Penanda
Visual Peserta Pemilu
Sumbo Tinarbuko ; Pemerhati Budaya Visual;
Dosen Komunikasi Visual FSR ISI
Yogyakarta
|
KOMPAS,
20 Februari
2018
Minggu, 18 Februari 2018,
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia mengumumkan peserta Pemilu 2019.
Sebanyak 14 partai politik yang lolos verifikasi KPU mendapat kesempatan
mengambil nomor undian. Hal itu wajib dilaksanakan secara resmi demi
menentukan nomor urut yang sah sebagai penanda visual peserta Pemilu 2019.
Hasilnya, penanda visual
nomor urut 1, 2, dan 3 dimiliki Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), serta Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P). Berikutnya, Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan
Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda) memperoleh nomor urut 4, 5 serta
6.
Sementara nomor urut 7, 8,
dan 9 jatuh ke pangkuan Partai Berkarya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
serta Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Berikutnya, Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Amanat Nasional
(PAN) berhak mengantongi nomor urut 10, 11, dan 12. Terakhir, Partai Hati
Nurani Rakyat (Hanura) serta Partai Demokrat masing-masing mendapatkan jatah
nomor urut 13 dan 14.
Penanda
baru
Pengumuman resmi nomor
urut peserta Pemilu 2019, yang direpresentasikan dalam wujud nomor urut 1
hingga 14, akan mendekonstruksi keberadaan logo dan nama parpol. Suka tidak
suka, paparan nomor urut tersebut secara komunikasi visual menjadi penanda
baru dalam perhelatan Pemilu 2019.
Bahkan, nantinya nomor
urut tersebut diposisikan menjadi pengganti logo dan nama partai politik
(parpol) peserta Pemilu 2019. Pada titik ini terjadi proses repositioning
serta rebranding atas logo dan nama partai politik. Mereka segera bersalin
wajah menyusun penanda baru agar menyerupai nomor urut peserta pemilu.
Harus diakui, sebuah logo
dan nama parpol menjadi penanda visual yang sangat penting dalam perhelatan
pemilu. Kenapa demikian, karena logo menjadi batang tubuh sebuah identitas
visual parpol. Bagi parpol, logo dilahirkan sebagai identitas plus jati diri
yang kuat dan utuh. Kehadirannya sebagai penanda visual wajib memiliki ciri
khas tersendiri. Perwujudan karakter logo tersebut akan menjadi pembeda
visual antara parpol yang satu dan partai politik lainnya.
Pendekonstruksian logo dan
nama parpol menjadi nomor urut peserta Pemilu 2019 sudah dilakukan. Mereka bergerak
menjalankan proses repositioning serta rebranding atas logo dan nama parpol
dengan kepastian tujuan akhir. Titik pemberhentian yang dibidik bagaimana
caranya agar nomor urut milik mereka segera menancap di dalam benak calon pemilih.
Atas nama proses
repositioning serta rebranding dilakukan rekayasa desain komunikasi visual
atas nomor urut jatahnya. Mereka tidak segan merangkul semiotika angka
sebagai sebuah pendekatan tafsir tanda visual yang dianggap mampu
menghadirkan makna ideologis. Mereka membangun jembatan mitos atas kuasa
angka agar memunculkan makna keberuntungan.
Mereka juga menghadirkan
jalinan ilmu ”cocoklogi” untuk memunculkan semangat diferensiasi. Hal itu
dikerjakan demi tampilnya kesaktian sang angka yang bersemayam dalam nomor
urut peserta pemilu.
Semua kedigdayaan ilmu
”cocoklogi”, mitos dan semiotika tersebut dimanfaatkan kehebatannya. Strategi
ini dilakukan demi menggiring calon pemilih agar fokus pada tampilan visual
bentuk, warna, dan desain nomor urut peserta pemilu.
Merek
politik
Atas tampilan visual
desain nomor urut peserta pemilu tidak saja mendekonstruksi logo dan nama
parpol. Tetapi, lebih jauh lagi, penampakan visual desain nomor urut peserta
pemilu bermetamorfosis menjadi merek
politik. Sebagai sebuah merek politik, parpol harus memiliki pembeda yang
signifikan.
Perbedaan merek politik
yang dihadirkan parpol nomor urut 1 hingga 14 seyogianya diikuti dengan tingginya kualitas performa
dari ke-14 parpol tersebut. Hal itu
dapat dilihat dari tampilan fisik: cara berbicara berikut nada bicaranya,
gestur tubuh dan cara berpakaian.
Dapat juga disimak dari
isi teks dan paparan visi-misi para utusan parpol. Terpenting, perlu diteliti
rekam jejak prestasi dan karya nyata mereka di lingkungan masyarakat
luas.
Merek politik yang melekat
dalam tubuh parpol sejatinya representasi
jaminan kualitas seorang negarawan.
Merek politik parpol memberikan garansi kualitas atas prestasi dan
kepribadiannya sebagai makhluk sosial maupun insan individu dari parpol
peserta pemilu.
Diferensiasi sebagai unsur
pembeda antara merek politik parpol peserta pemilu, oleh calon pemilih, akan
menjadi sumber referensi. Ujungnya membawa mereka menuju ketetapan hati untuk
mencoblos kandidat wakil rakyat dan
calon presiden dalam Pemilu 2019.
Kehilangan
peran
Masalahnya kemudian,
mengapa nomor urut peserta pemilu dengan serta-merta menjadi logo partai
politik peserta Pemilu 2019? Perkara
tersebut dapat dengan cepat dijelaskan.
Secara teoretis, fungsi
logo diposisikan sebagai identitas atau jati diri parpol. Akan tetapi,
realitas sosialnya oleh KPU dibuat sistem yang demokratis dengan kesepakatan politis melalui undian
pengambilan nomor urut peserta pemilu.
Selain itu, realitas
visual mencatat upaya dekonstruksi fungsi logo parpol dilakukan karena—secara umum—logo parpol peserta
pemilu sulit untuk diingat dan kurang menarik. Maka, pelarian paling netral
adalah dengan mengedepankan nomor urut, mengingat kehadirannya secara visual lebih solid dan komunikatif.
Tampilan visual desain nomor urut mudah diingat sebagai simbol penghubung
imajiner menuju logo dan nama parpol.
Atas fenomena tersebut
muncul kabar duka. Ketika kuasa angka diyakini menjadi panglima penanda
visual nomor urut parpol peserta pemilu, pada titik inilah desain logo dan
nama partai politik kehilangan perannya sebagai merek politik. Keperkasaannya layu melemah menuju satu titik nadir yang
tidak dapat diselamatkan nasib baiknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar