Minggu, 01 April 2018

Pilkada 2018 sebagai Kunci

Pilkada 2018 sebagai Kunci
Arya Budi  ;   Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM;
Research Associate Poltracking Indonesia
                                              MEDIA INDONESIA, 31 Maret 2018



                                                           
PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) yang dilaksanakan serentak pada Juni 2018 pada dasarnya ialah pilkada serentak ketiga setelah Pilkada serentak 2015 dan terakhir Pilkada serentak 2017. Artinya, dalam kacamata penyelenggara atau pihak-pihak yang bertanggung jawab, ada banyak hal yang telah menjadi pembelajaran, evaluasi, dan perbaikan.

Namun, Pilkada 2018 menjadi salah satu momentum politik elektoral paling krusial dan berbeda dari dua kali pilkada serentak sebelumnya dimana ada beberapa variabel yang sangat mungkin tidak ditemukan pada pilkada serentak sebelumnya. Ada dua hal yang menyebabkan Pilkada 2018 sangat krusial. Pertama, daerah yang menyelenggarakan; dan kedua, waktu penyelenggaraan.

Daerah kunci

Pertama, secara kuantitas daerah yang menyelenggarakan Pilkada serentak 2018 sebenarnya tidak sebanyak Pilkada serentak 2015, yakni diselenggarakan di lebih dari 250 daerah. Artinya, titik krusial Pilkada 2018 tidak terletak pada jumlah, tetapi pada skop daerahnya yang meliputi variabel-variabel penting politik elektoral seperti populasi pemilih di daerah, posisi politik daerah, dan aktor-aktor politik yang ikut berpartisipasi, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Berbeda dengan dua pilkada sebelumnya, Pilkada 2018 diikuti oleh 17 provinsi dalam suksesi gubernur-wakil gubernur. Secara administratif, jumlah ini sudah mencakup separuh jumlah total provinsi di Indonesia. Namun, secara kualitatif, populasi di 17 provinsi dalam Pilkada 2018 ini sudah jauh lebih dari separuh total pemilih di Indonesia. Artinya, ada mobilisasi politik besar yang terjadi di provinsi-provinsi itu dengan jumlah populasi di atas 50% total pemilih atau kira-kira 100 juta atau lebih pemilih yang tersebur di 17 provinsi.

Apalagi, meskipun satu provinsi pada Pilkada serentak 2017 lalu menjadi titik konsentrasi perhatian nasional, pada Pilkada serentak 2018 ini konsentrasi tersebar di banyak provinsi kunci karena populasi pemilih, posisi politik, dan aktor-aktor politiknya.

Provinsi-provinsi ini meliputi 'tiga Jawa' (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur), Sulawesi Selatan, dan Sumatra Utara. Bahkan adagium 'Jawa ialah kunci' yang beredar pada politik elektoral Indonesia tahun 1955 masih dipegang oleh elite politik dan secara elektoral berlaku hingga kini. Hal ini belum termasuk provinsi-provinsi rentak konflik dan mobilisasi sosial seperti Papua, Maluku, dan Lampung.

Beberapa provinsi bahkan mempunyai posisi politik yang penting baik bagi institusi partai dan elite politik nasional. Jawa Tengah, misalnya, menjadi 'kandang' suara Partai Banteng alias PDIP, Jawa Timur menjadi 'pondok' berkumpulnya suara Partai Nahdliyin atau PKB, sementara Sulawesi Selatan menjadi 'tanah subur' suara Partai Beringin alias Partai Golkar. Jawa Barat, Kalimantan Barat dan Sumatra Utara provinsi pertaruhan banyak aktor karena proporsi populasi pemilihnya sangat determinan dalam etape elektoral selanjutnya.

Momentum kunci

Kedua, momentum waktu penyelenggaraan Pilkada 2018 tidak terlepas dari kalender elektoral, baik yang diatur oleh penyelenggara dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum maupun kalender elektoral yang telah disusun oleh setiap partai politik menuju pemilu legislatif dan pemilu presiden yang diselenggarakan pada April 2019 tahun depan.

Singkat cerita, tahun 2018 ialah tahun kandidasi, tahun para kandidat yang akan berkontestasi di level nasional diseleksi dan dinominasikan. Hal ini logis karena pencalonan anggota legislatif jatuh pada bulan Juli 2018 ini, dan pencalonan pasangan kandidat capres-cawapres jatuh pada Agustus 2018 ini.

Artinya, Pilkada 2018 yang jatuh pada Juni 2018 nanti berada tepat sebelum pencalonan anggota legislatif dan pencalonan capres-cawapres. Dengan kata lain, figur dan elite politik akan mempertaruhkan kinerjanya pada Pilkada Juni 2018 sebagai salah satu bargaining tiket calon anggota legislatif. Di sisi lain, gubernur-wakil gubernur yang terpilih dari hasil Pilkada 2018 akan sangat menentukan peta koalisi dan peta pencalonan capres-cawapres untuk Pemilu 2019.

Karena kalender Pilkada 2018 yang berimpitan dengan momentum-momentum kunci Pemilu 2019, maka eskalasi kampanye dan kontestasi politik akan mempunyai efek resonansi pada tahapan Pemilu 2019 yang paralel. Tidak jauh berbeda dengan resonansi eskalasi politik Pilkada DKI 2017 yang masih bertahan hingga hampir satu tahun ini.

Aktor kunci

Apalagi, peta koalisi Pemilu 2019 sudah mulai terpetakan dengan potensi besar kembali lahirnya dua blok politik sebagaimana Pemilu Presiden 2014. Kalaupun bukan dua blok politik, peta koalisi pencalonan presiden maksimal akan berakhir pada tiga blok koalisi, tetapi akhirnya tetap akan berakhir pada dua blok koalisi. Karena sistem pemilihan majority atau two run-off, yakni pasangan presiden-wakil presiden harus memperoleh suara 50%+1 untuk menang sebagai pasangan terpilih.

Dua blok koalisi ini pun tidak jauh berbeda dengan Pemilu Presiden 2015. Sebabnya tiga hal. Pertama, konstruksi hukum pencalonan presiden; kedua, peta elektoral figur kandidat; dan ketiga; kontestasi elite partai. Dalam konstruksi hukum pencalonan, UUD 1945 Pasal 6A menegaskan bahwa partai politik ialah satu-satunya institusi yang dapat mencalonkan presiden dengan ambang batas pencalonan ialah 20% kursi DPR atau 25% suara partai.

Sementara itu, Mahkamah Konstitusi pada Januari 2018 ini memperkuat skema regulasi pencalonan ini dimana perolehan kursi/suara pada pemilu sebelumnya menjadi dasar untuk memenuhi angka ambang batas tersebut. Singkatnya, hanya 10 partai di DPR saat inilah yang dapat mencalonakan presiden. Tidak ada satu pun partai bisa mencalonkan presiden tanpa berkoalisi (bergabung) dengan partai lain meskipun persentase kursi PDIP (19%) nyaris memenuhi threshold 20% tersebut.

Di sisi lain, peta elektoral kandidat yang terekam oleh banyak survei termasuk oleh survei Poltracking sebagaimana dirilis pada akhir tahun 2017 lalu, menunjukkan hanya ada dua figur kandidat capres yang mempunyai angka tingkat keterpilihan (elektabilitas) dua digit atau di atas 10%. Dua figur ini ialah presiden petahana Jokowi dan mantan rivalnya, Prabowo Subianto, meski Prabowo terpaut di bawah Jokowi sekitar 20% suara dalam survei.

Kandidat di luar dua figur ini bahkan mempunyai elektabilitas tak lebih dari 5%. Artinya, partai-partai di DPR saat ini akan sangat berpotensi kembali merapat pada dua figur kandidat ini, terlepas dengan siapa calon wakil presidennya.

Terakhir, kontestasi antarelite menunjukkan paling tidak ada tiga blok politik yang terdiri dari: 1) blok pendukung pemerintahan petahana yang dipimpin oleh PDIP dengan figur kandidat Jokowi, 2) blok penentang pemerintah yang dipimpin oleh 'sekutu' Gerindra-PKS dengan figur kandidat Prabowo, serta 3) blok tengah yang dipimpin oleh Demokrat dengan figur kandidat 'Yudhoyono junior' alias Agus Harimurti Yudhoyono. Tiga blok inilah yang juga akan sangat berkepentingan pada Pilkada 2018.

Akhir kata, jika Pilkada 2017 terutama pada pilkada DKI Jakarta lalu melibatkan aktor-aktor politik kunci, Pilkada 2018 ini bukan hanya melibatkan para tokoh kunci, tetapi juga berada pada momentum dan di daerah-daerah kunci. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar