Kamis, 01 Februari 2018

Menyoal Pengangkatan Jenderal Polisi (Aktif) Jadi Plt Kepala Daerah

Menyoal Pengangkatan Jenderal Polisi (Aktif)
Jadi Plt Kepala Daerah
Zainudin Paru ;  Advokat; Ketua Departemen Hukum & HAM DPP PKS
                                                   DETIKNEWS, 31 Januari 2018



                                                           
Kita semua dikagetkan dengan berita dari Kadispenum Polri Martinus Sitompul, bahwa dua Jenderal Polisi (aktif) mendapat kepercayaan sebagai Plt Kepala Daerah menjelang Pilkada 2018.

Pernyataan Martinus itu kemudian dibenarkan oleh Mendagri Cahyo Kumolo, yang menegaskan bahwa untuk jadi Plt Kepala Daerah dalam kaitan dengan perhelatan Pilkada tidak harus dari Kemendagri. Tapi boleh juga dari institusi lain, seperti dari Menkopolhukam, Menhan, Polri, dll.

Kita tentu tidak bisa mengintervensi kewenangan Kemendagri Cahyo Kumolo menempatkan pejabat dari institusi mana pun untuk menjadi Plt Kepala Daerah di beberapa daerah.

Namun, mengikutsertakan Jenderal Polisi (aktif) jadi Plt Kepala Daerah patut kita pertanyakan maksud di balik kebijakan ini. Apalagi penempatan Jenderal Polisi (aktif) itu, sebut saja dua Jenderal Polisi M. Iriawan sebagai Plt Gubernur Jabar, dan Jenderal Polisi Martuani sebagai Plt. Gubernur Sumut.

Keduanya adalah Jenderal Polisi (aktif) di Mabes Polri. Irjen Pol. Iriawan saat ini menjabat sebagai Asisten Operasi Kapolri, dan mantan Kapolda Jawa Barat (6 Desember 2013-5 Juni 2015). Sedangkan Irjen Pol. Martuani Sormin, M.Si saat ini menjabat sebagai Kadivpropam menggantikan pejabat sebelumnya Irjen Pol. Idham Aziz.

Publik tentu patut mempertanyakan kebijakan Menteri Cahyo Kumolo. Apakah kedua Jenderal Polisi ini menjalan tugas bhayangkara sebagai pengayom masyarakat? Atau tidak lebih dari tugas pemenangan Pilkada untuk partai tertentu dan kandidat tertentu? Atau, lebih jauh lagi upaya mengamankan pemenangan untuk dua calon Gubernur di dua daerah sebagai penyanggah kemenangan Pileg dan Pilpres 2019.

Publik masih ingat bagaimana peran seorang Jenderal Polisi (aktif) dalam Pilpres 2014. Ikut sebagai Timses Capres Jokowi yang tertangkap media sedang bersama seorang anggota DPR pendukung Jokowi (ketika itu) dan seorang (oknum) Komisioner KPU. Hingga saat ini masalah tersebut tidak pernah ditindaklanjuti secara hukum (pidana pemilu), dan jenderal itu kini menjadi orang nomor satu di salah satu lembaga penting Republik Indonesia.

Padahal Polri oleh Undang-undang diperintahkan untuk netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis, sebagaimana dimaksud Pasal 28 Ayat (2) UU No.2 Tahun 2002 Tentang Polri. Kalaupun terjun dalam praktis juga juga diperkenankan dengan sarat sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Ayat (3), yaitu harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Mengapa kita persoalkan penempatan dua Jenderal Polisi (aaktif) itu sebagai Plt Gubernur di Jawa Barat & Sumatera Utara? Pertama, kita menginginkan institusi Polri tetap sebagai penegak hukum dan pengayom masyarakat yang adil dan tidak memihak (imparsial). Kedua, jangan sampai institusi Polri tidak lagi dipercaya oleh masyarakat pencari keadilan di negeri ini. Karena dianggap sebagai bagian dari kekuatan politik partai tertentu atau setidak-setidaknya sedang menjalankan tugas mengamankan dua daerah untuk menang Pilkada 2018 sebagai modal Pileg dan Pilpres 2019.

Ketiga, ini yang menurut saya jauh lebih penting untuk diperhatikan. Di mana Polisi di daerah adalah Gakumdu yang bersama-sama Panwaslu bertugas sebagai wasit dan pengadil pelanggaran (pidana) pemilu sebelum kasus pelanggaran pemilu direkomendasikan diteruskan ke pengadilan atau tidak.

Apalagi salah satu calon di Jawa Barat adalah juga seorang Jenderal Polisi (aktif) dan berasal dari partainya Mendagri. Demikian juga Cagub/Cawagub di Sumatera Utara, Djarot Syaiful Hidayat adalah mantan Cawagub DKI, yang publik masih ingat betapa kerasnya pertarungan di Pilkada DKI.

Demi tertibnya hukum dan upaya menjaga marwah institusi Polri sebagai Bhayangkara yang bertugas menegakkan hukum dan mengayomi seluruh warga negara. Pun agar tidak tergadaikan oleh kepentingan politik partai tertentu dan penguasa negeri yang tentunya berdampak luas bagi: rasa aman, adil, dan diperlakukan secara sama bagi semua warga negara, kandidat calon kepala daerah dan partai politik. Oleh karena itu, sepatutnya kebijakan tersebut direvisi.

Jika kebijakan dibiarkan tetap berjalan, maka hal ini dapat kita pastikan sebagai alarm bagi penegakan hukum dan maldemokrasi yang serius di Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar