Penghinaan
Presiden
Denny Indrayana ; Guru Besar Hukum Tata Negara UGM;
Melbourne Law School dan Faculty
of Arts, University of Melbourne, Australia
|
KOMPAS,
20 Februari
2018
Pengaturan pidana atas
penghinaan terhadap presiden sebagai lembaga negara kembali menjadi debat
publik yang hangat. Paling tidak ada dua momentum terkini yang menyebabkan
perdebatan semakin ramai. Pertama, pembahasan pasal tersebut di dalam
Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU HP). Kedua, aksi Ketua Badan
Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia yang memberikan ”kartu kuning”
kepada Presiden Joko Widodo.
Perlukah pengaturan pidana
atas penghinaan terhadap presiden sebagai lembaga? Apakah pemidanaan demikian
tidak bertentangan dengan demokrasi? Tulisan ini akan menjawabnya dari sisi
hukum tata negara, bukan hukum pidana. Saya berikhtiar menyampaikan
argumentasi baru dan tak lagi mengulang apa yang telah didalilkan di ruang
publik, khususnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006
yang telah membatalkan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP terkait
penghinaan presiden, karena bertentangan dengan UUD 1945.
Demokrasi tentu menjamin
kebebasan, tapi bukan berarti tanpa aturan. Salah satu tantangan berat
demokrasi adalah menjaga keseimbangan antara kebebasan dan pengaturannya.
Demokrasi surplus regulasi akan menghadirkan tirani, sebagaimana demokrasi
minus regulasi akan melahirkan anarki. Pengaturan penghinaan presiden
mempunyai derajat kesulitan yang jauh di atas rata-rata. Di dalamnya
berkelindan berbagai konsep yang saling berdesakan. Bukan hanya kesulitan
menyeimbangkan antara kebebasan dan pembatasannya, melainkan juga
menyeimbangkan antara menjaga kehormatan presiden dan membuka ruang kritik
pada presiden serta membedakan antara posisi presiden sebagai pribadi dan
presiden sebagai institusi.
Pribadi
vs institusi
Perlu dipertegas, yang
ramai diperdebatkan adalah perlunya pemidanaan khusus bagi penghinaan kepada
presiden sebagai institusi. Kalau penghinaan terhadap pribadi setiap orang,
termasuk yang sedang menjabat presiden, sudah ada ketentuan pidananya. Bukan
hanya di KUHP, Rancangan KUHP, melainkan juga dalam UU Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE). Jadi, masih perlukah pemidanaan penghinaan atas
institusi presiden selaku penyelenggara negara?
Pengaturan khusus
pemidanaan kepada pejabat presiden mengandung beberapa persoalan mendasar, di
antaranya: tidak ada kekosongan hukum. Jika merasa dihina, seorang Joko
Widodo (Jokowi), Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), atau siapa pun yang sedang
menjadi presiden dapat menggunakan pasal penghinaan pribadi. Memberikan pasal
khusus yang memidanakan penghinaan kepada lembaga presiden bukan hanya
melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum, karena seorang presiden menjadi
lebih diistimewakan, melainkan juga cenderung mencampuradukkan persoalan
personal menjadi institusional.
Soal tidak ada kekosongan
hukum ini dipertegas Putusan MK tahun 2006 di atas, yang mendalilkan bahwa
”delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut hukum
seharusnya diberlakukan Pasal 310-Pasal 321 KUHPidana manakala penghinaan
(beleediging) ditujukan dalam kualitas pribadinya, dan Pasal 207 KUHPidana
dalam hal penghinaan ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden selaku
pejabat (als ambtsdrager)”. Jadi, MK bukan saja masih membuka pemidanaan
dalam kapasitas pribadi presiden, melainkan juga penghinaan presiden sebagai
pejabat negara. Terkait hal ini, saya berbeda pandangan dengan MK. Seharusnya
pemidanaan penghinaan terhadap kelembagaan presiden pun dihilangkan
(dekriminalisasi).
Saya berpandangan,
penghinaan lebih menuju pribadi presiden, sedangkan kepada institusi presiden
yang terjadi adalah penyampaian kritik. Terhadap pribadi siapa pun tidak
boleh dihina. Karena itu, pelaku penghinaan perlu dihukum. Namun, lain halnya
terhadap pengkritik lembaga negara, yang justru harus dilindungi, dan tidak
boleh dipidanakan. Pengaturan penghinaan terhadap lembaga kepresidenan akan
mengundang kriminalisasi pengkritik presiden sebagai institusi. Apalagi, yang
dapat merasa terhina adalah pribadi manusia. Institusi bukan manusia sehingga
tidaklah mungkin punya rasa dihina. Artinya, sudah betul jika yang diatur
cukup penghinaan pribadi, dengan delik aduan bagi siapa pun yang merasa
dihinakan, termasuk yang sedang menjabat presiden sekalipun.
Secara ketatanegaraan,
saya tidak mengetahui ada konsep penghinaan presiden (contempt of president).
Di Amerika Serikat, negara pelopor sistem presidensial, kritik yang cenderung
menghina sekalipun dijamin kebebasannya. Tidak ada pemidanaan atas penghinaan
presiden. Karena setiap penghinaan pada lembaga presiden lebih dimaknai
sebagai kritik, yang justru dipandang perlu, sehingga tidak dipidana.
Terkait penghinaan atas lembaga
negara, memang ada konsep contempt of court, penghinaan terhadap pengadilan.
Namun, itu lebih dimaksudkan untuk melindungi perintah pengadilan dari
potensi pembangkangan (disobedience). Dalam konteks yang sama, parlemen
mempunyai hak subpoena, yang merupakan upaya paksa kepada pihak-pihak yang
tidak memenuhi panggilan pemeriksaan. Parlemen kita mengatur soal subpoena
yang dapat berujung penyanderaan itu dalam Undang- Undang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD (MD3). Namun, sekali lagi, lebih ditujukan untuk melindungi pelaksanaan
tugas parlemen. Bukan dimaksudkan untuk memidanakan penghinaan lembaga, yang
lebih sering merupakan kritik atas kinerja lembaga yang bersangkutan.
Jika pemidanaan penghinaan
atas lembaga kepresidenan disahkan lagi melalui RUUHP, maka menjadi sulit
untuk tidak memberikan aturan yang sama bagi penghinaan lembaga negara yang
lain, seperti parlemen, peradilan, dan BPK. Makin rumit untuk menolak
perubahan UU MD3 yang baru mengesahkan kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan
untuk mengambil langkah hukum terhadap siapa pun yang merendahkan kehormatan
DPR dan anggota DPR. Jika semua lembaga negara kemudian menggunakan proteksi
anti-penghinaan demikian, maka tinggal menunggu waktu saja bagi para
pengkritik kinerja lembaga negara untuk masuk penjara. Tahanan politik
(tapol) dan narapidana politik (napol) akan kembali marak. Kebebasan
berpendapat kembali hilang. Itulah lonceng kematian bagi kebebasan
berekspresi. Itulah kematian demokrasi.
Konflik
kepentingan
Jika tetap diatur
penghinaan pada lembaga kepresidenan, akan timbul benturan kepentingan
penanganan perkara. Dengan kewenangannya yang sangat kuat, khususnya sebagai
kepala pemerintahan dan kepala negara, meski ada prinsip kemerdekaan proses
peradilan, tetap saja terbuka lebar potensi intervensi kekuasaan presiden
atas berjalannya proses penegakan hukum, yang melibatkan lembaga presiden
sendiri selaku pihak yang beperkara.
Benturan kepentingan yang
demikian tentu saja bertentangan dengan prinsip fairness dalam penegakan
hukum dan karena itu tak dapat dibenarkan. Apalagi penegak hukum kita pasti
cenderung sungkan untuk tak memproses dan menghukum kasus yang demikian.
Karena potensi benturan
kepentingan itulah, seorang presiden yang diduga melakukan tindak pidana akan
diberhentikan dulu sebagai presiden
dalam proses tata negara, sebelum menjalani proses hukum pidananya. Itulah
konsep impeachment, yaitu pemakzulan presiden karena melakukan ”pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya”.
Bagi seorang presiden yang
diduga melakukan pelanggaran demikian, proses hukum pidananya baru dilakukan
setelah yang bersangkutan diberhentikan sebagai presiden. Pemakzulan presiden
dalam forum DPR, MK, dan berujung ke MPR itu didahulukan untuk menghindari
potensi benturan kepentingan sang presiden yang pasti sangat berkuasa dan
karena itu berpotensi memengaruhi proses hukum pidana. Dengan logika hukum
yang sama, sebaiknya yang diatur hanyalah pemidanaan atas pribadi presiden,
bukan institusi presiden, yang sangat powerful dan karena itu menghadirkan
potensi benturan kepentingan.
Kesalahan
filosofi berkonstitusi
Selanjutnya, pemidanaan
atas penghinaan lembaga kepresidenan juga bertentangan dengan filosofi dasar
berkonstitusi. Setiap undang-undang dasar, di samping mengatur hal prosedural,
seperti perubahan konstitusi, pada dasarnya mengatur dua hal utama: delegasi
kekuasaan kepada lembaga negara dan perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Kepada lembaga negara diatur pemberian kekuasaan dan bagaimana kontrol atas
kekuasaan itu. Sedangkan kepada warganya, negara wajib menjamin perlindungan
HAM, termasuk kebebasan berekspresi.
Dengan demikian, filosofi
konstitusi yang harus dipahami adalah setiap lembaga negara—terlebih lagi
presiden—wajib menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk menjamin dan
melindungi HAM, bukan sebaliknya menggunakan kekuasaan lembaganya untuk
justru memberangus hak kebebasan berekspresi. Artinya, tidak perlu diatur
pemidanaan atas penghinaan lembaga kepresidenan karena akan cenderung
memancing presiden (serta kelompok pendukungnya) untuk menyalahgunakan
kekuasaan demikian guna memberangus kebebasan berpendapat. Sekali lagi, sudah
cukuplah pengaturan pidana atas penghinaan presiden dalam kapasitasnya
sebagai pribadi.
Yang pasti, bagi seorang
pemimpin sekaliber presiden, diperlukan kebajikan sekaligus kesabaran untuk
bisa menyikapi berbagai ekspresi kritik, bahkan yang tak jarang sangat vulgar
sekalipun. Era demokratis butuh kesabaran revolusioner untuk para pemimpin
bangsa, yang tak cepat reaksioner mendengar berbagai cercaan dan kritik dari
berbagai penjuru mata angin. Tentu bukan berarti orang dapat seenaknya
menghina atau memfitnah pribadi presiden karena hal demikian tetap dapat
dihukum berdasarkan delik penghinaan pada umumnya. Presiden sejati akan
membuka ruang lebar-lebar bagi sikap kritis kepada lembaganya. Presiden
sejati akan menolak pemidanaan penghinaan atas institusi presiden karena
bertentangan dengan konstitusi, sebagaimana telah diputuskan oleh MK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar