Pilkada
2018 sebagai Kunci
Arya Budi ; Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM;
Research Associate Poltracking
Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Maret 2018
PEMILIHAN kepala daerah
(pilkada) yang dilaksanakan serentak pada Juni 2018 pada dasarnya ialah
pilkada serentak ketiga setelah Pilkada serentak 2015 dan terakhir Pilkada
serentak 2017. Artinya, dalam kacamata penyelenggara atau pihak-pihak yang
bertanggung jawab, ada banyak hal yang telah menjadi pembelajaran, evaluasi,
dan perbaikan.
Namun, Pilkada 2018
menjadi salah satu momentum politik elektoral paling krusial dan berbeda dari
dua kali pilkada serentak sebelumnya dimana ada beberapa variabel yang sangat
mungkin tidak ditemukan pada pilkada serentak sebelumnya. Ada dua hal yang
menyebabkan Pilkada 2018 sangat krusial. Pertama, daerah yang
menyelenggarakan; dan kedua, waktu penyelenggaraan.
Daerah
kunci
Pertama, secara kuantitas
daerah yang menyelenggarakan Pilkada serentak 2018 sebenarnya tidak sebanyak
Pilkada serentak 2015, yakni diselenggarakan di lebih dari 250 daerah.
Artinya, titik krusial Pilkada 2018 tidak terletak pada jumlah, tetapi pada
skop daerahnya yang meliputi variabel-variabel penting politik elektoral
seperti populasi pemilih di daerah, posisi politik daerah, dan aktor-aktor
politik yang ikut berpartisipasi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Berbeda dengan dua pilkada
sebelumnya, Pilkada 2018 diikuti oleh 17 provinsi dalam suksesi gubernur-wakil
gubernur. Secara administratif, jumlah ini sudah mencakup separuh jumlah
total provinsi di Indonesia. Namun, secara kualitatif, populasi di 17
provinsi dalam Pilkada 2018 ini sudah jauh lebih dari separuh total pemilih
di Indonesia. Artinya, ada mobilisasi politik besar yang terjadi di
provinsi-provinsi itu dengan jumlah populasi di atas 50% total pemilih atau
kira-kira 100 juta atau lebih pemilih yang tersebur di 17 provinsi.
Apalagi, meskipun satu
provinsi pada Pilkada serentak 2017 lalu menjadi titik konsentrasi perhatian
nasional, pada Pilkada serentak 2018 ini konsentrasi tersebar di banyak
provinsi kunci karena populasi pemilih, posisi politik, dan aktor-aktor
politiknya.
Provinsi-provinsi ini
meliputi 'tiga Jawa' (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur), Sulawesi
Selatan, dan Sumatra Utara. Bahkan adagium 'Jawa ialah kunci' yang beredar
pada politik elektoral Indonesia tahun 1955 masih dipegang oleh elite politik
dan secara elektoral berlaku hingga kini. Hal ini belum termasuk
provinsi-provinsi rentak konflik dan mobilisasi sosial seperti Papua, Maluku,
dan Lampung.
Beberapa provinsi bahkan
mempunyai posisi politik yang penting baik bagi institusi partai dan elite
politik nasional. Jawa Tengah, misalnya, menjadi 'kandang' suara Partai
Banteng alias PDIP, Jawa Timur menjadi 'pondok' berkumpulnya suara Partai
Nahdliyin atau PKB, sementara Sulawesi Selatan menjadi 'tanah subur' suara
Partai Beringin alias Partai Golkar. Jawa Barat, Kalimantan Barat dan Sumatra
Utara provinsi pertaruhan banyak aktor karena proporsi populasi pemilihnya
sangat determinan dalam etape elektoral selanjutnya.
Momentum
kunci
Kedua, momentum waktu
penyelenggaraan Pilkada 2018 tidak terlepas dari kalender elektoral, baik
yang diatur oleh penyelenggara dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum maupun
kalender elektoral yang telah disusun oleh setiap partai politik menuju
pemilu legislatif dan pemilu presiden yang diselenggarakan pada April 2019
tahun depan.
Singkat cerita, tahun 2018
ialah tahun kandidasi, tahun para kandidat yang akan berkontestasi di level
nasional diseleksi dan dinominasikan. Hal ini logis karena pencalonan anggota
legislatif jatuh pada bulan Juli 2018 ini, dan pencalonan pasangan kandidat
capres-cawapres jatuh pada Agustus 2018 ini.
Artinya, Pilkada 2018 yang
jatuh pada Juni 2018 nanti berada tepat sebelum pencalonan anggota legislatif
dan pencalonan capres-cawapres. Dengan kata lain, figur dan elite politik
akan mempertaruhkan kinerjanya pada Pilkada Juni 2018 sebagai salah satu
bargaining tiket calon anggota legislatif. Di sisi lain, gubernur-wakil
gubernur yang terpilih dari hasil Pilkada 2018 akan sangat menentukan peta
koalisi dan peta pencalonan capres-cawapres untuk Pemilu 2019.
Karena kalender Pilkada
2018 yang berimpitan dengan momentum-momentum kunci Pemilu 2019, maka
eskalasi kampanye dan kontestasi politik akan mempunyai efek resonansi pada
tahapan Pemilu 2019 yang paralel. Tidak jauh berbeda dengan resonansi
eskalasi politik Pilkada DKI 2017 yang masih bertahan hingga hampir satu
tahun ini.
Aktor
kunci
Apalagi, peta koalisi
Pemilu 2019 sudah mulai terpetakan dengan potensi besar kembali lahirnya dua
blok politik sebagaimana Pemilu Presiden 2014. Kalaupun bukan dua blok
politik, peta koalisi pencalonan presiden maksimal akan berakhir pada tiga
blok koalisi, tetapi akhirnya tetap akan berakhir pada dua blok koalisi.
Karena sistem pemilihan majority atau two run-off, yakni pasangan
presiden-wakil presiden harus memperoleh suara 50%+1 untuk menang sebagai
pasangan terpilih.
Dua blok koalisi ini pun
tidak jauh berbeda dengan Pemilu Presiden 2015. Sebabnya tiga hal. Pertama,
konstruksi hukum pencalonan presiden; kedua, peta elektoral figur kandidat;
dan ketiga; kontestasi elite partai. Dalam konstruksi hukum pencalonan, UUD
1945 Pasal 6A menegaskan bahwa partai politik ialah satu-satunya institusi
yang dapat mencalonkan presiden dengan ambang batas pencalonan ialah 20%
kursi DPR atau 25% suara partai.
Sementara itu, Mahkamah
Konstitusi pada Januari 2018 ini memperkuat skema regulasi pencalonan ini
dimana perolehan kursi/suara pada pemilu sebelumnya menjadi dasar untuk
memenuhi angka ambang batas tersebut. Singkatnya, hanya 10 partai di DPR saat
inilah yang dapat mencalonakan presiden. Tidak ada satu pun partai bisa
mencalonkan presiden tanpa berkoalisi (bergabung) dengan partai lain meskipun
persentase kursi PDIP (19%) nyaris memenuhi threshold 20% tersebut.
Di sisi lain, peta
elektoral kandidat yang terekam oleh banyak survei termasuk oleh survei
Poltracking sebagaimana dirilis pada akhir tahun 2017 lalu, menunjukkan hanya
ada dua figur kandidat capres yang mempunyai angka tingkat keterpilihan
(elektabilitas) dua digit atau di atas 10%. Dua figur ini ialah presiden
petahana Jokowi dan mantan rivalnya, Prabowo Subianto, meski Prabowo terpaut
di bawah Jokowi sekitar 20% suara dalam survei.
Kandidat di luar dua figur
ini bahkan mempunyai elektabilitas tak lebih dari 5%. Artinya, partai-partai
di DPR saat ini akan sangat berpotensi kembali merapat pada dua figur
kandidat ini, terlepas dengan siapa calon wakil presidennya.
Terakhir, kontestasi
antarelite menunjukkan paling tidak ada tiga blok politik yang terdiri dari:
1) blok pendukung pemerintahan petahana yang dipimpin oleh PDIP dengan figur
kandidat Jokowi, 2) blok penentang pemerintah yang dipimpin oleh 'sekutu'
Gerindra-PKS dengan figur kandidat Prabowo, serta 3) blok tengah yang
dipimpin oleh Demokrat dengan figur kandidat 'Yudhoyono junior' alias Agus
Harimurti Yudhoyono. Tiga blok inilah yang juga akan sangat berkepentingan
pada Pilkada 2018.
Akhir kata, jika Pilkada
2017 terutama pada pilkada DKI Jakarta lalu melibatkan aktor-aktor politik
kunci, Pilkada 2018 ini bukan hanya melibatkan para tokoh kunci, tetapi juga
berada pada momentum dan di daerah-daerah kunci. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar