Peluang
Baru Partai Golkar
M Alfan Alfian ; Direktur Pascasarjana Ilmu Politik
Universitas Nasional, Jakarta
|
KOMPAS,
20 Februari
2018
Kepengurusan baru Partai
Golkar telah terbentuk dan diumumkan oleh ketua umumnya, Airlangga Hartarto,
22 Januari 2018. Sebagaimana diberitakan Kompas, menurut Airlangga,
kepengurusan ini merupakan langkah untuk menjaga keseimbangan internal.
Ciri utamanya
mengakomodasi semua faksi. Kepengurusan juga ditandai dua menteri Kabinet
Kerja yang dikategorikan sebagai jabatan formalitas. Melihat komposisinya,
terasa kepengurusan kali ini cukup siap menggerakkan mesin partai menuju
kontestasi Pemilu 2019.
Bagaimanapun, Golkar
merupakan fenomena dalam dinamika dan perkembangan politik Indonesia
mutakhir. Kecuali pada Pemilu 2004, Golkar konsisten sebagai pemenang kedua
pemilu legislatif. Partai ini punya daya lentur internal tinggi belakangan
ini, dalam arti mampu melalui fase konfliktualnya yang dramatis. Dualisme
kepengurusan pasca-Pilpres 2014 mampu diakhiri melalui musyawarah nasional
luar biasa pada pertengahan 2016 yang memilih Setya Novanto sebagai ketua
umum.
Ketika Novanto terkena
kasus hukum dan berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), langkah
cepat munaslub pun dilakukan. Airlangga Hartarto terpilih secara mulus.
Kepengurusan baru terbentuk setelah sebelumnya Golkar telah menunjuk Bambang
Soesatyo sebagai pengganti Novanto dalam posisinya sebagai Ketua DPR. Karena
stabilitas politik internal terbentuk kembali dalam tempo yang tidak terlalu
lama, kini tinggal melajulah partai beringin menerjemahkan skenario masa
depan politiknya.
Bagi partai bertipe
catch-all, mewadahi beragam latar belakang keanggotaan dan faksional seperti
Golkar, stabilitas internal sangat penting dan menentukan sejarah masa
depannya. Kepemimpinan partai akan menentukan sejauh mana pengelolaan
organisasi efektif, dengan tingkat soliditas yang tinggi. Golkar termasuk
partai yang telah teruji dalam mengelola konflik dan relatif cepat dalam
membangun konsensus internalnya. Partai ini, sekali lagi, memang tak luput
dari ujian perpecahan internal, tetapi dapat diselesaikan secara elegan.
Dalam konteks ini, Airlangga punya modal sejarah kepartaian yang cukup
memberinya bekal dalam memimpin partainya.
Pengalaman penyelesaian
konflik internal, bagaimanapun, telah memberi pelajaran tak hanya bagi
Golkar, juga bagi partai- partai lain,
terutama yang tengah berkonflik. Kini, Golkar telah melampaui fase
konfliktualnya. Airlangga pun punya kesempatan emas menggerakkan mesin partai
menuju kemenangan di 2019.
Golkar
untuk Jokowi
Berbeda dengan menjelang
Pilpres 2014, di mana Ketua Umum Aburizal Bakrie memproyeksikan diri sebagai
kandidat presiden sejak dini, kali ini Golkar berada dalam bingkai skenario
memenangkan kembali Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2019. Golkar merupakan
partai politik pertama yang menyatakan dukungan itu, bahkan mendahului Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Diakomodasinya dua menteri di kabinet
pemerintahan, lagi pula karakter Golkar yang lebih suka berada di
pemerintahan, menegaskan partai ini akan all out (cancut tali wandha).
Pemilu 2019 akan berbeda
dengan pemilu-pemilu sebelumnya mengingat ia merupakan jenis pemilu serentak (concurrent
election). Pemilu legislatif diberlangsungkan dalam waktu bersamaan dengan
pilpres. Mahkamah Konstitusi pun sudah memutuskan persyaratan ambang batas
presidensial tetap diberlakukan. Dalam logika pemilu serentak, pemenang
pilpres otomatis dapat dukungan mayoritas di parlemen sebagai dampak ikutan
coattail effect atau down-ballot
effect partai-partai pendukungnya. Efek itu mencegah fenomena pemerintahan
yang terbelah ketika presiden terpilih tekor dukungan parlemen.
Dalam logika seperti itu,
Golkar punya peluang sekaligus kontribusi penting dalam pemenangan pemilu
legislatif sekaligus pemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019. Dari sisi
persepsional, penegasan Golkar mendukung Jokowi yang tidak semata-mata
ditunjukkan melalui jargon, tetapi terutama optimalisasi mesin politik,
partai ini dapat terangkat daya tawarnya di kalangan pemilih yang merasakan
keberhasilan pembangunan. Dari segmen ini, pemilih Golkar terdahulu tetap
solid, bahkan terbuka peluang dukungan lebih luas lagi. Pemilih pro-pemerintah
akan merasa nyaman memilih Golkar karena tegas-tegas partai ini bagian dari
pemerintahan Jokowi.
Peluang
baru
Dalam rel skenario sebagai
partai pendukung pemerintah dan Jokowi pada 2019, posisi politik Golkar sudah
sangat jelas. Konsekuensinya, ruang manuver Golkar pun meluas dan berkembang.
Apabila soliditas terjaga, strategi dan pergerakan mesin partai efektif, bisa
jadi pengalaman kemenangan Pemilu (legislatif) 2004 semasa partai ini
dipimpin legendaris politik, Akbar Tandjung, terulang kembali.
Kekuatan penuh mesin
partai menjadi andalan Golkar kali ini. Kontestasi Pemilu 2019 memang masih
begitu ketat. Sistem pemilu legislatif juga masih sama dengan sebelumnya.
Kekuatan sosok-sosok calon anggota legislatif tetap menjadi kunci utama. Dari
sisi sumber daya manusia dan variasinya, Golkar tak pernah kekurangan.
Pemenangan personal akan terbantu oleh strategi pemenangan partai. Kalau
partai secara umum solid dan efektif, kondisi demikian cukup menguntungkan.
Dari sisi kepemimpinan,
Airlangga cocok memimpin Golkar karena karakternya yang tenang dan tidak
kontroversial. Dipertahankannya posisi Airlangga sebagai Menteri
Perindustrian, sangat menguntungkan posisi politik Golkar. Dengan begitu,
Airlangga secara otomatis juga telah menjadi simbol pemerintah. Manajemen
hubungan Golkar dan pemerintah, dalam hal ini Jokowi, tentu sangat penting
dalam penentuan masa depan politik mereka sebagai suatu simbiosis mutualisme.
Kini Golkar sudah siap
melaju dengan memandang dirinya secara lebih optimistis. Dari sisi kapasitas,
rasa-rasanya, tidak akan mungkin Golkar merosot sebagai partai menengah, atau
bahkan gurem. Dia justru punya peluang besar sebagai partai pemenang pemilu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar