Merancang
Hukum Penghinaan
Margarito Kamis ; Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas
Khairun Ternate
|
KORAN
SINDO, 20 Februari 2018
DPR baru saja mengesahkan
perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
(UU MD3). Namun, perubahan ini menyisakan soal. Secepat kilat, soal itu
menjadi panorama sosio-politico legal bermakna jamak. Polemik atas perubahan
UU tersebut muncul akibat ada keraguan terhadap pembentuknya. Masalah tabiat
politik, kompetensi teknis, kompetensi kognitif interes pembentuknya menjadi
kata yang berserakan di mana-mana setiap kali soal ini diperbincangkan.
Polemik itu tampak
beralasan karena sebelumnya panorama sosio-politico legal telah lebih dulu
tersentak dengan gagasan penghinaan terhadap presiden. Gagasan ini termuat
dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Walau diperlukan,
rumus tentang penghinaan yang sedang dirancang itu mengandung bahaya.
Kata-katanya tak memiliki batas, tak bertepi, dan amat jauh dari kelayakan
teknis hukum. Pemaknaan epistemologis dan ontologis atas konsep presiden yang
dirangkai dengan kata penghinaan menjadi menghina presiden, terlepas dari kata
presiden ditulis dengan huruf kapital atau biasa, juga tetap bermasalah.
Beradab
Menghiasi panorama
sosio-politico legal dengan ragam kalimat, betapa hukum memiliki dimensi
filosofis, yuridis, dan politis, tanpa memperlihatkan abstraksi filosofis atas
konsep-konsep di dalamnya, tak bermakna apa pun, selain sekadar
menyatakannya. Ini laksana butiran hujan membasahi pasir. Dimensi itu,
terutama filosofis dan sosiologis, mengharuskan pembentuk hukum
menenggelamkan diri ke dalam khasanah asal-usul, pertumbuhan, dan penerimaan
sukarela atas hal yang diatur itu, sebagai hal logis secara alamiah, bukan
artifisial.
Manusia secara alamiah
terkodratkan sebagai makhluk mulia, sama dan sederajat sebagai ciptaan Allah
Subhanahu Wata’ala, harus diterima apa adanya. Titik. Kategori-kategori
manusia sebagaimana dipraktikkan Romawi kuno dikenal dengan patriarch dan
plebs atau di Prancis sebelum revolusi berdarahnya 1789, bangsawan, pemuka agama, dan orang
kebanyakan, three general estate, menurut Andrew Hussey, dalam kenyataannya
memuakkan. Muak karena konsep-konsep itu membelakangi, mengingkari,
mencampakkan esensi kodrati manusia.
Pesona kemuliaan dan
kesamaan derajat secara alamiah itu demikian menawan. Pesona itu
meluluhlantakkan eksistensi kekaisaran, kerajaan, dan akhirnya menghasilkan
republik. Raja berganti raja dan kaisar berganti kaisar yang menahbiskan
sendiri diri mereka sebagai orang istimewa di antara orang kebanyakan, yang
satu dan lainnya dalam masyarakat itu tidak setara, akhirnya tenggelam.
Republik pun muncul dan
mekar sebagai sebuah konsep pemerintahan. Setelah mengubur premis
ketidaksamaan derajat, menggantikannya dengan kesamaan derajat, republik kala
itu meniscayakan pemimpin, konsul tidak lagi istimewa, tidak lagi berada di
atas hukum, dan harus dipilih. Masa jabatannya, dalam istilah
konstitusionalisme modern, kala itu juga dibatasi. Keistimewaan kaisar dan
raja pun akhirnya sirna bersamaan dengan kenaikan sinar kesamaan derajat ke
langit republik.
Louise XVI di Prancis yang
menitahkan dirinya adalah negara, sekaligus sebagai wakil Tuhan di muka bumi,
setelah jauh sebelumnya konsep republik menggema dan memukau kaum plebs di
Romawi kuno, terbukti tak lebih tangguh dari debu. Usaha itu patah, hancur,
menghilang di Prancis setelah perlawanan berdarah, revolusi kaum ketiga
–rakyat jelata- di Prancis 1789, yang mengimpikan republik. Roberspier,
pemimpin kasta ketiga sesudah revolusi itu, yang mengonsolidasi tatanan
kesetaraan, dengan membunuh ribuan orang, berakhir malang dan menyedihkan.
Republik menyinari
nalarnya dengan hanya manusia, bukan lembaga hasil kreasi manusia, yang
memiliki kemuliaan. Manusialah yang mulia secara kodrati. Kemuliaan kodrati
itulah dasar keadilan republik. Hanya manusialah yang memiliki atribut rasa,
moral, harga diri, dan lainnya sebagai sesuatu yang immanent, dalam kadar
kodrat sebagai manusia.
Di titik inilah gagasan
penghinaan yang hendak diatur dalam KUHP baru menemukan nalar filosofisnya.
Hinaan jelas memukul esensi kodrati manusia. Tak boleh ditoleransi. Mengaturnya
dalam hukum karena hukum dalam
sifatnya sedari mula didedikasikan kepada manusia untuk memastikan kodratnya
sebagai manusia terjaga tak bisa tak melarang penghinaan. Hukum karena itu
pula sama sekali tidak bisa dirancang
berdasarkan gagasan utilitarian Jeremy Bentham. Ini lantaran kegunaan dalam
gagasan Jeremy Bentham menyemburkan nalar penyingkiran; menyingkirkan satu
kelompok demi menghidupi kelompok lain. Itu tak beradab.
Harus
Jelas
Raja, konsul, begitu
sejarahnya, sama dengan kaisar, senatum, perdana menteri, juga presiden tak
memiliki sifat kodrati. Semuanya adalah hasil kreasi manusia. Khusus konsep
presiden sebagai jabatan, setidaknya sebagai institusi, bukan sebagai orang,
terlihat pada gagasan sejumlah peserta pembahasan konstitusi Amerika, yang
dikutip Carol Berkin. Mereka antara lain William Pierce, James Wilson, dan
Edmund Randolph. William Pierce dari Connecticut misalnya menyatakan,
executive was “nothing more than an institution for carrying the will of the legislature in to effect.”
Presiden jelas adalah nama
jabatan, nama lembaga, bukan orang, apalagi nama orang. Jabatan dan lembaga
apa pun namanya tak punya rasa, moralitas, dan harga diri. Semua atribut
terakhir ini milik manusia, pemangku jabatan itu, yang pada waktunya akan
berlalu meninggalkan jabatan itu. Di titik inilah terlihat kerancuan nalar
rancangan pasal “penghinaan presiden” dan “dewan.” Nalar rancangan ini adalah
personalisasi jabatan dengan pemangku jabatan, orang. Memersonalisasi jabatan
dengan pemangku jabatan sungguh terlalu dekat dengan tabiat feodalisme abad
kegelapan.
Mempertahankan makna
literal “penghinaan” dalam rancangan KUHP sekarang sama dengan memberi
senjata terkokang kepada pemangku jabatan atau fungsionaris lembaga menembak
sesuka-sukanya siapa pun yang membicarakan, mendiskusikan inkompetensi
lembaga itu. Perkaranya bukan tak bisa melarang dan memidana orang
“menghina”, tetapi “apa itu penghinaan.” Memastikan ketepatan makna
“penghinaan” adalah hal imperatif yang dinantikan, sangat, oleh ilmu perancang
undang-undang.
Ketepatan makna literal
bernilai sebagai “depersonalisasi norma.” Depersonalisasi norma dalam ilmu
hukum merupakan cara objektifikasi norma; semua orang memiliki patokan yang
sama dalam mengenali, mendefinisikan dan menafsir norma itu. Praktis
objektifikasi norma berfungsi sebagai benteng tafsir sewenang-wenang, sesuai
selera. Ini imperatif sifatnya.
Cara itu membantu
kebebasan berbicara berada dalam track peradaban. Sejenak saja sekalipun,
kebebasan berbicara tak terlintas dalam jagat republik sebagai moralitas yang
membenarkan penghinaan kepada sesama umat manusia. Tidak. Republik dan
demokrasi berkilau karena kehebatannya menempatkan harkat dan martabat
manusia di jantungnya. Menghina orang dalam republik sama nilainya dengan merendahkan
dirinya sendiri, melumpuhkan demokrasi, sekaligus menghadirkan moralitas
anarki. Ini busuk sebusuk hukum digunakan sesuai selera.
John Peter Zenger,
penerbit surat kabar New York pada 1734, mencetak artikel yang mengecam
sangat keras pemerintah kerajaan dikoloni, Amerika, dibawa ke pengadilan. Di
pengadilan, dengan enteng, tulis John W John, Zenger membela diri. Zenger di
pengadilan itu mengatakan ia punya hak menerbitkan kritik terhadap pejabat
publik, bahkan kritik yang dianggap pejabat tersebut sebagai cemoohan,
sepanjang kritik itu benar. Argumen ini diterima juri, dan Zenger dibebaskan.
Sesudah merdeka, James Thomson Callender, seorang wartawan dituduh melanggar
Sedition Act 1789. Callender menyebarkan pamflet yang berisi tulisan John
Adams sebagai pria tua bangka dan di tangannya berlumuran darah. Ia dihukum.
Tetapi, kelak dibebaskan Thomas
Jefferson, presiden sesudah John Adam, pada 1801.
Merancang hukum yang
buruk, karena kata-katanya elastis, bermakna ganda, tak berpijak pada
penalaran yang logis, tak tersemangati nilai-nilai intrinsik kemanusiaan, tak
mencakup konsekuensi-konsekuensi tak dikehendaki - unintended consequences - sama buruknya dengan menegakkan hukum
sesuai selera. Membentengi kemanusiaan dengan hukum yang literalnya elastis
sama dengan mencampakkan kemanusiaan. Laranglah penghinaan, tetapi
definisikan dan rumuskan sejelas-jelasnya jenis kata dan tindakan yang
tercakup dalam konsep penghinaan itu. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar