Kamis, 01 Februari 2018

"Police Line" untuk Kursi Plt Gubernur

"Police Line" untuk Kursi Plt Gubernur
Alfariz Maulana Reza ;  Peneliti Muda di Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas; Anggota KOMBAD JUSTITIA (Klub Debat dan Penulisan Hukum) Universitas Andalas; Anggota ALSA LC Universitas Andalas
                                                   DETIKNEWS, 31 Januari 2018



                                                           
Kekuasaan dan jabatan memang menjadi salah satu kepuasan, tetapi untuk ada di posisi itu haruslah memperhatikan garis-garis aturan. Belakangan ini terdengar kabar ditunjuknya jenderal aktif sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara menjelang dilangsungkannya Pilkada Serentak, Juni mendatang.

Usulan Mendagri tersebut tentu menimbulkan pertanyaan dan kecurigaan dari berbagai kalangan. Banyak pro dan kontra terkait seorang Jenderal Kepolisian aktif menduduki kursi tertinggi dalam pemerintahan setingkat provinsi. Hal ini mengingatkan kembali pada zaman Orde Baru di mana dikenal istilah Dwifungsi ABRI, yang menyebutkan ABRI mempunyai dua tugas yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara, dan kedua memegang kekuasaan, mengatur negara.

Dengan peran yang ganda itu militer diizinkan untuk memegang posisi di pemerintahan, dan hal ini menyebabkan militer terlalu jauh dalam pemerintahan, mempersempit ruang gerak sipil serta adanya kecenderungan pemaksaan kehendak. Dan, lebih parahnya lagi ABRI tidak bisa menjalankan tugas utamanya dengan baik yaitu menjaga keamanan.

Pasca 1998, Dwifungsi ABRI sudah dihapuskan dan militer Indonesia sudah kembali ke rakyat, dan sekarang bisa lebih fokus untuk menjaga keamanan negara dan mengayomi masyarakat. Pasca Orde Baru struktur pemerintahan dan militer sudah disusun sedemikian rupa, juga bukan tidak mungkin militer bisa mengisi jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) pada instansi pusat dan jabatan tertentu di lingkungan TNI/POLRI yang bisa diduduki Pegawai Negeri Sipil (PNS) tetapi semua itu haruslah berdasarkan kompetensi yang jelas.

Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS. Pengisian jabatan ASN juga harus memenuhi persyaratan kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam jejak jabatan, kesehatan, integritas, dan persyaratan jabatan lain berdasarkan kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Banyaknya faktor dan persyaratan yang harus dipenuhi itu tentu diharapkan bisa menghasilkan output yang berkualitas pula, tidak bisa hanya melihat satu faktor dan memaksakan kepentingan pribadi dalam hal tersebut agar tak menjadi bumerang di kemudian hari. Menurut PP ini juga prajurit TNI dan anggota Polri yang mengisi JPT pada instansi pemerintahan selain instansi pusat tertentu sebagaimana dimaksud telah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses terbuka dan kompetitif.

Sejatinya untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur yang dapat menjadi pelaksana tugas (plt) adalah pejabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan; ini sudah tercantum jelas dalam Pasal 201 Ayat (10) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Tak bisa dianalogikan jabatan tinggi di institusi Kepolisian/TNI dengan pimpinan tinggi madya karena jabatan tinggi madya hanya untuk PNS, dan dalam bunyi pasal tersebut tak disebutkan disebutkan juga kata "atau yang sederajat".

Saat ramai publik membicarakan mengenai hal ini, Kemendagri tampak mulai panik dan dengan cepat langsung menerbitkan Permendagri No.1 Tahun 2018 yang ditandatangani pada 9 Januari 2018 di mana dalam Pasal 4 ayat (2) berbunyi: Penjabat Gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintahan pusat/provinsi, dan Permendagri ini menggantikan Permendagri sebelumnya yaitu Permendagri No. 74 Tahun 2016 di mana hanya membatasi PJ Gubernur hanya untuk pimpinan tinggi madya Kementerian Dalam Negeri atau Pemda Provinsi.

Jika kita melihat kembali ke belakang, pada tahun 2017 Mendagri juga pernah melantik Jenderal kepolisian menjadi seorang Plt Gubernur yaitu Irjen Pol Carlo Brix Tewu yang menjadi Plt Gubernur Sulawesi Barat, dan Mayjen Sudarmo di Aceh. Sekarang Mendagri mengusulkan Jenderal aktif kepolisian untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur di Sumatera Utara dan Jawa Barat yaitu Inspektur Jenderal Polisi M. Iriawan dan Inspektur Jenderal Polisi Martuani Sormin dengan alasan untuk menjaga stabilitas keamanan pra-pilkada, karena situasi pra-pilkada tentu akan sangat panas dan berbeda dengan situasi sebelumnya.

Tetapi alasan tersebut sepertinya tidak terlalu pas untuk menjadikan seorang jenderal aktif untuk memegang kendali pemerintahan di suatu provinsi, karena urusan pengamanan di provinsi adalah tugas kepolisian. Dan, Kapolda sebagai pimpinan tertinggi Kepolisian provinsi juga mempunyai tanggung jawab dalam hal ini. Kerawanan Pilkada tidak hanya sebatas keamanan dari konflik saja tetapi banyak hal yang harus dijaga seperti netralitas penyelenggara pemilu dan ASN, politik uang, dan SARA. Untuk itu Plt Gubernur juga bisa berkoordinasi dengan Kapolda untuk menjaga stabilitas keamanan pra-pilkada tersebut.

Walaupun jabatan plt itu hanya bersifat sementara bukan berarti tak banyak masalah yang akan muncul nantinya. Tidak hanya masalah keamanan tetapi bisa saja muncul masalah ekonomi, sosial, politik, dan lain-lain. Untuk itu seorang plt gubernur haruslah orang yang benar-benar bisa menjalankan pemerintahan dengan syarat-syarat yang mencukupi atau pejabat yang mumpuni tidak hanya mengisi kekosongan kursi semata.

Mengusulkan pelaksana tugas (plt) memang menjadi otoritas dari Mendagri, tetapi jangan sampai otoritas tersebut tidak memperhatikan undang-undang yang ada, hingga pada akhirnya masyarakat berpikir bahwa undang-undang yang ada hanya menjadi hiasan saja. Oleh karena itu pemerintah seharusnya bisa lebih berhati-hati dan terus memperhatikan garis-garis aturan yang ada, jangan sampai melewatinya dalam membuat suatu keputusan.

Jangan sampai masyarakat menganggap pemerintah tak profesional dalam menjalankan tugasnya tersebut. Apakah harus menunggu publik heboh dan banyak kritik yang masuk baru mulai memperbaharui payung hukumnya? Dan, semoga saja pemerintah menjadi "anak yang baik" dengan selalu mengikuti aturan-aturan yang sudah ada; bukannya sudah ramai dibicarakan barulah kebakaran jenggot untuk bisa memuluskan jalannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar