Menyoal
Pengangkatan Jenderal Polisi (Aktif)
Jadi
Plt Kepala Daerah
Zainudin Paru ; Advokat; Ketua Departemen Hukum & HAM DPP
PKS
|
DETIKNEWS,
31 Januari
2018
Kita semua dikagetkan dengan berita dari
Kadispenum Polri Martinus Sitompul, bahwa dua Jenderal Polisi (aktif)
mendapat kepercayaan sebagai Plt Kepala Daerah menjelang Pilkada 2018.
Pernyataan Martinus itu kemudian dibenarkan
oleh Mendagri Cahyo Kumolo, yang menegaskan bahwa untuk jadi Plt Kepala
Daerah dalam kaitan dengan perhelatan Pilkada tidak harus dari Kemendagri.
Tapi boleh juga dari institusi lain, seperti dari Menkopolhukam, Menhan,
Polri, dll.
Kita tentu tidak bisa mengintervensi
kewenangan Kemendagri Cahyo Kumolo menempatkan pejabat dari institusi mana
pun untuk menjadi Plt Kepala Daerah di beberapa daerah.
Namun, mengikutsertakan Jenderal Polisi
(aktif) jadi Plt Kepala Daerah patut kita pertanyakan maksud di balik
kebijakan ini. Apalagi penempatan Jenderal Polisi (aktif) itu, sebut saja dua
Jenderal Polisi M. Iriawan sebagai Plt Gubernur Jabar, dan Jenderal Polisi
Martuani sebagai Plt. Gubernur Sumut.
Keduanya adalah Jenderal Polisi (aktif) di
Mabes Polri. Irjen Pol. Iriawan saat ini menjabat sebagai Asisten Operasi
Kapolri, dan mantan Kapolda Jawa Barat (6 Desember 2013-5 Juni 2015).
Sedangkan Irjen Pol. Martuani Sormin, M.Si saat ini menjabat sebagai
Kadivpropam menggantikan pejabat sebelumnya Irjen Pol. Idham Aziz.
Publik tentu patut mempertanyakan kebijakan
Menteri Cahyo Kumolo. Apakah kedua Jenderal Polisi ini menjalan tugas
bhayangkara sebagai pengayom masyarakat? Atau tidak lebih dari tugas
pemenangan Pilkada untuk partai tertentu dan kandidat tertentu? Atau, lebih
jauh lagi upaya mengamankan pemenangan untuk dua calon Gubernur di dua daerah
sebagai penyanggah kemenangan Pileg dan Pilpres 2019.
Publik masih ingat bagaimana peran seorang
Jenderal Polisi (aktif) dalam Pilpres 2014. Ikut sebagai Timses Capres Jokowi
yang tertangkap media sedang bersama seorang anggota DPR pendukung Jokowi
(ketika itu) dan seorang (oknum) Komisioner KPU. Hingga saat ini masalah
tersebut tidak pernah ditindaklanjuti secara hukum (pidana pemilu), dan
jenderal itu kini menjadi orang nomor satu di salah satu lembaga penting
Republik Indonesia.
Padahal Polri oleh Undang-undang
diperintahkan untuk netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri
dalam kegiatan politik praktis, sebagaimana dimaksud Pasal 28 Ayat (2) UU
No.2 Tahun 2002 Tentang Polri. Kalaupun terjun dalam praktis juga juga
diperkenankan dengan sarat sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Ayat (3), yaitu
harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Mengapa kita persoalkan penempatan dua
Jenderal Polisi (aaktif) itu sebagai Plt Gubernur di Jawa Barat & Sumatera
Utara? Pertama, kita menginginkan institusi Polri tetap sebagai penegak hukum
dan pengayom masyarakat yang adil dan tidak memihak (imparsial). Kedua,
jangan sampai institusi Polri tidak lagi dipercaya oleh masyarakat pencari
keadilan di negeri ini. Karena dianggap sebagai bagian dari kekuatan politik
partai tertentu atau setidak-setidaknya sedang menjalankan tugas mengamankan
dua daerah untuk menang Pilkada 2018 sebagai modal Pileg dan Pilpres 2019.
Ketiga, ini yang menurut saya jauh lebih
penting untuk diperhatikan. Di mana Polisi di daerah adalah Gakumdu yang
bersama-sama Panwaslu bertugas sebagai wasit dan pengadil pelanggaran
(pidana) pemilu sebelum kasus pelanggaran pemilu direkomendasikan diteruskan
ke pengadilan atau tidak.
Apalagi salah satu calon di Jawa Barat
adalah juga seorang Jenderal Polisi (aktif) dan berasal dari partainya
Mendagri. Demikian juga Cagub/Cawagub di Sumatera Utara, Djarot Syaiful
Hidayat adalah mantan Cawagub DKI, yang publik masih ingat betapa kerasnya
pertarungan di Pilkada DKI.
Demi tertibnya hukum dan upaya menjaga
marwah institusi Polri sebagai Bhayangkara yang bertugas menegakkan hukum dan
mengayomi seluruh warga negara. Pun agar tidak tergadaikan oleh kepentingan
politik partai tertentu dan penguasa negeri yang tentunya berdampak luas
bagi: rasa aman, adil, dan diperlakukan secara sama bagi semua warga negara,
kandidat calon kepala daerah dan partai politik. Oleh karena itu, sepatutnya
kebijakan tersebut direvisi.
Jika kebijakan dibiarkan tetap berjalan,
maka hal ini dapat kita pastikan sebagai alarm bagi penegakan hukum dan
maldemokrasi yang serius di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar