Minggu, 01 April 2018

Paskah Momentum Rekonsiliasi

Paskah Momentum Rekonsiliasi
Robertus Rubiyatmoko  ;   Uskup Agung, Keuskupan Agung Semarang
                                                        KOMPAS, 31 Maret 2018



                                                           
Peristiwa Paskah atau kebangkitan Tuhan Yesus Kristus tidak pernah dapat dipisahkan dari kisah sengsara dan wafat-Nya di kayu salib di puncak Bukit Golgota. Ketiganya merupakan satu rangkaian peristiwa yang berkaitan.

Kebangkitan Yesus dari alam maut adalah buah dari ketaatan kepada kehendak Allah Bapa-Nya untuk menyelamatkan umat manusia. Karena dosa manusia, relasi Allah dan manusia menjadi rusak. Hal ini menyeret manusia ke dalam kondisi jauh terpisahkan dari rahmat Allah.

Allah yang tidak menghendaki kehancuran umat manusia yang sangat dicintai-Nya berinisiatif memulihkan kembali relasi Allah dan manusia dengan mengutus Yesus, putra tunggal-Nya. Yesus diutus mendamaikan dan menyatukan kembali Allah dengan manusia. Begitulah Yesus tampil dan berperan sebagai pendamai dan pemersatu Allah dengan manusia. 

Yang menarik, pendamaian relasi Allah dengan manusia hanya terjadi dalam dan melalui sengsara serta kematian Yesus di kayu salib. Untuk mewujudkan misi penyelamatan ini, Yesus harus mengorbankan diri dengan wafat di kayu salib.

Oleh karena itu, peristiwa salib—yang tidak lain merupakan kisah sengsara dan kematian Yesus—menjadi sarana pendamaian atau rekonsiliasi. Melalui wafat Yesus di kayu salib dan kebangkitan-Nya dari kematian, karya penyelamatan Allah bagi manusia sungguh terlaksana sehingga umat manusia mengalami kehidupan baru dalam kesatuan dengan Allah.

Dari peristiwa Yesus ini dapat disimpulkan bahwa penyaliban dan kematian-Nya di puncak Golgota merupakan pengorbanan diri untuk menebus dosa-dosa manusia. Dengan penebusan, manusia yang seharusnya mati karena dosanya justru dibebaskan dan memperoleh hidup baru. Pengorbanan diri ini disadari Yesus sekaligus sebagai sebuah pilihan bebas dan sebuah keharusan demi terjadinya pendamaian atau penebusan.

Yesus tahu dan sadar betul bahwa hanya melalui dan dalam sengsara serta wafat-Nya di kayu Salib, penebusan atau penyelamatan manusia itu benar-benar menjadi kenyataan.

Dengan demikian, kematianNya di kayu salib bukanlah peristiwa bunuh diri yang konyol dan sia-sia. Bukan pula tindakan yang dilakukan karena keterpaksaan tanpa kebebasan; bukan pula perbuatan tanpa kehendak dan kemauan. Dengan penuh kesungguhan, Yesus sengaja memilih dan menjalani jalan salib sebagai sarana pendamaian. Ia melakukan dengan penuh kebebasan sebagai wujud ketaatan-Nya pada kehendak Allah Bapa-Nya.

Pengorbanan diri ini merupakan jalan yang harus dipilih dengan bebas dan ditempuh dengan sukarela dan sukacita demi terjadinya rekonsiliasi atau pendamaian antara Allah dan manusia.

Harus diperjuangkan

Belajar dari peristiwa Yesus, nyatalah bahwa rekonsiliasi atau pendamaian tidak dapat diandaikan begitu saja, tetapi harus diperjuangkan serius melalui pengorbanan diri.

Demikian pula yang dituntut kalau ingin mengupayakan rekonsiliasi dalam kehidupan bersama. Rekonsiliasi di antara masyarakat Indonesia hanya akan terjadi kalau setiap warga dengan sukarela dan tanpa paksaan mengorbankan diri demi kepentingan orang lain dan demi kebaikan bersama. Bukan sebaliknya, mengorbankan orang lain demi kepentingan sendiri atau kelompoknya.

Pengorbanan diri akan terjadi kalau masing-masing tidak lagi memikirkan kepentingan diri, keluarga, atau kelompoknya, tetapi terlebih mengutamakan kepentingan orang lain dan kebaikan bersama. Jika setiap anggota masyarakat terbebaskan dari pamrih pribadi atau kelompok, selalu memikirkan keutuhan bersama, terjadilah rekonsiliasi.

Kita semua melihat bahwa kehidupan bersama kita telah dilukai oleh banyak peristiwa yang sengaja dimunculkan untuk memecah dan membelah kebersamaan dan kesatuan. Berbagai tindakan intoleransi dan terorisme sengaja dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk menimbulkan ketakutan dan sikap saling curiga antar-anggota masyarakat.

Mereka senang dan bersorak sorai ketika melihat masyarakat yang semula hidup bersaudara kini bertikai dan saling serang melalui ujaran kebencian dan tindak kekerasan, termasuk persekusi dan pembunuhan. Ini makin diperparah dengan berita-berita hoaks yang menimbulkan kebingungan dan keresahan.

Salah satu kondisi lain yang perlu disikapi adalah maraknya budaya korupsi, dari level paling rendah sampai level tertinggi di pemerintahan. Korupsi merupakan tindakan tak bermoral karena merampas hak masyarakat atas kesejahteraannya.

Akibatnya, kemiskinan terjadi di mana-mana karena dana untuk kesejahteraan masyarakat tidak sampai ke tujuan. Sudah semestinya budaya korupsi ini diberantas dan digantikan budaya hidup jujur dan bersih.

Sudah saatnya semua warga masyarakat Indonesia menghadapi kondisi ini dengan sikap kritis yang konstruktif, yakni dengan menolak segala bentuk usaha yang dapat menimbulkan perpecahan dan permusuhan.

Sikap kritis menjadi semakin mendesak pada tahun pesta demokrasi 2018-2019. Belajar dari pengalaman, isu SARA selalu mudah dimanfaatkan untuk memecah belah dan mengintimidasi masyarakat demi maksud politik tertentu. Untuk itu, sangat dibutuhkan pendidikan politik yang membantu masyarakat memiliki wawasan kebangsaan yang luas dan integral.

Dengan demikian, apa pun perbedaan pilihan politiknya, tidak akan merusak kesatuan. Pada akhirnya masyarakat juga cerdas dan tepat memilih para pemimpin yang sungguh-sungguh mau dan mampu menjamin kepentingan rakyat, memperjuangkan kesatuan dalam keragaman, dan membela Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Semoga perayaan Paskah atau kebangkitan Tuhan Yesus menginspirasi kita semua dalam mengupayakan terjadinya rekonsiliasi dan pendamaian di Bumi Indonesia. Inilah rumah kita bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar