Kamis, 01 Februari 2018

Fitnah, Gosip, dan Hoax

Fitnah, Gosip, dan Hoax
Budi Darma  ;  Sastrawan, tinggal di Surabaya
                                                     JAWA POS, 30 Januari 2018



                                                           
TUJUAN fitnah adalah merusak reputasi seseorang atau lembaga, tanpa dibumbui rasa humor. Cara kerja fitnah adalah tembak langsung korbannya, seseorang atau lembaga, dengan cara menjelek-jelekkan reputasi korbannya, tanpa melalui kelakaran atau guyonan. Peluru untuk menembak langsung bisa benar, bisa rekayasa, bisa pula dramatisasi dari kebenaran.

Meskipun tidak sama, fitnah dapat dianalogikan dengan sarkasme. Sementara sarkasme berbeda dengan ironi. Melalui sarkasme, seseorang yang bermaksud menjatuhkan reputasi korbannya bisa langsung berkata: ’’Dia goblok’’. Sebaliknya, dalam ironi ada bumbubumbunya yang dalam bahasa Jawa justru terasa ’’nylekit’’. Seseorang berkata: ’’Wah, dia itu pandai sekali, lho,’’ padahal, maksudnya ’’Dia goblok, lho’’. Ini lebih nylekit daripada sarkasme.

Fitnah dilakukan oleh pengecut, yaitu orang yang tidak berani berhadapan langsung dengan korban atau calon korbannya. Ungkapan ’’Lempar batu sembunyi tangan’’ sangat tepat apabila diterapkan pada orang-orang yang suka membuat fitnah.

Kecuali ada fitnah, ada pula gosip, sementara gosip bisa membesar menjadi fitnah. Gosip dilakukan oleh orang-orang yang ’’kurang kerjaan’’ dan punya bakat jahil. Dalam gosip, kekurangan seseorang didramatisasi sedemikian rupa, juga dengan tujuan untuk merusak reputasi korban.
Gosip disebarkan dalam komunitas kecil, misalnya ’’perkumpulan’’ ibu-ibu rumah tangga yang terlalu banyak waktu luangnya dan tidak mampu memanfaatkan waktu luang untuk hal-hal positif. Tapi, kemudian bisa meluas ke komunitas-komunitas lain. Makin sengsara korbannya akibat kejahatan tukang gosip, makin bahagialah tukang-tukang gosip itu.

Gosip bisa dipakai untuk sarana gurauan, sarana olok-olok, bisa juga sarana dengan tujuan utama untuk menghancurkan reputasi korbannya. Apabila sudah keluar dari komunitas kecil dan merambah ke komunitaskomunitas lain, gosip akan kehilangan rasa humornya dan bisa berubah menjadi fitnah.

Fitnah dan gosip pada umumnya sekadar berwujud ujaran, tidak sampai pada bentuk tulisan atau teks. Dalam medsos, fitnah dan gosip memang dijadikan teks, tidak lain karena adanya kemajuan literasi. Meskipun, dalam hal ini, literasi negatif. Karena sudah ditransformasikan ke dalam teks, fitnah dan gosip bisa menjadi berita dan inilah hakikat hoax.

Kawasan hoax adalah kawasan berita, bukan kawasan kasakkusuk, bukan kawasan gosip. Karena itu, sebetulnya, yang benar adalah ’’berita hoax’’ atau ’’berita palsu’’, bukan ’’hoax’’ tanpa tambahan apa-apa. Karena perkembangan bahasa menuntut kepraktisan, ’’hoax’’ maknanya tidak lain adalah ’’berita hoax’’.

Tujuan hoax sama dengan fitnah, tapi mungkin diungkapkan dengan bumbu guyonan, dengan tujuan merusak. Agar tujuan merusak itu tidak terasa kasar, bumbubumbu gurauan pun perlu ditam- bahkan. Hoax pada hakikatnya tidak sama dengan sarkasme, tapi mirip ironi: seni main-main tapi benar-benar ’’nylekit’’.

Fitnah awalnya beredar di komunitas, demikian pula gosip, dan, sebetulnya, demikian pula hoax. Bedanya adalah, pertama, tingkat ketokohan korban. Makin hebat tokohnya, makin besar kemungkinan fitnah dan gosip menjadi berita hoax. Kedua adalah dampaknya. Makin besar dampaknya, makin besar pula peluang fitnah dan gosip menjadi berita hoax pula.

Apakah pencipta berita hoax itu jahat, jahil, atau tidak, tidak tahu. Tapi, kemungkinan besar bagian otak kirinya bekerja lebih aktif dibanding dengan bagian otak sebelah kanannya. Manusia mempunyai sisi yang dinamakan ’’ludens’’. Yaitu, suka main-main tapi akhirnya bisa menjadi sungguhan. Itulah kemungkinan besar watak para pencipta hoax.
Dalam medsos, fitnah dan gosip memang dijadikan teks, tidak lain karena adanya kemajuan literasi. Meskipun, dalam hal ini, literasi negatif.’’ ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar