di luar badan ini juga ada badan lain bernama the Chinese Academy of Sciences (CAS) dan Chinese Academy of Engineering. Dua lembaga pemikir di negara ini memberikan nasihat kepada pemerintah tentang sains dan teknologi kunci masa depan (The China Daily, 28 November 2017).

Andre K Geim (peraih Nobel Fisika 2010) dan James Fraser Stoddart (peraih Nobel Kimia 2016) bersama 14 ilmuwan asing lainnya baru saja terpilih sebagai akademisi di Chinese Academy of Sciences (CAS). Di CAS ada 77 akademisi baru, yang 61 orang di antaranya asal China. Kini ada total 800 akademisi China dan 92 akademisi asing di CAS.

Sementara itu, The Chinese Academy of Engineering juga memiliki Bill Gates, pendiri Microsoft sebagai akademisi.

Spionase teknologi

Tentu spionase teknologi juga hal yang terjadi di dunia demi pengembangan teknologi. China tidak luput dari ini. Pada 26 Maret harian The Asia Times menuliskan berita berjudul ”US trade report lays bare Chinese government cyber-espionage”. Laporan dari US Trade Representatives (USTR) ini menuduh China menyasar obyek strategis yang bertujuan mendukung kebijakan industri nasional. China disebutkan sebagai negara paling gencar dalam spionase ini.

Meski demikian, seperti disebutkan suami istri John Naisbitt dan Doris Naisbitt, di China inovasi adalah semacam darah dalam tubuh. Hal itu tidak saja terjadi dalam bisnis. Dalam kehidupan di China naluri inovasi juga marak di berbagai aspek, ya pemerintahan, ya di dunia sosial.

Tidak heran dalam konteks negara, seperti diberitakan The China Daily pada 17 November 2017, China berkeinginan menjadi negara terdepan dalam kekuatan angkasa pada 2045. Negara ini juga disebut sedang memimpin dunia dalam teknologi penginderaan jarak jauh. China disebutkan telah mencanangkan sebagai negara dengan kekuatan sains dan teknologi terdepan (China Daily, 22 November 2017).

Letak ketakutan Trump

Begitu dahsyatnya kemajuan China soal teknologi. Hingga Bloomberg pada 28 Maret 2018 menyebutkan, di sinilah letak ketakutan Presiden AS Donald Trump dan para penasihatnya. ”Inilah permasalahan bahwa jika China mendominasi dunia, itu sesuatu yang buruk bagi AS,” kata Kepala Perwakilan Dagang AS (USTR) Robert Lighthizer kepada Senat AS pada Maret 2018.

Dan atas alasan inilah AS merencanakan pengenaan sanksi pada impor asal China senilai 60 miliar dollar AS. ”Tujuannya menyasar program ‘Made in China 2025’. Inilah misi utama di balik tarif impor atas produk dari China,” kata Louis Kuijs, ekonom senior dari Oxford Economics, yang berbasis di Hongkong.

Trump ingin menekan China dengan alasan telah mencuri teknologi lewat berbagai modus. ”Ini tentang masa depan dan dampak dari ambisi China tentang rencananya. Ke depan isu ini akan meningkatkan friksi yang serius,” kata Kuijs.

Presiden AS Donald Trump tidak yakin Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) bisa mengatasi pencurian teknologi yang dituduhkan. ”Kegagalan WTO mengatasi masalah ini telah membuat AS rugi besar, dan saatnya ini harus diubah,” kata Peter Navarro, penasihat Trump bidang perdagangan.

Sia-sia saja bagi AS mendikte atau menekan. AS sendiri lupa memperkuat ekonomi domestiknya. ”Walaupun ada inovasi di AS, manufakturnya dilakukan di China,” kata Baily. Ini karena produksi di China memiliki skala ekonomi besar yang menurunkan biaya produksi. ”Hal ini merupakan kemudahan bagi China untuk mengejar teknologi,” kata Baily.

Suami istri Naisbitt menyederhanakan sikap China terhadap setiap tekanan asing (Der Spiegel, 5 Februruai 2010). ”Mereka terbentuk untuk melawan tekanan luar. China sungguh membenci tekanan asing,” kata John Naisbitt yang dengan istrinya telah lama menjadi pengajar di China.

Suami istri ini memberi contoh tekanan AS soal Google lewat Hillary Clinton saat menjabat sebagai Menlu AS pada 2010. Ini langkah yang sia-sia, percuma, tak akan berhasil.

John menegaskan, tindakan Barat yang mempermalukan China selama lebih kurang 200 tahun amat membekas pada benak warga China, yang bangga kepada pemerintahannya. ”Dan mereka mengatakan, kami tidak akan pernah mau lagi dipermalukan….”

Jika ada agama yang kuat di China, itu adalah sejarah di mana China merasa sekian tahun dipermalukan. ”Ada orang berkata, agama China adalah sejarahnya tentang aksi mempermalukan oleh Barat.”

Maka, solusi terbaik dalam kolaborasi dengan China adalah persahabatan, perundingan, dan negosiasi, kata Doris melengkapi keterangan suaminya. Ini hal yang diinginkan China. Trump dan para penasihatnya harus paham ini.

Hambatan bisnis

Ekonom AS peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2006 Edmund Phelps secara implisit membela inovasi dan teknologi China seperti dia tuliskan adalam artikelnya di situs Project Syndicate, 5 Maret 2018, berjudul ”Will China Out-Innovate the West?” Seperti di banyak negara dalam sejarah, ”China juga memiliki keinginan dan kapasitas melakukan inovasi, tidak sekadar menjiplak teknologi yang sudah ada.”

Phelps melanjutkan, Barat tampaknya lupa sejarah. Sejak 1930-an, pemerintahan Barat melihat perannya sebagai pelindung perusahaan dari persaingan jika itu datang dari perusahaan-perusahaan pendatang baru. Proteksi ini, antara lain dengan pengenaan hak paten bertahun-tahun lamanya, akan menghambat jiwa kewirausahaan dengan ide baru dan lebih baik.

Menurut Phelps, sejarah sarat fakta tentang makna dan nilai persaingan. Ini berguna bagi kemajuan dan menguntungkan konsumen. ”Ketika PM Inggris Margaret Thatcher pada 1980-an menghentikan praktik antipersaingan yang diminta Konfederasi Industri Inggris, justru efeknya adalah peningkatan kemajuan ekonomi Inggris.”

Phelps menyindir AS agar tidak nyaman dengan status quo, tetapi terus mendalami inovasi.

Tirulah ”Tirai Bambu”

Lepas dari segala tuduhan pada China, langkah proteksi oleh Trump hanya membiarkan kapitalisme merambah dunia dengan naluri bisnis yang akan menguntungkan diri sendiri. ”Pembuatan produksi di AS itu biayanya terlalu mahal,” demikian Baily.

Tentu tidak etis bagi China sendiri, yang pasarnya kini terbesar kedua di dunia setelah AS, akan dinikmati kapitalis asing. Sangat wajar bagi China, selain memberikan kesempatan kepada asing, juga menguasai pasar dalam negeri dengan segala inovasinya.

Membiarkan teknologi Barat sebagai acuan untuk setiap pembuatan produksi dengan bayaran royalti ini sama saja dengan China membiarkan dirinya dieksploitasi. Jangan lupa kasus Apple.

Mungkin dunia akan lebih dinamis lagi jika negara-negara berkembang mengalami kebangkitan kesadaran seperti China. Siapa tahu Indonesia juga berani mengembangkan dirinya dengan melepas dominasi asing pada sektor pertambangannya, sebagai contoh. Apalagi, jika Indonesia berhasil lebih lanjut dalam tekonologi perkapalan dan penerbangan, ini akan memberi keuntungan bagi penduduknya.

Ketimbang Indonesia terus-menerus di bawah pengaruh teknologi asing, bagus juga meniru China yang bangkit dan bangga akan dirinya.

1 komentar:

  1. Agen Judi Taruhan Online yang menyediakan permainan yang terlengkap hanya di BOLAVITA

    Agen BOLAVITA menyediakan permainan Judi Taruhan Online yang sangat lengkap pastinya. Yang dapat Anda mainkan dimana dan kapanpun juga.

    Dengan minimal deposit hanya Rp 50.000 saja sudah bisa mainkan permainan yang ada di Agen BOLAVITA

    Agen BOLAVITA menyediakan jenis taruhan yang terlengkap dan terbesar yang bisa Anda coba mainkan.
    • Bola Tangkas (Tangkasnet, Tangkas88 dan Tangkas1)
    • Casino Online (WM Casino, Green Dragon dan SBOBET Casino)
    • Sabung Ayam (S128, SV388 dan Kungfu Chicken)
    • Taruhan Bola (SBOBET, MAXBET/ICB Bet dan 368 Bet)
    • Togel Online (KLIK4D dan ISIN4D)
    • Games Virtual / Slot Games (Joker dan Play1628)

    Tunggu apalagi? Daftar dan gabung sekarang juga di www.bolavita.ltd

    Baca juga =
    1. Cara Membuat Akun dan Bermain di Situs S128
    2. Promo Promo BOLAVITA

    Untuk info selanjutnya, bisa hubungi kami VIA:
    BBM : BOLAVITA / D8C363CA
    Whatsapp : +62812-2222-995
    Livechat 24 Jam

    BalasHapus