Kamis, 22 Februari 2018

Menakar Kinerja Profesor

Menakar Kinerja Profesor
Ali Khomsan  ;    Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB
                                                KORAN SINDO, 21 Februari 2018



                                                           
PROFESOR di seluruh perguruan tinggi di Indonesia telah selesai dievaluasi pada bulan November 2017. Jumlah profesor saat ini mencapai 5.366 orang. Mereka yang mengirimkan dokumen untuk dievaluasi 4.299 orang atau 80,1% dari jumlah profesor.  Tragisnya, yang memenuhi syarat publikasi sesuai Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 20/2017 hanya 1.551 orang atau 29% dari total profesor.  Kinerja yang kurang optimal ini bisa jadi karena banyak profesor yang hanya sibuk mengajar atau bekerja di luar perguruan tinggi semisal menjadi konsultan sehingga karya publikasinya sangat kurang.

Apa sebenarnya syarat publikasi seorang profesor? Dalam tiga tahun seorang profesor dipersyaratkan mempunyai satu publikasi riset di jurnal ilmiah internasional bereputasi atau tiga publikasi hasil penelitian di jurnal ilmiah (tanpa embel-embel bereputasi). Kata bereputasi mengandung makna bahwa jurnal tersebut terindeks pada Web of Science/Scopus dan mempunyai Impact Factor dari Scimago Journal Rank senilai 0,10.  Jadi, jurnal bereputasi bukan sekadar jurnal berbahasa Inggris atau bahasa PBB lainnya (Arab, Prancis, Rusia, Spanyol, dan China).

Sebagian dosen di perguruan tinggi swasta mengeluhkan sulitnya persaingan mendapatkan dana penelitian. Sebagian lainnya mengeluh tiadanya program studi S-2 atau S-3 di departemennya yang menyebabkan seorang profesor tidak mempunyai bimbingan mahasiswa pascasarjana.  Akibatnya, tidak ada karya ilmiah yang dihasilkan.  Saat ini sudah ada kewajiban bagi mahasiswa pascasarjana untuk menulis tesis/disertasinya di jurnal ilmiah.  Hal ini dapat mengatrol jumlah publikasi seorang profesor bila dia menjadi pembimbing mahasiswa tersebut. Nama sang profesor akan selalu tercantum sebagai penulis karya ilmiah bersama mahasiswanya.

Profesor atau guru besar di perguruan tinggi menikmati tunjangan sertifikasi dan tunjangan kehormatan profesor yang besarnya tiga kali gaji pokok sehingga seorang profesor kini bisa mendapatkan take home pay  Rp22 juta sebulan.  Sebelum ada kebijakan tentang tunjangan profesor, gaji guru besar mungkin hanya sekitar Rp7 juta. Itulah sebabnya, mengapa kinerja profesor perlu dievaluasi untuk mengetahui seberapa besar dampak tunjangan terhadap kinerjanya sebagai profesor.  Upaya pemerintah menyejahterakan guru besar disertai tuntutan agar mereka melaksanakan tugasnya lebih baik, profesional dan performa yang semakin meningkat.

Ada dua hal besar yang harus diperhatikan terkait kinerja profesor, yaitu publikasi dalam bentuk buku dan diseminasi riset melalui jurnal ilmiah internasional.  Membuat buku teks memerlukan curahan waktu dan pemikiran yang mendalam.  Siapa pun yang pernah belajar di luar negeri, bisa menarik pelajaran tentang pentingnya keberadaan buku teks di kalangan perguruan tinggi.  Namun, bagi penerbit, buku teks dianggap bisnis yang kurang menguntungkan terutama dibandingkan mencetak buku pelajaran SD/SMP/SMA yang pasarnya adalah jutaan siswa di Indonesia.  Oleh karena itu, guru besar yang menulis buku teks dituntut dedikasi dan pengorbanannya karena menulis buku teks tidak mendatangkan royalti yang menguntungkan secara finansial, tetapi hanya mendatangkan kepuasan batin.

Publikasi ilmiah di kalangan dosen Indonesia sudah semakin baik. Sampai Desember 2017 jumlah publikasi dosen Indonesia mencapai 16.471 karya ilmiah, sudah mengungguli Thailand sebanyak 14.200.  Namun, tetap ada yang menyebutkan bahwa jumlah publikasi tersebut masih rendah.  Denyut nadi kehidupan iptek di kalangan  kaum terpelajar memang belum optimal.  Cita-cita meraih institusi pendidikan tinggi yang mendunia masih jauh panggang dari api.

Jurnal ilmiah di Indonesia masih menghadapi banyak persoalan menyangkut statusnya yang sebagian besar belum terakreditasi. Kinerja jurnal ilmiah yang buruk disebabkan beberapa hal. Pertama, naskah ilmiah yang masuk terlalu sedikit sehingga mengurangi derajat selektivitas.  Kedua, kurang optimalnya peran reviewer. Artikel yang dikirimkan kepada tim reviewer untuk ditelaah, berbulan-bulan tidak dikembalikan sehingga memperlambat pemuatan.

Kemenristekdikti akan berupaya terus untuk memperbaiki kinerja riset dan publikasi ilmiah di perguruan tinggi. Telah diadakan bantuan dana untuk mendorong penerbitan jurnal ilmiah nasional terakreditasi dan ada juga grants bagi dosen yang menerbitkan hasil karya risetnya di jurnal ilmiah internasional.

Pernah dilakukan suatu pendataan di suatu universitas, scopus  citation index  lebih dari 3 hanya dicapai oleh beberapa orang guru besar. Padahal, jumlah guru besar di universitas tersebut lebih dari 150 orang.  Adalah sangat penting bahwa menulis di jurnal ilmiah hendaknya menjadi tradisi di kalangan ilmuwan.

Di Universitas Wageningen Netherlands disertasi mahasiswa S-3 dibuat dalam format manuskrip berupa artikel-artikel ilmiah, baik yang sudah dipublikasi di jurnal ilmiah maupun yang sedang dalam tahap dikirimkan untuk dimuat.  Pola semacam ini sangat baik diterapkan di universitas-universitas di Indonesia.   Salah satu indikator universitas bermutu adalah publikasi ilmiah para dosennya yang dimuat di jurnal internasional.

Di tengah-tengah upaya pemerintah untuk menyejahterakan dosen melalui sertifikasi atau memberikan tunjangan kehormatan guru besar, maka para dosen diharapkan lebih banyak berkarya di perguruan tinggi masing-masing.  Jangan sampai dosen lebih banyak bekerja di luar (dosen asongan?) daripada di kampusnya sendiri. 

Dosen atau ilmuwan yang suka menulis di koran tidak perlu dikritik. Pernah muncul istilah ilmuwan empat halaman karena  untuk menulis di media massa hanya diperlukan pemikiran sepanjang empat halaman kuarto. Tidak semua dosen bisa menulis di koran, tetapi semua dosen harus bisa menulis di jurnal ilmiah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar